Masuk Daftar
My Getplus

Utusan Presiden RI Dikerjai Kala Berupaya Ambil Hati Pemimpin PRRI

Hasjim Ning diutus presiden untuk menemui A. Husein guna merundingkan persoalan PRRI. Malah dikerjai.

Oleh: M.F. Mukthi | 24 Jul 2020
Hasjim Ning mendampingi Presiden Sukarno (Repro Pasang Surut Pengusaha Pejuang).

Ketika mengunjungi pamannya, Bung Hatta, pada awal 1958, Hasjim Ning mendapat reaksi tak biasa dari Bung Hatta yang berpembawaan tenang. Bung Hatta naik pitam karena diberitahu bahwa Kolonel Ahmad Husein ingin memberontak.

“Apa A. Husein sudah gila, mau berontak? Apa ia tidak tahu bahwa anak buahnya yang sudah rata-rata berusia 30 tahun itu tidak lagi seampuh pada waktu berusia 20 tahun? Apalagi mereka itu sudah berkeluarga semua,” kata Bung Hatta, dikutip Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.

Apa yang dilakukan Husein merupakan respon lebih lanjut para perwira daerah terhadap jawaban yang diberikan pemerintah pusat tentang permintaan otonomi lebih luas dan pengembalian dwitunggal Sukarno-Hatta.

Advertising
Advertising

“Pada tanggal 10 Februari 1958 mereka mengeluarkan sebuah ultimatum dari Padang yang menuntut supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam tempo lima hari, dan supaya dibentuk kabinet baru oleh Hatta dan Sultan Yogya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka akan membentuk pemerintah tandingan di Sumatera,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.

Tuntutan itu dijawab PM Djuanda-KSAD Nasution dengan memecat para perwira daerah yang membangkang. “Sikap yang diambil pemerintah pusat itu memaksa kaum pembangkang untuk melaksanakan ancaman mereka. Pada tanggal 15 Februari di Padang dibentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri,” sambung Sundhaussen.

Baca juga: Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta

Rumitnya masalah dan cara penanganan yang mesti diambil itulah isi obrolan Bung Hatta dan Hasjim. Di tengah obrolan itulah Hasjim dipanggil Presiden Sukarno untuk makan malam di Istana Bogor. Hasjim lalu diberi tugas.

“Hasjim, temui Husein ke Padang. Katakan kepadanya bahwa aku mau bicara dengan dia di sini. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa atas dirinya. Takkan seorang pun yang boleh dan berani melakukan penangkapan atasnya. Karena dia adalah anakku. Katakan juga kepadanya, kalau pemerintah dan angkatan perang bertekad melakukan tindakan militer, akan sulit bagiku untuk mencegahnya. Ini suatu dilema bagiku. Katakan begitu,” kata Presiden Sukarno memberi perintah sebagaimana dikutip Hasjim.

Hasjim tak bisa menolaknya meski tugas itu amat berat. Meski yang akan ditemuinya sesama orang Minang dan dia punya reputasi bagus di sana sekaligus dikenal sebagai keponakan Bung Hatta, Hasjim masih dibayangi kegagalan tugas serupa sebelumnya. Terlebih, utusan-utusan yang berulangkali dikirim Jakarta untuk bernegosiasi dengan A. Husein selalu gagal. Eni Karim, utusan resmi pemerintah pusat; Mr. Hardi, utusan PM Djuanda; Bachtar Lubis, kawan Hasjim yang diutus KSAD Nasution; Mr. Nazir Pamontjak; dan Mr. Zairin Zain merupakan sederet utusan Jakarta yang gagal itu.

Maka sebelum berangkat ke Padang, Hasjim kembali menemui Bung Hatta untuk meminta petunjuk. Penjelasan Bung Hatta justru membuat nyalinya ciut. 

“Aku katakan, Hasjim tidak akan berhasil, karena Husein sedang merasa dirinya di atas angin. Ia pikir rakyat Sumatera Barat mendukungnya. Sebenarnya tidak. Rakyat Sumatera Barat menghendaki daerah otonomi yang lebih luas. Kalau Sukarno mau membicarakan otonomi itu, Husein tidak berarti apa-apa lagi. Karena ia memang tidak berarti apa-apa bagi rakyat,” kata Bung Hatta.

Kendati mengkritik cara penyelesaian Sukarno, Hatta tetap menyalahkan Husein. “Tindakan Husein itu sama dengan putsch militer. Itu sangat berbahaya bagi negara dan demokrasi. Penyelesaiannya mesti penyelesaian politik, bukan militer,” sambung Hatta.

Baca juga: Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening

Hatta sendiri sudah berupaya ikut menyelesaikan persoalan itu dengan mengutus Baharudin Datuk Bagindo dan Bujung Djalil. Keduanya gagal.

“Namun,” sambung Bung Hatta, “tidak ada salahnya kalau Hasjim mencoba. Hasjim harus tahu, aku orang partikelir. Beda dengan Sukarno, yang mengutus Hasjim. Karena ia presiden. Kalau Hasjim gagal, A. Husein telah betul-betul menentang pemerintah menurut konstitusi.”

Hasjim akhirnya berangkat ke Padang. Di Bandara Kemyoran, dia ketemu Direktur BI Mr. Lukman Hakim. Hasjim dititipi pesan untuk Sjafruddin Prawiranegara yang jabatan resminya presiden Bank Indonesia. “Bung Hasjim, temui Pak Sjafruddin. Katakan kepada beliau, pergilah ke mana saja dalam rangka cuti atas tanggungan Bank Indonesia,” kata Lukman pada Hasjim.

Tiba di Padang, Hasjim langsung mencoba menemui Husein namun gagal. Kata orang-orang yang ditemuinya, Husein berada di Bukittinggi. Maka Hasjim langsung menemui Wowo, perwakilan dari Djakarta Motor Company, perusahaan otomotif milik Hasjim, untuk diantar ke Bukittinggi. Hasjim dan Wowo berangkat selepas magrib diantar seorang driver.

Dalam keadaan hujan lebat di daerah menjelang Kayutanam, Wowo menghentikan bus dari lawan arah untuk menanyai keberadaan Husein. “Sopir mengulangi pertanyaan itu kepada penumpang. Aku mendengar penumpang berteriak mengatakan bahwa A. Husein tidak ada di Bukittinggi,” kata Hasjim mengisahkan kelakuan supirnya.

“Aku sudah mulai curiga pada Wowo. Dahulu ia seorang perwira, kini ia seorang pengusaha. Kok ia menanyakan A. Husein kepada orang banyak. Seolah-olah ia tidak memahami sekuriti militer lagi.”

Baca juga: Jusuf Muda Dalam di Mata Hasjim Ning

Kecurigaan Hasjim bertambah ketika tiba-tiba mobil yang ditumpanginya mogok dalam perjalanan setelahnya. Hasjim menganggap janggal tindakan Wowo yang, sebagai orang paham mesin, langsung mengatakan perjalanan tak bisa dilanjutkan alih-alih mengecek mesin mobil terlebih dulu. Lantaran dongkol, Hasjim menyerahkan perjalanan selanjutnya kepada Wowo yang kemudian memilih putar arah ke Padang.

Setelah keduanya basah kuyup mendorong mobil agar mengarah ke Padang, perjalanan dilanjutkan dengan mobil bergerak di jalan menurun dalam kondisi mesin mati. Atas perintah Hasjim, supir memasukkan persneling ke gigi empat dan mesin pun hidup. Namun, mesin mobil hanya hidup sampai Lubuk Buaya. Kali ini, mobil mogok karena kehabisan bensin.

“Aku bertambah dongkol. Masa untuk perjalanan jauh, Wowo tidak menyuruh tangki mobilnya diisi penuh,” kata Hasjim.

 

Hasjim dan Wowo akhirnya menyewa bendi untuk mencapai Padang. Mobil dan supir mereka tinggalkan di tempat. Setelah itu Hasjim tak pernah mau ditemui Wowo meski Wowo dua kali berupaya menemuinya dengan mendatangi hotel. Hasjim berpaling kepada Ketua IPKI –partai politik yang Hasjim ikut dirikan bersama AH Nasution– Padang Mustafa Kamal untuk upayanya menemui Husein. Namun alih-alih membantu, Mustafa justru menasihati Hasjim.

Baca juga: Hasjim "Keki" Gara-gara Bung Karno Ngungsi Tak Bawa Koki

“Percuma saja menemui A. Husein. Bung bisa ditangkap dan dikenai tahanan rumah seperti Bujung Djalil yang diutus Bung Hatta baru-baru ini,” kata Mustafa, dikutip Hasjim.

Atas saran Mustafa agar segera kembali ke Jakarta sebelum hari ultimatum Husein tiba, Hasjim akhirnya kembali ke Jakarta tanpa bisa menemui Husein. Sempat tanpa sengaja bertemu Sjafruddin Prawiranegara dan menyampaikan pesan dari Lukman Hakim, Hasjim menumpang pesawat Garuda Indonesia untuk kembali esoknya.

“Aku pikir, nasihatnya itu benar juga. Ternyata, pada hari keberangkatanku itu A. Husein dan kawan-kawannya mengumumkan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Jadi, aku benar-benar berangkat dengan pesawat terakhir,” kata Hasjim yang akhirnya membenarkan prediksi Bung Hatta sebelum berangkat.

TAG

sukarno mohammad hatta hasjim ning

ARTIKEL TERKAIT

Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Di Sekitar Indonesia Menggugat Bung Karno di Meksiko Kabinet 100 Menteri dan Kabinet Merah Putih Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini Bowo Kecil Ditimang Bung Karno Evolusi Angkatan Perang Indonesia Bung Karno dan Jenderal S. Parman Penggila Wayang Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967