NAMANYA tak pernah disebut di dalam buku pelajaran sejarah. Mungkin juga dianggap terlalu kecil apabila disandingkan dengan tokoh-tokoh besar dalam sejarah di Indonesia. Tapi kisah kecil dokter lulusan Sekolah Kedokteran Hindia Belanda (Nederlands Indische Artsen School, NIAS) di Surabaya itu menjadi penting untuk diketahui karena ia bagian dari peristiwa besar di dalam sejarah dunia: Perang Sipil Spanyol.
Perang yang berlangsung sejak 1936 sampai 1939 itu dipicu oleh kudeta militer Jenderal Franco terhadap pemerintahan demokratik yang sah di bawah Presiden Manuel Azana. Pemerintahan Azana yang terpilih secara demokratis didukung kelompok kiri berhasil ditumbangkan Jenderal Franco pada 1939. Franco memerintah Spanyol sampai dengan kematiannya pada 1975. Perang ini sering digambarkan sebagai pertempuran kaum fasis melawan kubu republik yang pro demokrasi.
Kubu republik banyak mendapat dukungan sukarelawan yang berdatangan dari berbagai negara. Tak hanya Tio Oen Bik yang datang dari Indonesia, sejumlah nama besar pun pernah terlibat di dalam perang ini. Sebut saja semisal George Orwell, penulis Inggris yang saat itu berperang melawan kelompok fasis Franco. Dia menuangkan pengalamannya itu ke dalam buku Homage to Catalonia.
Anak Bandel Gandrung Kemerdekaan
Lahir di Bojonegoro, 27 Januari 1906, pada 1925 Tio menempuh pendidikan di sekolah kedokteran di Surabaya (NIAS). Dia datang ke Eropa pada 1929 untuk belajar ilmu kedokteran lanjutan ke Universiteit van Amsterdam (UVA), Belanda. Semasa sekolah di Surabaya, Tio dikenal sebagai siswa yang cukup bandel. Hal itu bisa diketahui dari sebuah berita yang dimuat koran Bataviaasch Nieuwsblad edisi 30 Mei 1927 tentang kecelakaan yang dialami Tio.
Tio terjatuh dari atas plafon ruang rapat guru demi menguping hasil ujian yang sedang dibahas guru-gurunya. Naas itu bermula ketika dia bersama dengan kawan-kawannya sesama siswa tahun ketiga NIAS yang lain ingin mengetahui lebih dulu hasil ujian yang mereka telah tempuh. Diam-diam Tio dan kawan-kawannya dari naik ke atas atap ruang pertemuan guru dan merayap di atas plafon. Apesnya, atap tidak kuat menahan beban tubuh Tio. Dia terjatuh dengan posisi kepala terbentur ke lantai dan tak sadarkan diri. Dia mengalami cidera di bagian kepalanya, nyawanya berhasil diselamatkan setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
Semasa kuliah di Belanda, berbeda dari Tionghoa lain yang bersekutu dengan pemerintah kolonial atau berorientasi ke negeri Tiongkok, Tio memilih jalan kemerdekaan Indonesia. Seperti halnya mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negeri Belanda, Tio aktif di dalam gerakan politik pembebasan nasional Indonesia.
Pro Kemerdekaan Indonesia
Bersama dua kawan kuliahnya di UVA, Tan Ling Djie, mahasiswa hukum, kelak menjadi petinggi teras Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tjoa Sik Ien, mahasiswa kedokteran, Tio mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia (SPTI). SPTI menjadi kompatriotnya Perhimpunan Indonesia (PI) yang telah lebih dulu berdiri sebagai organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda.
Kegiatan Tio selama di Belanda tak melulu kuliah. Menurut Len Tsou dan Nancy Tsou dalam tulisannya, “Tio Oen Bik, A Global Warior”, yang dimuat jurnal The Volunteer Vol. XVIII No. 1/1996, Tio juga aktif di dalam gerakan politik internasional. Pada 1932, Tio berpartisipasi di dalam kongres Anti-Perang Sedunia di Amsterdam. Dia juga banyak membantu para pelaut Tiongkok yang terhalang pulang karena depresi ekonomi sepanjang era 1930-an.
Tak lama setelah kedatangannya di Belanda, dunia dilanda depresi ekonomi. Fasisme bangkit di Eropa, mulai Jerman, Italia sampai Spanyol. Aroma kebencian dan kekerasan yang digelorakan kaum fasis mulai menyebar ke berbagai penjuru Eropa. Han Hwie-Song, seorang warga Tionghoa Indonesia yang bermukim di Breda, Belanda, menulis dalam sebuah mailing list Sastra Pembebasan, situasi tersebut mempengaruhi Tio.
“Dr. Tio aktif di dalam masyarakat internasional dan menunjukkan kepeduliannya untuk memberantas fasisme di dunia internasional,” tulis Han dalam surel tertanggal 7 Januari 2010.
Bertempur di Spanyol
Pada Maret 1937, Tio memutuskan bergabung dengan Brigade Internasional di Spanyol untuk bertempur melawan rezim fasis Franco. Menurut Siauw Giok Tjhan dalam bukunya Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar, keputusan Tio itu sepengetahuan Perhimpunan Indonesia dan mewakili rakyat Indonesia. Di dalam brigade itu dia bertugas sebagai perwira kesehatan berpangkat letnan di sebuah rumah sakit rehabilitasi korban perang di kota Mahora, provinsi Albacete, sebelah tenggara Madrid.
Setelah hampir setahun bertugas di rumah sakit, Tio turun ke medan pertempuran dengan bergabung ke barisan anti-serangan udara di Denia, pesisir timur Spanyol. Menurut Len Tsou dan Nancy Tsou, di dalam barisan tersebut terdapat 90-an sukarelawan yang datang dari berbagai negara, mulai Norwegia sampai Amerika.
Dalam tulisan yang sama Len Tsou dan Nancy Tsou mewawancarai beberapa kawan Tio yang masih hidup. Antara lain Leo Rosenberg, seorang sukarelawan dari Amerika yang pernah berada dalam satu penugasan dengan Tio. Dia mengenang Tio sebagai, “seorang yang berusaha keras, bekerja keras, namun sangat tenang, menjalankan tugas kesehatan secara efisien dan tanpa pretensi.”
Pada 1938, pemerintah Spanyol dari kalangan republik memutuskan untuk memulangkan relawan internasional. Tio keluar dari Spanyol dan sempat tertahan di Prancis selama hampir setahun. Pada pertengahan 1939, dia berhasil kembali ke Belanda. Begitu mendengar Jepang menginvasi Tiongkok melalui Manchuria, semangat memerangi fasis kembali bangkit. Tio dan beberapa kawannya memutuskan untuk pergi ke Tiongkok untuk membantu Tiongkok berperang melawan Jepang.
Tiba di Yenan, Tiongkok pada 1940, Tio bertugas di sebuah rumah sakit di Yenan. Merujuk ke tulisan Len Tsou dan Nancy Tsou, selama masa itu, Tio hidup di komunitas Wen Hua Gou (Wilayah Budaya) bersama dengan banyak kalangan pekerja Internasional seperti George Hatem (AS), T. Basu (India), Hans Muller (Jerman), terdapat juga kaum revolusioner lain asal Indonesia, Vietnam dan Korea.
Pulang ke Indonesia
Setelah Jepang kalah perang, Tio memutuskan untuk meneruskan pengabdiannya bersama dengan dokter-dokter lainnya yang pernah berjuang di perang sipil Spanyol. Tio diketahui pula aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sempat mewakili PKI dalam kongres Partai Komunis India pada 1948. Setelah sempat melanglangbuang ke Eropa usai kemenangan Republik Rakyat Tiongkok, Oktober 1949, Tio memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
Dia tiba di Jakarta pada 1953. Begitu datang, Tio memutuskan kembali mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan dengan bekerja di pusat penanganan penyakit lepra. Lama mengabdikan diri di tengah penderita lepra, Tio pindah ke Surabaya. Pada 1960, Tio pindah ke Ambon di mana dia sempat menikahi seorang perawat namun pernikahan itu tak berlangsung lama.
Dari Ambon Tio pulang ke kampung halamannya di Bojonegoro, Jawa Timur. Dokter yang dikenal tak pernah memungut bayaran dari rakyat kecil yang menjadi pasiennya itu meninggal pada 1966. Melalui keterangan Rolf Becker, sahabat Tio di Jerman, Len Tsou dan Nancy Tsou menulis tentang kemungkinan Tio tewas dalam pembantaian massal yang terjadi pada kurun 1965–1966. Namun seorang saksi lain mengatakan kalau Tio meninggal di Bojonegoro karena menderita sakit.
Sejarawan dari Cardiff University Gregor Benton memasukan nama Tio sebagai satu dari sekian banyak orang Tionghoa perantauan yang aktif di dalam gerakan internasional namun dilupakan sejarah. Kendati perannya di dalam sejarah tak pernah dikenal luas, Len Tsou dan Nancy Tsou penulis kisah Tio Oen Bik menjulukinya sebagai “petarung global”. Dan ahli kajian masyarakat Tionghoa peranakan dari National University of Singapore Leo Suryadinata memasukkan nama Tio Oen Bik sebagai salah satu orang Tionghoa Indonesia yang terkemuka.