Masuk Daftar
My Getplus

Tentang Lambang PNI

PNI mengadopsi lambang Perhimpunan Indonesia. Sukarno mengubah kerbau menjadi banteng.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 26 Jun 2020
Presiden Sukarno menyampaikan sambutan pada pembukaan Kongres Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung, Jawa Barat, 18 Desember 1954. (Perpusnas RI).

Pukul enam pagi, dua jam sebelum acara dimulai, massa sudah memadati gedung Permufakatan Nasional di Gang Kenari, Jakarta. Mereka hendak mendengarkan pidato Sukarno, ketua umum Partai Nasional Indonesia (PNI), yang saat itu sudah tersohor sebagai singa podium. Gedung itu milik Muhammad Husni Thamrin, tokoh nasionalis dari Betawi yang banyak menyokong perjuangan PNI.

PNI menggunakan gedung tersebut untuk berbagai kegiatan seperti rapat umum partai, rapat pengurus, kegiatan administratif, termasuk redaksi surat kabar partai, Persatuan Indonesia. Setiap rapat umum biasanya gedung dihiasi lambang PNI dan spanduk-spanduk yang membakar semangat rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Riwayat Berdirinya PNI

Advertising
Advertising

“Lambang PNI mirip dengan lambang Perhimpunan Indonesia. Kalau lambang Perhimpunan Indonesia merah putih dengan gambar kerbau di tengahnya, maka lambang PNI juga tetap menggunakan merah putih hanya kerbau diganti dengan kepala banteng,” kata Arnold Mononutu, anggota PNI, dalam biografinya, Potret Seorang Patriot karya R. Nalenan.

Perhimpunan Indonesia didirikan pada 1908 di Belanda dengan nama Indische Vereeniging. Pada 1921, selain mengubah nama menjadi Indonesische Vereeniging kemudian Perhimpunan Indonesia, keputusan penting lain yang diambil di bawah pimpinan Herman Kartowisastro, adalah penggunaan lambang merah putih dengan kepala kerbau di tengahnya.

Kerbau Diganti Banteng

PNI mengadopsi lambang Perhimpunan Indonesia karena beberapa pendirinya mantan anggota Perhimpunan Indonesia. Sebelum PNI, lambang banteng telah digunakan oleh organisasi Pemuda Indonesia yang berdiri di Bandung pada 20 Februari 1927.

Soenario, salah satu pendiri PNI, mengungkapkan bahwa Mohammad Hatta berpesan kepada semua anggota Perhimpunan Indonesia yang kembali ke Indonesia untuk mengembangkan dasar-dasar Perhimpunan Indonesia dengan mendirikan suatu partai nasional yang berhaluan nonkooperasi.

“Demikianlah atas kerja sama mereka dengan Bung Karno, berdirilah PNI yang dalam tempo sedikit saja sudah menjadi partai politik yang terkemuka di sebelah PSII,” kata Soenario dalam Banteng Segi Tiga. PSII adalah Partai Syarikat Islam Indonesia yang didirikan pada 16 Oktober 1905 di Solo, Jawa Tengah.

Baca juga: Merah-Putih, Kerbau, dan Banteng

Sukarno mengubah kerbau menjadi banteng. Menurut Bung Karno, kata Arnold, kerbau terlalu lunak untuk bangsa Indonesia yang berjuang menghadapi imperialisme dan kolonialisme Belanda. Sedangkan banteng lebih berani dan sigap dalam menghadapi musuhnya.

“Bung Karno adalah banteng Indonesia di masa pergerakan nasional sampai sekarang,” kata Arnold.

PNI sangat populer bahkan para sopir taksi memasang bendera kecil PNI di depan mobilnya. Awalnya, kebiasaan itu tidak dilarang. Penguasa kolonial Belanda mengambil tindakan karena meluasnya pengaruh PNI. Seperti di Manggala, sebuah desa kecil di Lampung, polisi merampas bendera PNI dari taksi.

Bintang Timoer yang melaporkan peristiwa itu, menulis: “Apakah mereka takut bahwa semangat PNI akan tinggal dalam kepala dan hati rakyat daerah ini?”

Baca juga: Akhir Tragis Koran Marhaenis

“Kenyataan itu menggambarkan kepicikan polisi kolonial dan ketakutannya pada meluasnya propaganda nasionalis,” kata Mohammad Hatta dalam Karya Lengkap Bung Hatta Volume 3: Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial.

Setelah tokoh-tokoh teras PNI ditangkap dan ditahan pemerintah kolonial Belanda pada 1929, PNI dibubarkan oleh Sartono pada 1931. Sebagai penggantinya kemudian didirikan Partindo (Partai Indonesia). Sedangkan anggota yang tidak setuju pembubaran PNI mendirikan PNI Baru. Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta bergabung dengan PNI Baru.

“Sebagai lambang Partindo, kepala banteng lambang PNI diganti dengan banteng secara utuh dengan tubuhnya,” tulis Molly Bondan dalam Spanning Revolution: Kisah Mohamad Bondan dan Pergerakan Indonesia. Molly adalah istri Mohamad Bondan yang membidani PNI cabang Cirebon.

Baca juga: Kusut Masai Aset PNI

Pemerintah kolonial Belanda menghambat perkembangan Partindo terutama setelah Sukarno dipilih sebagai ketua Partindo. Pemerintah kolonial menangkap kembali Sukarno dan membuangnya ke Ende, Flores, awal tahun 1934. Sukarno pun mengundurkan diri dari Partindo.

Tekanan berat dari pemerintah kolonial Belanda membuat Partindo dibubarkan pada 18 November 1936. Sebagai penerusnya didirikan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) pada 24 Mei 1937. Mantan anggota terkemuka Partindo yang duduk dalam Gerindo antara lain A.K. Gani, Sartono, Wilopo, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Nyonoprawoto, dan Sarmidi Mangunsarkoro.

PNI hidup lagi setelah Indonesia merdeka di bawah pimpinan Sarmidi Mangunsarkoro, tokoh Taman Siswa Yogyakarta. Dalam kongresnya di Kediri pada 29-31 Januari 1946, PNI menetapkan azas “sosio-nasional demokrasi.” Selain itu ditetapkan lambang PNI berupa kepala banteng di tengah segi tiga.

Baca juga: Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI

“Azas PNI kemudian dimanifestasikan dalam lambang PNI yaitu segi tiga dengan kepala banteng yang menggambarkan sintesis dari nasionalisme-demokrasi dan sosialisme,” demikian termuat dalam PNI/Marhaenisme: (Sedjarah Singkat & Pokok-pokok Pendjelasan) yang diterbitkan Deppenprop DPP PNI tahun 1970.

Sejak saat itu, lambang PNI berupa kepala banteng di tengah segi tiga. Kelak, partai-partai yang berhaluan nasionalis dan mengklaim sebagai pewaris PNI menggunakan banteng (kepala atau badan) sebagai lambang partai dengan bingkai berbeda-beda: segi tiga, bulat, segi lima, dan sinar.

Lagu Indonesia Raya

Lagu kebangsaan Indonesia Raya kali pertama diperdengarkan pada Kongres Pemuda II di Jalan Kramat Raya No. 106 Jakarta pada 28 Oktober 1928. Awalnya hanya melodinya melalui gesekan biola sang pencipta lagu, Wage Rudolf Soepratman.

Theodora Athia Salim alias Dolly Salim ditunjuk menyanyikan lagunya pada pembubaran panitia Kongres Pemuda II, Desember 1928. Dolly hadir di kongres mewakili organisasi kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij) yang berada di bawah naungan Jong Islamieten Bond, di mana ayahnya, Haji Agus Salim menjadi penasihat.

Pada momen itu, untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya diperbolehkan dengan catatan tanpa kata “merdeka”. Ancaman represi dari pemerintah kolonial Belanda menyebabkan Soepratman harus mengubah lirik asli yang mencantumkan kata “merdeka” diganti dengan “mulia”.

Baca juga: PNI Pasca-Peristiwa 1965

Dolly melafalkan lirik lagu Indonesia Raya di luar kepala. Dengan suara lantang dia berseru: “Indones… Indones… mulia… mulia!”. Spontan para hadirin berdiri dan ikut menyanyi. Sejak itu, Dolly disebut sebagai penyanyi pertama lagu Indonesia Raya.

Dua bulan setelah Kongres Pemuda, lagu Indonesia Raya kembali dinyanyikan dengan sepenuh tenaga dalam kongres Jong Java kesebelas. Untuk memeriahkan kongres kedua PNI di Jakarta, 18-20 Desember 1929, Soepratman juga diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan gesekan biolanya bersama suatu orkes.

“Ketika lagu kebangsaan itu hendak dimulai, maka lebih dahulu Bung Karno selaku Pemimpin Umum PNI menyerukan: ‘semua hadirin diminta berdiri, untuk menghormat lagu kebangsaan Indonesia Raya’. Sejak itu hingga pada saat ini dan seterusnya apabila lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, maka selalu dihormati dan dinyanyikan dengan berdiri,” tulis Oerip Kasansengari dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja.

Peserta kongres serentak berdiri dan menyanyi, mengikuti koor dan iringan biola Soepratman sebagai tanda penghormatan pada Indonesia Raya. Kongres juga menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Penetapan ini dikukuhkan dalam Kongres Rakyat Indonesia yang digelar Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada Desember 1939.

Baca juga: Ahli Waris Partai Marhaenis

Selain lagu Indonesia Raya, Kongres Rakyat Indonesia juga menetapkan Merah Putih dan bahasa Indonesia sebagai bendera dan bahasa nasional. Dalam penetapan bendera nasional, menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, banyak peserta mengusulkan memasukkan gambar kepala banteng lambang PNI ke dalam bendera Merah Putih. Perdebatan pun terjadi. Namun, kongres memutuskan bendera nasional adalah Merah Putih tanpa kepala banteng.

Menurut Arnold, ketika itu belum ada mars PNI. Sehingga setiap rapat-rapat PNI didahului dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua yang hadir selalu berdiri menyanyikan Indonesia Raya dengan khidmat tapi penuh gelora semangat perjuangan.

Oleh karena itu, Soenario mengklaim dalam waktu relatif singkat, PNI berhasil mempropagandakan “Indonesia merdeka sekarang, bendera Merah Putih yang tertera dalam lambang partai, bahasa Indonesia, dan lagu Indonesia Raya.”

TAG

pni sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower Dari Matros ke Banteng Marhaen