BERITA itu diterima dengan suka cita oleh Mr. A.A. Maramis di New Delhi. Sebagai Menteri Luar Negeri PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), dia seolah “merasa tertolong” dengan kabar telah dikuasainya ibukota Yogyakarta oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia), kendati hanya berlangsung enam jam.
“Kabar itu seolah menampar balik pemerintah Belanda di muka dunia…” ujar Batara R. Hutagalung, penulis buku Serangan Umum 1 Maret 1949: Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat.
Sebelumnya Belanda memang kerap berupaya menafikan eksistensi RI (Republik Indonesia) di mata internasional. Sejak berhasil menguasai ibukota Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Belanda tak hentinya menggembar-gemborkan bahwa seluruh unsur RI (termasuk TNI) telah hancur.
“Itu dijadikan bukti oleh Belanda bahwa Republik tak lebih sebagai pemerintahan buatan Jepang yang tak didukung rakyat sehingga hancur dengan sendirinya…” kata sejarawan Rushdy Hoesein.
Soeharto Bertindak
Letnan Kolonel Soeharto tak pernah bisa melupakan peristiwa itu. Suatu hari di awal 1949, dirinya tengah memantau siaran berita dari luar negeri bersama Purhadi, seorang perwira dari Bagian Perhubungan. Tetiba didengarnya berita mengenai perdebatan antara delegasi Indonesia dengan delegasi Belanda di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Isinya: Belanda mengklaim telah berhasil menghancurkan Yogyakarta termasuk TNI di dalamnya.
Komandan Brigade X Wehrkreise III itu tentu saja berang. Dia lantas mencari akal bagaimana caranya supaya TNI bisa membantu para wakil RI di PBB. Terbersitlah ilham dalam pikirannya.
“Kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukan pada dunia kebohongan Si Belanda itu…” ujar Soeharto seperti diungkapkan dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Maka disusunlah rencana secara matang. Sebagai komandan Wehrkreise (daerah pertahanan), Soeharto menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk mengambil insiatif yang sesuai dengan keadaan dan kemampuan pasukan masing-masing. Jadi rencana Serangan Umum 1 Maret 1949 otomatis menjadi insiatifnya. Apakah Soeharto melibatkan atasannya: Kolonel Bambang Sugeng? Soeharto menyatakan tak ada nama Panglima Divisi III itu dalam perencanaan serangan umum atas Yogyakarta.
“Waktu itu tidak ada komunikasi antara pimpinan TNI. Pak Dirman sudah berada di dekat Jawa Timur … Panglima Divisi ada di Ngangkrik, Magelang, perlu waktu berhari-hari untuk mencapainya,” kata Soeharto.
Versi Bambang Sugeng
Surat berisi instruksi rahasia (tertanggal 18 Februari 1949) dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng itu berbunyi sangat jelas. Isinya perintah untuk Komandan Wehrkreise III Letnan Kolonel Soeharto untuk mengadakan serangan besar-besaran terhadap ibukota Yogyakarta. Kendati tak dicantumkan dengan pasti Hari-H penyerangan, namun di sana ada disebutkan antara 25 Februari-1 Maret 1949.
Menurut Batara Hutagalung, dipilihnya Yogyakarta sebagai sasaran serangan umum merupakan insiatif murni dari Kolonel Bambang Sugeng. Pertimbangannya, selain sebagai ibukota RI yang pastinya akan menjadi fokus perhatian jika terjadi sesuatu, juga di Yogyakarta saat itu bercokol banyak jurnalis asing dan para pengamat militer dari PBB.
“Makanya dalam skema penyerangan, Pak Bambang juga menyarankan untuk menurunkan para perwira TNI yang bisa berbahasa asing agar begitu Yogya dikuasai bisa bicara banyak kepada para jurnalis dan pengamat asing…” ungkap Batara.
Kendati tidak diakui oleh Soeharto, sejatinya pernah ada dua pertemuan yang dilakukan antara Kolonel Bambang Sugeng dengan Letnan Kolonel Soeharto beberapa hari sebelum terjadi serangan umum. Pertemuan pertama dilakukan di Brosot (dekat Wates) pada 19 Februari 1949. Namun sebelum ke Brosot, Bambang Sugeng sempat bertemu terlebih dahulu dengan Kolonel T.B. Simatupang di Banaran. Hal itu diakui sendiri oleh Wakil II Kepala Staf TNI tersebut dalam bukunya Laporan dari Banaran.
“Dengan Kolonel Sugeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkan untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya,” ujar Simatupang.
Pertemuan dengan Soeharto sendiri tadinya akan dilangsungkan di sebuah gedung sekolah. Tetapi curiga pertemuan itu akan bocor ke tangan mata-mata Belanda, maka dipindahkan ke sebuah gubuk di tengah sawah.
Pertemuan kedua diadakan di Panjatan antara 24-25 Februari 1949. Dalam pertemuan tersebut, kata Batara, Soeharto melaporkan segala sesuatu terkait persiapan pelaksanaan serangan umum yang telah dilimpahkan oleh Kolonel Bambang Sugeng 5-6 hari sebelumnya di Brosot.