Masuk Daftar
My Getplus

Tetsu Nakamura Sang Samurai Kemanusiaan

Pahlawan kemanusiaan di Afghanistan asal Jepang. Mendedikasikan hidupnya untuk masyarakat yang dikoyak perang.

Oleh: Randy Wirayudha | 09 Des 2019
Dr. Tetsu Nakamura yang diberi gelar warga kehormatan Afghanistan tewas dalam serangan kelompok bersenjata, Rabu (4/12/2019) (Foto: auroraprize.com/ias.kyushu-u.ac.jp)

LAIKNYA seorang samurai, Tetsu Nakamura tetap menyongsong permulaan hari dengan tegar betapapun di sekitarnya jamak ancaman. Rabu, 4 Desember 2019 itu ia teguh untuk berperjalanan jauh dari Jalalabad, Provinsi Nangarhar, Afghanistan, menuju lokasi proyek kemanusiaan yang tengah dijalaninya, sekira 25 kilometer dari Jalalabad.

Tak dinyana, di tengah jalan rombongan kendaraannya diserang kelompok bersenjata yang hingga kini belum jelas dari kelompok mana. Yang pasti, serangan itu bikin hari Rabu itu menjadi kelabu bagi keluarga Nakamura maupun segenap rakyat Afghanistan yang kehidupannya tertatih-tatih dikoyak konflik bersenjata.

Selain Nakamura, beberapa staf dan anggota polisi yang mengawal rombongan juga dilaporkan tewas. Nakamura masih hidup saat dibawa ke rumahsakit di Nangarhar. Kondisinya kritisnya membuat Nakamura mesti dirujuk ke fasilitas kesehatan militer Amerika di Bagram. Namun dalam perjalanan ke landasan udara untuk bisa diterbangkan ke Bagram, Nakamura mengembuskan nafas terakhir di usia 73 tahun.

Advertising
Advertising

Segenap rakyat Afghanistan berduka. Istri dan putri Nakamura menjemput jasadnya ke Kabul pada Sabtu, 7 Desember 2019. Sebelum dipulangkan, jasad Nakamura diberi penghormatan militer oleh pemerintah Afghanistan. Upacara pelepasan “sang samurai” ke negerinya itu dipimpin langsung Presiden Afghanistan Ashraf Ghani.

Dr. Tetsu Nakamura di Afghanistan. (fukuoka-prize.org).

Paman Murad di Jalan Kemanusiaan

Tak banyak cerita dari masa kecil Nakamura, yang lahir di Fukuoka pada 15 September 1946. Selepas pendidikan dasar dan menengah, ia melanjutkan pendidikan tingginya ke jurusan medis di Universitas Kyushu hingga lulus pada 1973. 

Keinginannya untuk mengabdikan diri ke wilayah-wilayah terpencil di luar Jepang terinspirasi kisah dokter Iwamura Noboru. Menurut Ryuhei Hatsuse, guru besar hukum dan hubungan internasional Universitas Tokyo,  dalam “Nakamura Tetsu and the Peshawar-kai” yang dimuat di Pan-Asianism: A Documentary History, 1920-Present, dokter Iwamura mengabdikan dirinya bertahun-tahun menjadi relawan kemanusiaan di Nepal dengan sokongan Japan Overseas Christian Medical Cooperative Service (JOCS).

“Inspirasi itu yang membuat Nakamura juga bergabung dengan JOCS. Pada Mei 1984 dia dikirim ke Rumahsakit Misi JOCS di Peshawar di utara Pakistan, di mana dia memimpin unit perawatan penyakit kusta. Nakamura juga didukung LSM Peshawar-kai yang berbasis di Fukuoka yang didirikan beberapa temannya pada September 1983, saat Nakamura tengah menyiapkan diri berangkat ke Pakistan,” ungkap Hatsuse.

Baca juga: Persahabatan Indonesia-Afghanistan

Perang di Afghanistan membuat Nakamura juga menangani para pengungsi Afghanistan yang melarikan diri ke Peshawar. Untuk mengakomodasi aktivitasnya, Peshawar-kai mendirikan Japan-Afghanistan Medical Service (JAMS) dan menunjuk Nakamura sebagai pemimpin lapangannya.

Namun, kegiatan JAMS tak hanya dilakukan di Peshawar namun juga lintas perbatasan. “Hal itu melanggar aturan JOCS. Alhasil Nakamura terpaksa mengundurkan diri dari JOCS pada 1990,” sambung Hatsuse.

Kanal irigasi yang dibuat Tetsu Nakamura, baik sebelum dan sesudah rampungnya kanal. (peshawar-pms.com).

Setahun berselang, Nakamura bersama stafnya di JAMS dan Peshawar-kai mendirikan tiga klinik di Provinsi Nangarhar, Afghanistan dengan pusatnya di Distrik Khewa. Dari pengalamannya, sejumlah penyakit yang ditanganinya ternyata bersumber dari minimnya air bersih. Fakta inilah yang membuat Nakamura mulai mencanangkan proyek kanal irigasi di Nangarhar menjelang akhir 1990-an.

Ia gunakan metode tradisional Jepang dengan beberapa modifikasi, mengingat berbedanya kondisi alam di Jepang dan tanah yang menghampar luas namun tandus di timur Afghanistan itu. “Satu kanal irigasi akan lebih bermanfaat ketimbang 100 dokter. Sebuah rumahsakit merawat pasien satu per satu, namun (kanal) ini membantu segenap desa. Saya senang melihat sebuah desa bisa hidup kembali,” ujar Nakamura saat diwawancara NHK World, 11 Februari 2017.

Baca juga: Nasib Tragis Chico Mendes Sang Environmentalist

Namun rencana itu terhambat situasi politik internasional akibat Tragedi “9/11” di New York, Amerika Serikat (AS), 11 September 2001. Kelompok Al-Qaeda dan Taliban di Afghanstan dan perbatasan Pakistan jadi sasaran pembalasan AS.

Padahal hingga Oktober 2001 saat Amerika mulai menghantam Afghanistan, Peshawar-kai yang dibantu warga setempat sudah berhasil menggali 600 sumur air di Kuz Kunar. Nakamura memilih bertahan di Nangarhar meski harus bekerja dalam ancaman bahaya. Ia dan sejumlah stafnya bahkan nyaris jadi sasaran serangan helikopter AS saat membangun kanal itu.

“Dua heli Amerika pada 2 November 2003 menembaki warga sipil, termasuk di dalamnya para relawan dan pekerja konstruksi Jepang yang sedang menggali kanal irigasi yang dikira basis Taliban. Beruntung tidak ada korban. Itu membuat motivasinya terhadap solidaritas terhadap sesama orang Asia bertambah, terutama mereka yang teraniaya dan rasa marahnya terbangun akibat dominasi dan kesewenangan pihak Barat (Amerika cs.),” sambung Hatsuse.

Sampai 2003, ia berhasil membangun Kanal Marwarid sepanjang 25,5 kilometer yang sumber airnya dialiri dari Sungai Kunar. Kanal itu berkah bagi warga setempat. Sekira 16 ribu hektar lahan perkebunan untuk menopang kehidupan 600 ribu warga di Gurun Gamberi, Nangarhar diairi oleh kanal itu. Nakamura pun kian dipuja hingga mendapat panggilan “Kaka Murad” yang artinya Paman Murad. “Murad” merupakan pelafalan pendek Nakamura dari lidah orang setempat.

Baca juga: Jadav Payeng Molai Selamatkan Majuli dari Kepunahan

Namun keberhasilan Nakamura itu tak serta-merta mendatangkan penghargaan dari pemerintah negerinya mengingat Nakamura mengecam dukungan Jepang terhadap agresi Amerika di Afghanistan. Justru pemerintah Filipina yang pertamakali mengakui dedikasinya dengan anugerah Ramon Magsaysay Award, penghargaan kemanusiaan, pada November 2003.

“Saya merasa beruntung bisa memperlihatkan dan berbicara tentang keadaan yang sebenarnya terkait Afghanistan yang sepertinya, banyak orang dibuat bingung akibat perang terhadap terorisme. Pengalaman saya di sana membantu saya melihat lebih jernih. Bagi saya ini waktunya merenungkan dan mencari apa yang sebenarnya paling dibutuhkan dan tidak dibutuhkan umat manusia,” ujar Nakamura di podium Ramon Magsaysay Center, Manila, saat menerima penghargaan itu, dikutip Jurnal The Handstand edisi Desember 2003.

Sayangnya situasi tahun 2007 menjadi lebih gawat bagi Nakamura. Para pelarian Taliban ke Peshawar membuat kacau aktivitas Peshawar-kai yang selalu mengirim bantuan yang diperlukan klinik-klinik mereka di Afghanistan. Pemerintah Pakistan lalu memerintahkan Peshawar-kai menutup semua kliniknya.

Dr. Tetsu Nakamura mendedikasikan hidupnya pada kemanusiaan di Pakistan dan Afghanistan hingga akhir hayatnya. (peshawar-pms.com/fukuoka-prize.org).

Penculikan dan pembunuhan Ito Kazuya, kontraktor pertanian asal Jepang, oleh Taliban pada Agustus 2008 membuat para relawan Jepang kian terancam. Mereka terpaksa dievakuasi dari Afghanistan dan Pakistan, kecuali Nakamura.

Bersama beberapa staf Peshawar-kai yang tersisa dan bantuan warga desa, Nakamura tetap menyelesaikan kanal irigasi lain yang mancapai 24,3 kilometer. Kanal yang rampung pada April 2009 itu mengairi 14 ribu hektar lahan pertanian dan menghidupi 100 ribu warga di sekitarnya.

Hingga 2019, nyaris setiap saat nyawa Nakamura terancam. Sebulan belakangan, ia dan beberapa staf Peshawar-kai dikabarkan jadi target pembunuhan. Peringatan kepadanya sudah berulangkali disampaikan otoritas Afghanistan, bahkan oleh Kementerian Luar Negeri Jepang.

Baca juga: Bantuan Senjata dari Indonesia untuk Mujahiddin Afghanistan

Namun, Nakamura tak sejengkal pun mundur dan bersikukuh menyelesaikan proyek kanal irigasi yang tengah digarapnya. “Dengan senang hati saya mati di sini,” cetus Nakamura, sebagaimana yang dikenang jurnalis Nikkei Asian Review dalam obituarinya, 5 Desember 2019.

Maut akhirnya menjemput Nakamura di tanah antah-berantah yang dipilihnya untuk mendedikasikan hidup guna membangun kehidupan ratusan ribu warga setempat.

“Dia (Nakamura) sudah tahu bahwa situasi dirinya akan sangat membahayakan saat dia berperjalanan. Dia tak pernah berperjalanan jauh tanpa pengawalan keamanan dan selalu mengubah rutenya setiap waktu,” ungkap Direktur Humas Peshawar-kai Mitsuji Fukumoto, dikutip Mainichi, Sabtu 7 Desember 2019.

Sayonara, dokter Tetsu Nakamura!

TAG

jepang afghanistan dokter obituari

ARTIKEL TERKAIT

Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia Prabowo Berenang di Manggarai