TAK mudah menghapus pungli. Sejak lama ia sudah mengemuka tapi tak bisa diberantas. Pada 1970-an, Menteri Perhubungan dan Transportasi Frans Seda pun kewalahan mengatasi merebaknya pungutan uang siluman di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Medan, Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Uang siluman merupakan pungutan-pungutan di luar ketentuan untuk memperlancar barang ke luar dari pelabuhan. Menurut Zahri Achmad, kala itu ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), biaya siluman yang harus dikeluarkan setiap importir untuk kalangan Tanjung Priok (pegawai Bea Cukai, Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan, dan lain-lain) sebesar Rp 20.000 per penyelesaian dokumen. Ini belum termasuk “uang jalan” pos-pos polisi di luar pelabuhan di mana truk-truk lewat, polisi lalu-lintas, hansip, dan sebagainya.
“Menurut laporan, untuk itu sekurang-kurangnya diperlukan Rp. 7 juta seharinya,” kata Zahri kepada Ekspres, 25 Mei 1973.
Untuk menertibkan sistem pengelolaan pelabuhan Tanjung Priok sekaligus pemasukan keuangan negara, Presiden Soeharto mengeluarkan Kepres No. 61/1971. Atas dasar inilah dibentuk Team Penertiban Pelabuhan Tandjung Priok. Tugas tim tersebut kemudian diperluas untuk pelabuhan Belawan, Palembang, Semarang, Tandjung Perak/Surabaya, Ujung Pandang, Bitung, dan pelabuhan penting lainnya yang dianggap perlu. Perluasan tugas ini diatur dengan Keppres No. 32/1972.
Tim ini dipimpin Slamet Danusudirdjo, dirjen Bea Cukai –juga dikenal sebagai seorang novelis dengan nama pena Pandir Kelana.
Pada 10 Mei 1973, Slamet menyatakan komitmennya untuk mengusir dan membabat “setan-setan” yang kerjanya hanya menimbulkan biaya-biaya siluman yang merugikan negara. “Mulai Jumat besok, seluruh aparatur Direktorat Bea Cukai harus bersih dan menertibkan dirinya. Yang suka main perlambat prosedur atau suka memeras, saya tidak kenal ampun. Kalau perlu, saya akan Abukiswo-kan,” kata Slamet di hadapan 800 aparat Bea Cukai, dikutip Ekspres.
Abukiswo adalah pejabat Direktorat Bea Cukai yang diadili karena tersangkut kasus penyelundupan mobil-mobil mewah milik Robby Tjahyadi.
Sejak pengangkatan Slamet sebagai dirjen Bea Cukai, banyak orang menaruh harapan. Termasuk Mochtar Lubis. Dalam tajuknya di suratkabar Indonesia Raya, 24 Mei 1972, Mochtar Lubis menulis penggantian Dirjen Bea Cukai Padang Sudirdjo yang menjabat selama sembilan tahun oleh Slamet Danusudirdjo disambut baik. Pasalnya, bersama satu kelompok bekas anggota Tentara Pelajar, Padang Sudirdjo berhasil membina semacam “kerajaan” di dalam Bea Cukai. Laporan-laporan tentang “permainan” mereka di Bea Cukai tidak henti-hentinya disiarkan, tetapi rezim Padang berhasil bertahan terus dari tahun ke tahun. Dari berbagai kasus penyelewengan dalam Bea Cukai yang besar-besar tak ada yang sampai ke pengadilan. Sebagian besar diselesaikan hanya dengan tindakan administratif.
“Selama rezim Padang berlangsung, negara telah dirugikan cukup banyak oleh penyelewengan dalam Bea Cukai,” tulis Mochtar. “Kita mengucapkan selamat pada penggantinya, Jenderal Slamet Danusudirdjo, yang adalah Ketua Tim Walisongo yang telah membersihkan Pelabuhan Tanjungperiuk dari orang-orang dan praktik-praktik yang merusak yang selama ini merajalela di sana.”
Meski Tim Walisongo cukup berhasil memberantas pungutan uang siluman, namun tidak demikian dengan “uang pelancar” alias tips. Tanpa tips, buruh-buruh pelabuhan lesu bekerja.
“Coba saja tidak kita berikan uang pelancar, pasti barang-barang kita diperlambat,” kata seorang pemilik Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), dikutip Ekspres. “Buruh-buruh akan menjatuhkan barang-barang dan merusaknya. Siapa pula akan menjamin semuanya?”
[pages]