Masuk Daftar
My Getplus

Wasiat Bung Hatta

Sebelum wafat, Bung Hatta meninggalkan dua wasiat. Salah satunya adalah keinginan dipusarakan di tengah pemakaman rakyat biasa

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 01 Apr 2020
Mohammad Hatta dan Rachmi Hatta di Belanda tahun 1963. (nationaalarchief.nl).
Salinan wasiat Bung Hatta (Twitter @Gustika)

“Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.”

Paragraf tersebut merupakan penggalan surat wasiat yang ditinggalkan proklamator Mohammad Hatta. Salinan wasiat bertanggal 10 Februari 1975 itu disisipkan dalam cuitan Gustika Hatta, cucu Bung Hatta, di akun media sosial Twitter pribadinya (31/03/2020).

“Bude dan Kakak baru menemukan Salinan surat wasiat Datuk, nih. Coba dipastikan keaslian tulis tangannya,” ujar Gustika.

Advertising
Advertising

Terkait wasiat tersebut, Meutia Hatta (putri pertama Hatta) menceritakan bahwa ayahnya itu pernah meninggalkan dua wasiat sebelum berpulang: penegasan Sukarno sebagai tokoh yang melahirkan Pancasila dan keinginan dimakamkan di tengah pekuburan rakyat, bukan di Taman Makam Pahlawan (TMP).

Baca juga: Pertemuan Terakhir Sukarno-Hatta

Mengenai wasiat pertama tentang Sukarno dan Pancasila, menurut Meutia, terjadi saat ada usaha-usaha dari penguasa yang ingin mengecilkan sosok Sukarno dalam peranannya sebagai orang yang melahirkan Pancasila. Ketika itu ayahnya didatangi putra pertama Sukarno (Guntur Soekarnoputra). Guntur mengutarakan kerisauan keluarga Sukarno akan adanya usaha menjatuhkan ayahnya tersebut. Maka Bung Hatta pun bereaksi. Ia segera menulis sebuah surat yang isinya menegaskan peran Sukarno dalam kelahiran Pancasila.

Meutia Hatta. (Fernando Randy/Historia).

Sedangkan wasiat kedua berisi mengenai tempat peristirahatan terakhir Bung Hatta. Meutia berkisah, ayahnya pernah mengutarakan keinginan dipusarakan di pekuburan rakyat biasa. Bung Hatta tidak bersedia dimakamkan di TMP. Ia ingin tetap berada di tengah rakyat yang nasibnya diperjuangkan hampir seumur hidupnya.

“Jadi tidak ingin dimakamkan di taman pahlawan. Karena ya barangkali dalam situasi ketika itu Bung Hatta agak kecewa karena yang menurut beliau tidak patut menjadi pahlawan ada di situ juga,” ucap Meutia.

Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) itu juga menyebut penolakan ayahnya merupakan bentuk protes terhadap situasi politik saat itu. Bagi Bung Hatta pemberian gelar pahlawan, dan siapa yang berhak dimakamkan di TMP telah disisipi kepentingan politik. Maka penolakan dari Bung Hatta akhirnya muncul.

Baca juga: Hatta yang Keras Kepala

Dalam surat yang ditulis tahun 1975 tersebut, Bung Hatta berwasiat agar dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet. Tetapi Presiden Soeharto menetapkan TPU Tanah Kusir sebagai tempat peristirahatan terakhir Bung Hatta. Pemerintah mempersiapkan segala kebutuhannya. Dibantu insinyur Siswono Yudo Husodo, Soeharto merancang sendiri desain makam Bung Hatta di pekuburan Tanah Kusir. Bentuknya seperti yang terlihat sekarang.

Selain bagi Bung Hatta, rancangan makam itu juga diperuntukkan bagi istrinya, Rachmi Hatta. Soeharto memang merancang makam tersebut untuk dua orang. Posisinya tepat berada di samping Bung Hatta. Rachmi sempat menolak usulan tersebut. Kemudian Soeharto berkata: “Oh tidak permaisuri, satu-satunya istri, harus berdampingan dengan suami,” kata Soeharto sebagaimana diceritakan Meutia. Usulan itupun akhirnya diterima keluarga.

“Prinsip Bung Hatta soal wasiat tidak memikirkan diri sendiri, kecuali di mana dia mau dikubur. Itu sebetulnya simbol dari sifat beliau bahwa hidupnya betul-betul berjuang untuk bangsa. Jadi (dimakamkanlah Bung Hatta) di tengah pekuburan rakyat,” ungkap Meutia.

TAG

mohammad hatta bung hatta

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial