Masuk Daftar
My Getplus

Teror Armenia di Paris

Berhasrat membalas dendam dan mewujudkan tuntutan, sekelompok aktivis garis keras Armenia mengebom bandara di Paris.

Oleh: M.F. Mukthi | 17 Jul 2021
Ilustrasi suasana Bandara Orly sisi selatan setelah dibom sekelompok militan Armenia pada 1983 (Betaria Sarulina)

Psikiater Dr. Cyrus Irampour asal Prancis tak saling kenal dengan Peter Schultze, pelajar 24 tahun yang berpaspor Amerika Serikat dan Yunani, atau bocah Prancis bernama Francois Luc. Namun, pada 15 Juli 1983, ketiganya sama-sama berada di dekat konter check-in maskapai Turkish Airlines di Bandara Orly, Paris. Meski beda nasib, ketiganya sama-sama menjadi korban dari sebuah serangan teror.

Pengeboman Bandara Orly, demikian nama serangan teror itu, dilakukan kelompok militan Armenia bernama Armenian Secret Army for the Liberation of Armenia (ASALA). Kelompok militan beraliran kiri yang dipimpin Hagop Hagopian itu memperjuangkan kemerdekaan Anatolia Timur (Armenia Barat dari kacamata orang Armenia) dari Turki sekaligus menuntut pengakuan resmi Turki atas pembantaian sekira 1,5 juta orang Armenia pada 1915.

“Kami datang dari aliran dan lingkaran Armenia yang berbeda-beda, dan bersatu di ASALA, mengesampingkan semua konflik antar-komunal untuk mencapai tujuan utama, membebaskan Armenia Barat [Turki] dan menggabungkannya dengan Soviet Armenia yang merdeka sekarang, membentuk Armenia yang integral dan revolusioner,” demikian kata organisasi tersebut, dikutip Michael M. Gunter dalam Armenian History and the Question of Genocide.

Advertising
Advertising

ASALA lahir –pada tahun 1975– dari kekecewaan terhadap sikap “lembek” para elit dan senior Armenia usai peringatan 50 tahun Diaspora Armenia pada 1965. Perlahan tapi pasti, ASALA mulai mengambil alih kepemimpinan diaspora Armenia. Dengan finansial yang baik, tak butuh waktu lama ASALA terus berkembang.

“Kekuatan kami adalah orang-orang Armenia; dari situlah kami mendapat dukungan. Dan dari perampokan,” kata Hagopian, dikutip Gunter.   

Lewat ASALA pula perjuangan Armenia  berubah bentuk. Bila awalnya perjuangan dilakukan secara damai lewat kata-kata, ASALA mengubah perjuangan menggunakan teror, sebagai pembalasan atas pembantaian orang Armenia oleh Turki. Dimulai dengan pembunuhan dua konsul Turki di California pada 1973, teror-teror ASALA terus berkesinambungan.

“Kelahiran ASALA, sebagaimana disebutkan di atas, diumumkan melalui serangan bom terhadap kantor Dewan Gereja Dunia di Beirut pada 20 Januari 1975. Hagop Hagopian, pendiri dan pemimpin ASALA, kemudian menulis: “Saya memilihnya karena organisasi yang disebutkan di atas bersekongkol dengan Amerika Serikat, dengan kerjasama Tashnag, untuk mengirim pemuda Armenia dari Timur Tengah dan negara-negara sosialis.” ASALA akan menantang elit Armenia yang ada yang dipimpin Dashnaks yang mengizinkan emigrasi dan dengan demikian asimilasi terjadi,” sambung Gunter.

Namun, hingga 1982 mayoritas teror yang dilakukan ASALA hanya mendapatkan sedikit hasil lantaran hanya menyasar diplomat dan kepentingan-kepentingan Turki. Oleh karena itu, pada 1982 ASALA memulai teror barunya dengan target fasilitas publik. Selain mengirim orang-orangnya ke Prancis, negeri yang bersimpati pada nasionalisme Armenia, ASALA berkoordinasi dengan pemimpin ASALA cabang Prancis –yang berpaspor Syria– Varoujan Garabedian. Sasaran pun ditetapkan: pesawat Turkish Airlines tujuan Paris-Istanbul. Hari-H diputuskan: Jumat, 15 Juli 1983.

Sambil menunggu Hari-H, dia mengumpulkan senjata dan bahan peledak di rumah kawannya yang berkebangsaan Turki, Ohannes Semerci, di Villiers-le-Bel. Pada Hari-H, bom diletakkan dalam sebuah koper yang dibawa Garabedian ke Bandara Orly. Namun, dia tak mengikuti penerbangan yang dijadikan target. Di depan konter check-in Turkish Airlines dia memindahtangankan sebuah kopernya.

“Tuan Garbidjian telah mengaku memberikan sebuah koper berisi bom kepada penumpang dalam penerbangan yang dijadwalkan lepas landas ke Istanbul,” kata juru bicara pemerintah Prancis Max Gallo sebagaimana dikutip The New York Times, 21 Juli 1983. “Menurut Tuan Gallo, Tuan Garbidjian mengatakan dia memiliki terlalu banyak barang bawaan dan memberikan 65 dolar kepada penumpang untuk mengecek tasnya,” sambung The New York Times.

Tak lama setelah dipindahtangankan, koper berisi bom itu meledak. Bom itu seharusnya meledak begitu pesawat lepas landas. Namun, entah karena apa, bom itu meledak di jalur bagasi.

“Dua warga Prancis dan seorang warga negara Turki tewas seketika ketika bom meledak di konter check-in Turkish Airlines, melemparkan turis-turis ke tanah, menghancurkan jendela, dan membuat asap tebal mengepul ke seluruh aula,” tulis Claire Rosemberg dalam “American Student Killed in Bomb Explosion” yang dimuat di upi.com, 16 Juli 1983.

Psikiater Dr. Cyrus Irampour, yang tak jauh dari lokasi ledakan, ikut menjadi bagian dari korban teror mengerikan itu.

“Ledakan itu sangat, sangat singkat, tetapi sangat dahsyat. Kebisingan kurang berkesan. Itu adalah kebakaran. Saya bangun dan berbalik dan itu adalah kebakaran. Ada kepanikan hebat. Saya melihat orang-orang keluar dari terminal udara yang terbakar,” ujarnya, dikutip The New York Times, 16 Juli 1983.

Betapapun, Cyrus selamat. Sementara, Peter Schultze, pelajar berpaspor Amerika Serikat dan Yunani yang tinggal di pinggiran Paris, yang hendak menumpang Turkish Airlines justru mesti dirawat di rumah sakit dan meninggal beberapa hari kemudian. Pun dengan bocah Francois Luc.

“Juga tewas dalam pemboman Jumat, yang diklaim oleh ekstremis Armenia, adalah seorang anak laki-laki Prancis, Francois Luc, yang meninggal karena luka bakar di rumah sakit militer Clamart pagi ini, dan dua warga negara Prancis dan dua orang Turki yang tidak teridentifikasi,” tulis suratkabar Spokane Chronicle, 16 Juli 1983.

Polisi berhasil menangkap 51 orang yang diduga memiliki kaitan dengan ASALA tak lama setelah teror terjadi, termasuk Garabedian. Mereka divonis bersalah dan dihukum penjara dengan masa tahanan beragam.

Teror bom di Bandara Orly membuat tuan rumah Prancis, Turki, dan negara-negara Barat berang. Namun yang lebih penting, banyak elite, aktivis, ataupun warga Armenia lain mengutuk keras teror tersebut. Uskup Agung Armenia di Paris, Mgr. Serobe Manoukian, mengutuk teror tersebut sebagai penjahat dan tindakan najis. Hal senada juga dikatakan Ara Roranian, kepala Gerakan Nasional Armenia, yang mengatakan teror tersebut dihasilkan oleh jalinan tiga hal.

“Sinisme negara Turki, sinisme mereka yang mendukungnya, dan sinisme ASALA, yang menciptakan korban tak bersalah agar perjuangan Armenia diakui. Tapi serangan buta ini mengasingkan simpati opini publik,” ujar Ara, dikutip The New York Times edisi 17 Juli 1983 lewat artikel berjudul “Death Toll Climbs to 6 in Orly Bombing”.

Teror yang menewaskan total delapan jiwa itu selain mengundang kutukan dari orang-orang Armenia sendiri, pada akhirnya menjadi jurang bagi ASALA.

“Serangan Orly membawa masalah internal ASALA ke permukaan. Monte Melkonian, bersama sejumlah militan lain, menyatakan bahwa dia akan meninggalkan ASALA dan akan membentuk Gerakan Revolusioner ASALA. Alec Yenikomshian, teman dekat Monte Melkonian, yang juga telah meninggalkan organisasi Takoushian, bersembunyi untuk melindungi dirinya dari mantan rekan seperjuangannya. Penangkapan diikuti dengan pembunuhan menghancurkan organisasi, yang mengarah pada kehancuran akhir,” tulis Vicken Cheterian dalam Open Wounds: Armenians, Turks and a Century of Genocide.

TAG

teroris prancis armenia

ARTIKEL TERKAIT

Tepung Seharga Nyawa Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Akhir Pelarian Teroris Kiri Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz Napoleon yang Sarat Dramatisasi Topi Merah Simbol Perlawanan Rakyat Prancis Di Balik Warna Merah dan Istilah Kiri Para Perempuan dalam Buaian Napoleon Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis