DUNIA memperingati Hari Donor Darah setiap 14 Juni. Tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema “New Blood for The World”, dengan sasaran pendonor berusia muda. Siapa nyana, dalam sejarah Indonesia donor darah sempat diharamkan. Sukarno pun tak tinggal diam.
Di koran Pemandangan, 18 Juli 1941, Sukarno menulis bahwa “soal bloedtrasfusie telah menjadi soal haibat di kalangan orang-orang Islam di negara kita ini. Sama haibatnya dengan soal multpunctie beberapa tahun yang lalu, waktu tanah Priangan diamuk oleh penyakit pes.”
Terjadi silang pendapat mengenai halal-haramnya multpunctie (pengambilan darah dari jenazah oleh dinas pemberantasan penyakit pes). Ada yang mengatakan halal, wajib, makruh, dan haram karena “merusak mayat.” “Sekarang timbul lagi satu soal semacam itu, soal halal-haramnya mendermakan darah,” tulis Sukarno.
Sukarno pernah membaca di sebuah majalah alasan-alasan mereka yang mengharamkan donor darah: “Haram mendermakan darah kita kepada musuh karena musuh itu tidak mati, tetapi hidup; haram diambil darahnya seorang Muslim ‘yang suci’, dimasukkan ke dalam tubuhnya seorang-orang tidak Muslim ‘yang tidak suci’, agar siorang yang tidak Muslim itu bisa hidup; haram dimasukkan darahnya seorang-orang yang tidak Muslim dan ‘tidak suci’ ke dalam tubuhnya seorang-orang Muslim ‘yang tentu suci’.”
Baca juga: Awalnya makanan yang diberi label justru yang haram: mengandung babi
Kala itu, menurut Maslahul Falah dalam Islam ala Soekarno: Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia, berkembang pendapat Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), badan federasi bagi ormas Islam, soal donor darah. Dalam Kongres Muslimin Indonesia ke III di Solo, 5-7 Juli 1941, MIAI menyatakan bahwa donor darah hukumnya: “buat maksud yang baik boleh; buat maksud yang tidak baik tidak boleh; teranglah buat perang yang diridlai Allah halal, atau perang yang tidak diridlai Allah haram.”
Bagi Sukarno, keputusan MIAI hanya membuat orang awam ragu. Sukarno, lanjut Maslahul Falah, berpendapat bahwa donor darah itu diperbolehkan dengan dasar bahwa di Turki dan Mesir tindakan ini biasa dilakukan, sekalipun terhadap musuh atau orang kafir. Sukarno memandang donor darah merupakan “masalah kemanusiaan murni, yang berkaitan dengan oorlogsethiek (etika perang) Islam, yang berisi budi yang halus dan dijalankan dengan sehalus-halus kemanusiaan.”
Sukarno merujuk etika Islam dalam sejarah peperangan dan penaklukan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya. Meskipun menang, mereka tidak melakukan pengrusakan dan mau mengampuni orang-orang yang kalah. “Sungguh, hampir tak percaya saya punya hati, kalau saya ingat data-data itu, membaca alasan dari saudara-saudara yang anti-bloedtranfusie itu bahwa menurut hukum Islam musuh musti selalu dibikin mati,” tulis Sukarno.
Kalau begitu, tulis Sukarno, oorlogsethiek hukum internasional lebih tinggi daripada oorlogsethiek Islam, yang mewajibkan menolong orang-orang luka di dalam peperangan, tidak peduli itu musuh.
“Sungguh,” tulis Sukarno, “kalau saya menyediakan saya punya darah buat diambil oleh bloedtranfusie itu, maka saya yakin menurut jejak ethiek-nya Islam. Saya dermakan saya punya darah dengan mengucapkan suka syukur Alhamdulillah kepada Allah bahwa Dia memperkenankan saya menolong sesama manusia yang luka parah.”
Baca juga: Perempuan ini satu-satunya yang menandatangani pendirian PMI
Akibat tulisannya di Pemandangan, 18 Juli 1941 itu, Sukarno menerima kiriman surat “terang-terangan dan surat kaleng.” Surat kaleng itu menegur Sukarno, “Sangat saya sesalkan bahwa pemandangan Saudara itu besar kecilnya menyerang mengkritik kepada ulama MIAI, yang saya berkeyakinan ilmu Islamnya lebih tinggi dari Saudara.”
Ada juga surat dari Asmara Hadi, kawan Sukarno. “Saya ucapkan terima kasih atas karangan tentang pemindahan darah. Dua kali saya menerima surat permintaan supaya saya rela memberikan darah saya, tapi saya tidak menjawab dengan sepatah kata pun. Lupa saya bahwa segala orang yang mati dan luka di medan perang itu adalah manusia yang menjadi korban suatu sistim. Besok atau lusa dengan rela saya kasihkan nama saya sebagai donor. Mudah-mudahan darah yang sedikit itu dapat menolong jiwa.”
Sukarno sendiri menerima permintaan menjadi pendonor darah (lijst bloedtranfusie) pada 28 Juni 1941. “Setelah saya membaca apa maksud lijst itu maka saya masukkanlah saya punya nama dengan keterangan: ya,” tulis Sukarno, “Saya sedia menjadi donor.”
Baca juga: Anggota PMI mempertaruhkan jiwanya demi menyelamatkan banyak nyawa