Masuk Daftar
My Getplus

Zaman Gorombolan (DI/TII)

Bagaimana orang-orang Sunda merekam keseharian mereka kala teror gerilyawan DI/TII merajalela di Jawa Barat pada 1949–1962.

Oleh: Hendi Johari | 03 Agt 2020
Patroli tentara pemerintah di zaman berkecamuknya pemberontakan DI/TII. (IPPHOS).

Tjutju Soendoesiyah (74) masih ingat kedatangan pamannya bernama Sersan Mayor Ombi ke rumahnya pada suatu hari di tahun 1956. Selain temu kangen setelah banyak bertugas ke luar daerah, Ombi juga bermaksud memberi tahu sang kakak, ibunya Tjutju, bahwa dirinya mulai hari itu ditugaskan di Bingawatie.

Bingawatie adalah nama tempat yang terletak di Kampung Cangklek, Kabupaten Cianjur. Di sana didirikan sebuah pos militer untuk mengadang gerakan gerilyawan DI/TII dari arah Gunung Gemuruh dan Gunung Gede.

"Ya kalau dari rumah saya di Salagedang, jaraknya ada sekitar 7 km," ungkap nenek dari 6 cucu itu.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kiai-kiai Melawan DI/TII

Beberapa hari setelah kedatangan sang paman, Tjutju mendengar berita duka: Pos Bingawatie pada suatu malam diserang sekaligus dibakar oleh gorombolan, sebutan orang Sunda kepada gerilyawan DI/TII. Tak ada yang tersisa. Bangunan pos dan para penghuninya nyaris menjadi abu.

"Jasad Mang Ombi sendiri ditemukan sudah merengkel (mengerut), besarnya menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan," kenang Tjutju.

Tak lama setelah kehilangan sang paman, Tjutju mendengar kabar sedih kembali. Kali ini dari selatan Cianjur. Diberitakan uaknya yang bernama Tantan tewas disembelih oleh gorombolan saat mereka menjarah kampungnya.

"Waktu zaman gorombolan, hampir tiap waktu kita selalu kehilangan orang-orang yang kita sayangi dan kita kenal sangat akrab. Saat itu pertempuran banyak terjadi, korban pun banyak berjatuhan. Situasi pokoknya sangat kacau," ujar Tjutju.

Baca juga: Banjir Darah di Cibugel oleh DI/TII

Berbeda dengan Tjutju, Kasa bin Sukadma (76) yang pada 1961 masih berumur 17 tahun mengalami secara langsung kegilaan perang di zaman itu. Bahkan bisa dikatakan dia merupakan salah satu korban keganasan para gorombolan.

"Saya harus kehilangan tangan kiri saya yang diteukteuk (dipotong) oleh salah seorang gorombolan yang menyerang kampung saya," kenang warga Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya itu.

Ceritanya, pada 17 Agustus 1961 tepat jam 12 malam, ratusan gerilyawan DI/TII menyerang desanya. Penyerangan itu sejatinya menyasar pos tentara di desa tersebut, namun tak ayal mengorbankan juga banyak warga desa. Kasa bersembunyi di tengah sawah yang siap panen. Namun, dasar sial, dia ditemukan oleh enam gerilyawan DI/TII yang memeriksa setiap kotak sawah secara teliti.

"Mereka langsung membacok saya dengan golok panjangnya dan kena ke tangan kiri saya hingga putus. Nyawa saya selamat karena begitu tangan saya putus langsung pingsan dan dianggap sudah mati," ujar lelaki yang saat ini bekerja sebagai petani itu.

Akibat penyerangan itu, 51 warga Parentas tewas seketika. Puluhan orang lainnya luka-luka. Pihak tentara kehilangan tiga prajuritnya. Sementara itu, di pihak gerilyawan DI/TII hanya ditemukan satu orang tewas dengan lubang peluru di kepala.

Baca juga: Kartosoewirjo Hampir Tertangkap

Selain kegetiran dan kesedihan, zaman gorombolan pun menguak kisah-kisah jenaka. Sudah menjadi rahasia umum jika pada saat itu rakyat berada dalam dilema menghadapi dua pihak yang tengah berperang. Maka muncullah istilah "kongres" kepanjangan dari hareup nyokong ka tukang beres (di depan bilang mendukung ke belakang bilang beres).

"Rakyat jadi berwajah dua: kalau siang mendukung tentara, nah malamnya membantu gorombolan," kata Usep Romli H.M., wartawan senior Jawa Barat sekaligus pelaku sejarah zaman gorombolan.

Usep yang saat itu warga Cibiuk, Garut memiliki pengalaman lucu. Menjelang DI/TII menyerah kepada pemerintah, dia dan kawan-kawannya ditugaskan oleh seorang pemuka masyarakat mengantarkan kebutuhan logistik untuk urang leuweung (orang hutan, istilah lain untuk gerilyawan DI/TII). Logistik itu berupa makanan enak, seperti nasi putih, sambal, goreng ikan gurame, lalapan, pepes ikan dan lain-lain.

Sampai di tempat yang biasanya warga desa “menyetor” logistik, para utusan DI/TII ternyata belum datang. Hingga tengah malam, ternyata tak satu batang hidung pun gorombolan terlihat. Apa boleh buat, logistik itu akhirnya "disikat" saja oleh para pengantar hingga ludes.

Baca juga: Detik-detik Terakhir Kartosoewirjo

Singkat cerita, para pengantar yang kekenyangan itu pun sampai kembali di desanya. Saat itulah, sang tokoh masyarakat menemui mereka dan langsung bertanya:

 "Sudah kalian sampaikan logistiknya?"

"Sudah Pak Haji, beresss," ujar Usep.

"Oh begitu. Tapi kok mereka tidak memberikan kode tembakan seperti biasanya kalau sudah menerima logistik, ya?" tanya Pak Haji lagi.

"Hmmm, oh itu. Mereka bilang sih katanya kehabisan peluru," jawab Usep, sekenanya.

Walau sedikit bimbang, Pak Haji pun mengangguk-anggukan kepalanya. Dan soal logistik untuk "orang hutan" itu pun tetap menjadi rahasia Usep dan kawan-kawannya hingga bertahun-tahun, jauh setelah DI/TII turun gunung dan menyerah kepada pemerintah.

TAG

di tii

ARTIKEL TERKAIT

Pemberontakan Kahar Muzakkar Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial