Mactan, Filipina, 27 April 1521. Ferdinand Magellan bersama 60 anak buahnya telah bersiap perang melawan penduduk Mactan tiga jam sebelum fajar. Mereka sudah berbaju zirah lengkap dengan helm. Mereka juga disertai raja lokal, pangeran, beberapa pemimpin lokal dan sekitar 30 perahu tradisional balanghai.
Perang tersebut disebabkan karena penduduk Mactan tidak mau tunduk pada perintah Magellan maupun pada raja-raja lokal yang telah memeluk Katolik. Merekapun siap bertempur. Tombak-tombak bambu dengan pucuk besi tajam dan panah-panah beracun telah disiapkan. Lubang-lubang jebakan juga telah digali di sekitar rumah-rumah penduduk. Mactan tak ingin jatuh ke tangan Magellan.
“Kapten tidak ingin berperang saat itu, tetapi mengirim pesan kepada penduduk asli melalui orang Moor yang menyatakan bahwa jika mereka mematuhi raja Spanyol, mengakui raja Kristen sebagai penguasa mereka, dan memberi upeti, kapten akan menjadi teman mereka; tetapi jika mereka menginginkan sebaliknya, mereka akan melihat bagaimana tombak kami melukai,” tulis Antonio Pigafetta dalam The First Voyage around the World (1519– 1522): An Account of Magellan’s Expedition (Theodore J. Cachey Jr., Ed.).
Baca juga: Misteri Enrique de Malacca
Pembangkangan penduduk Mactan itu membuat Magellan memutuskan untuk menyerang. Sayangnya, perahu-perahu Magellan terhalang bebatuan sehingga mereka harus turun dari perahu yang berjarak dua kali tembakan panah dari pantai. Mereka turun pada air ketinggian sepaha dan berjalan kaki menuju pantai.
Selagi pasukan Magellan berjalan menuju pantai, penduduk Mactan telah membuat persiapan tak terduga. Sekira 1500 prajurit terbagi dalam tiga divisi siap menyerang dari depan, kanan, dan kiri. Maka begitu orang-orang Magellan mendekati bibir pantai, mereka dihujani panah dan tombak.
Para musketeer dan crossbowmen Magellan memberi perlawanan. Namun tembakan mereka hanya menembus beberapa perisai kayu penduduk Mactan. Mereka kalah jumlah.
“Kapten berteriak kepada mereka, 'Berhenti menembak, berhenti menembak!' Tetapi perintahnya sama sekali tidak diindahkan. Ketika penduduk asli melihat bahwa kami menembakkan senapan kami tanpa tujuan, berteriak, mereka bertekad untuk berdiri teguh, dan mereka melipatgandakan teriakan mereka ketika senapan kami kehabisan amunisi,” tulis Pigafetta.
Penduduk Mactan menyerang dengan lincah. Mereka meloncat ke sana-kemari, menyulitkan prajurit Magellan. Beberapa orang Magellan kemudian berhasil membakar rumah-rumah untuk menakuti mereka. Sayangnya, itu makin membakar kemarahan penduduk Mactan.
Baca juga: Kisah Martir Portugis di Aceh
Dalam suasana kacau, Magellan terkena panah beracun pada kaki kanannya. Sang Kaptenpun lalu memerintahkan pasukan mundur. Mereka kemudian melarkan diri dan hanya tersisa enam atau delapan orang yang bersama Magellan. Gerak mundur mereka dibayangi lemparan tombak dan batu para prajurit Mactan yang terus memburu.
Magellan dan anak buahnya harus berjibaku dalam air setinggi paha lantaran mortir-mortir di perahu mereka tak berguna karena jarak terlalu jauh. Mereka terus dilempari tombak. Wajah dan lengan Magellan kemudian terkena tombak. Ketika Magellan baru menarik pedangnya setengah, prajurit-prajurit Mactan langsung mengeroyoknya.
“Salah satu dari mereka melukai dia di kaki kirinya dengan terciado besar, yang menyerupai pedang, hanya saja lebih besar; yang menyebabkan kapten jatuh tertelungkup,” tulis Pigafetta.
Magellan tewas diserbu tombak bambu dan besi. Sisa pasukannya bersusah-payah mundur ke perahu-perahu yang telah menjauh dari pulau. Mactan telah memberi pukulan telak bagi para penjelajah Spanyol itu.
Nasib malang anak buah Magellan ternyata tak hanya sampai di situ. Pada 1 Mei 1521, Raja Humabon menjamu mereka yang selamat. Jamuan itu ternyata berujung pengkhianatan Raja Humabon dan mereka dibantai. Salah satu orang yang selamat dalam pembantaian itu ialah Enrique de Malacca, budak Magellan yang dibeli dari Malacca.
Baca juga: Inilah Tiga Orang Jawa yang Membahayakan Portugis
Selamatnya Enrique dari pembantaian Raja Humabon yang sebelumnya berafiliasi dengan Magellan memunculkan kecurigaan. Apalagi, ia juga sempat ditekan oleh Kapten Duarte Barbosa pasca-kematian Magellan. Enrique dibentak karena tak mau menuruti perintah Barbosa dan disebut akan menjadi budak istri Magellan, Madame Beatriz, selamanya.
Menurut sejarawan Laurence Bergreen dalam Over The Edge of The World, kata-kata kasar Barbosa membuat Enrique marah dan keluar dari kapal. Bukan untuk memenuhi perintah Barbosa, melainkan untuk merencanakan konspirasi dengan Raja Humabon.
“Pigafetta percaya bahwa Enrique, saat meninggalkan kapal, mencari Humabon, ‘Raja Kristen’, begitu dia dipanggil, untuk bersekongkol melawan armada, meskipun pemimpin Cebuan tampaknya adalah sekutu setia orang Eropa,” tulis Bergreen.
Bergreen menyebut bahwa Enrique mungkin tidak mau menjadi budak selamanya. Selain itu, penemuan kembali asal-usul Filipina-nya, jika ia memang berasal dari Filipina, membangkitkan perasaan kesetiaan dan kekerabatan.
Sementara itu, Raja Humabon yang sempat beraliansi dengan Magellan berada dalam dilema. Magellan yang bisa melindunginya telah mati dan kapal-kapalnya segera berlayar pergi. Lapu-lapu dan pejuang Mactan yang kemungkinan akan balas dendam kepadanya tentu menjadi ancaman. Tekanan juga datang dari rakyatnya sendiri yang membenci perlakuan orang Eropa kepada perempuan-perempuan mereka. Maka, mengkhianati anak buah Magellan adalah pilihan masuk akal.
Baca juga: Di Filipina, Kali Majapahit Lestari
Katleen Nadeau dalam The History of The Philippines, Second Edition setuju dengan asumsi bahwa Enrique berkhianat. Menurutnya, Pigafetta juga berasumsi bahwa Enrique telah mempengaruhi Raja Humabon agar berbalik melawan anak buah Magellan.
“Dia mungkin meyakinkan raja bahwa Spanyol sedang berencana untuk melawannya,” sebut Nadeau.
Dalam perjamuan yang berakhir dengan pembantaian itu, 27 anak buah Magellan tewas termasuk Duarte Barbosa yang pernah membentak Enrique. Sementara seorang pastor dan Kapten Serrano ditangkap. Serrano yang meminta agar nyawanya ditukar dengan ransum, akhirnya ditinggalkan kapal. Kapalpun menjauh dan pergi mencari jalan menuju Maluku.
Kepala suku Mactan Cilapulapu yang populer sebagai Si Lapu-lapu, kelak diangkat sebagai pahlawan nasional pertama Filipina modern. Sementara Enrique, jejalnya hilang setelah itu, dianggap sebagai orang pertama yang telah mengelilingi bumi dan asal-usulnya terus diperdebatkan.