PRESIDEN Joko Widodo berseru agar rakyat berhati-hati. Katanya, banyak politikus yang baik tapi juga banyak politikus yang sontoloyo. Jokowi jengkel lantaran kebijakan pemerintah yang akan mengucurkan dana kelurahan dikaitkan dengan kampanye pemilihan presiden mendatang. Pernyataan itu dilontarkan presiden saat menghadiri penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Lapangan Ahmad Yani, Jakarta (23/10).
Kata "sontoloyo" kemudian menjadi viral dan ramai diperbincangkan. Banyak yang mempertanyakan kepatutan presiden perihal ujarannya yang bernada umpatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sontoloyo berarti konyol, tak beres, bodoh. Ini dipakai sebagai kata makian.
Kata yang sama juga pernah dipakai Sukarno, presiden pertama RI. Si Bung tak tanggung-tanggung. Dia membubuhkan kata itu di samping nama agama. Pada 1940, Sukarno menulis artikel di Majalah Pandji Islam berjudul “Islam Sontolojo”. Kontroversi? Jelas. Tapi apa yang ada dalam benak Sukarno hingga terbersit kata sontoloyo?
Baca juga: Bung Karno marah pada ancaman tak salatkan jenazah
Tulisan itu lahir dari keprihatinan Sukarno terhadap orang yang melakukan perbuatan jahanam dengan dalil agama. Dalam suratkabar Pemandangan, 8 April 1940, Sukarno membaca berita kriminal yang bikin hatinya getir. “Seorang guru agama dijebloskan ke dalam bui tahanan karena memperkosa salah seorang muridnya yang masih gadis kecil,” demikian isi berita itu.
Menyitir warta Pemandangan tadi, Sukarno menuturkan modus operandi si guru cabul. Kepada murid-muridnya, sang guru mengaku pernah berbicara dengan Nabi Muhammad SAW. Dia mengajarkan untuk berzikir sejak magrib hingga subuh supaya dosa-dosa diampuni. Laki-laki dan perempuan wajib dipisah karena belum muhrim. Di sinilah akal bulus sang guru. Agar murid perempuan bisa diajar, mereka harus dinikahi terlebih dahulu. Karena sudah halal dan sah, demikianlah gadis-gadis malang itu dipikat dan dirusak oleh si guru bejat.
“Sungguh kalau reportase di suratkabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah disini kita melihat Islam Sontoloyo. Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh,” kata Sukarno dalam artikel “Islam Sontolojo” yang termuat dalam kumpulan tulisannya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I.
Baca juga: Penistaan agama pada masa lalu
Menurut Sukarno esensi beragama adalah ketaatan terhadap Allah. Ini dinyatakan dengan akhlak yang murni sejalan dengan syariat ketuhanan yang sejati. Dia mengkritik pemeluk Islam masa itu yang kebanyakan hidup dalam kitab fiqih belaka.
“Tidak, justru Islam terlalu menganggap fiqh itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa atau kita tidak mau tahu bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah,” jelas Sukarno masih dalam “Islam Sontolojo”
Setelah dipublikasi, reaksi pembaca dapat ditebak. Polemik datang dari sana-sini. Cerca dan cibir menerpa Sukarno, terutama dari mereka yang merasa agamanya dihina karena bersanding dengan umpatan.
“Wah, ditampar saya! Pertama saya dikatakan, mengatakan atau memaksudkan bahwa Islam itu adalah agama sontoloyo,” kata Sukarno bertahun-tahun kemudian ketika berpidato di hadapan para mahasiswa HMI di Istana Bogor, 18 Desember 1965 yang dihimpun Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965--Pelengkap Nawaksara.
Baca juga: Nasihat Bung Karno untuk HMI
Sukarno menerangkan kembali arti Islam Sontoloyo yang dia maksud dalam artikel Pandji Islam. Dia merujuk pada oknum yang menyimpang, bukan agamanya.“Saya terangkan dalam artikel itu banyak sekali orang yang menyebutkan dirinya Islam, tetapi dia sebetulnya itu sontoloyo,” ujar Sukarno.
“Sekarang syukur alhamdulillah orang mengerti," katanya lagi, "Yang saya maksudkan ialah bahwa Islam itu agama tidak beku, yang beku ialah manusia-manusianya.”
Baca juga: Sukarno menentang ulama yang mengharamkan donor darah