Masuk Daftar
My Getplus

Sukarno Akan Dihabisi di Luar Negeri

Keberadaan Supersemar hingga kini masih menjadi perdebatan. Sejarawan justru ungkap rencana pembunuhan Sukarno dalam arsip Amerika Serikat.

Oleh: Andri Setiawan | 12 Mar 2021
Sukarno bersama Dean Rusk dan Lyndon B. Johnson ketika berkunjung ke Amerika Serikat. (jfklibrary.org).

Surat Perintah 11 Maret atau dikenal sebagai Supersemar menjadi salah satu surat monumental nan kontroversial dalam sejarah bangsa Indonesia. Sialnya, surat yang dipakai Soeharto untuk jalan masuk menuju kekuasaannya selama 32 tahun itu hingga kiini masih dicari alias tidak diketahui pasti keberadaannya.

Dalam Dialog Sejarah “Supersemar, Supersamar: Kontroversi Arsip Surat Peralihan Kekuasaan Sukarno ke Soeharto,” Jumat, 12 Maret 2021 di Saluran Youtube dan Facebook Historia, Arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mira Puspita Rini menyebut bahwa saat ini ANRI menyimpan tiga versi Supersemar.

Versi pertama adalah Supersemar dari Pusat Penerangan TNI AD yang berjumlah satu lembar. Versi kedua, Supersemar yang diserahkan oleh Jenderal M. Yusuf, salah satu jenderal yang mengikuti proses pembuatan surat tersebut. Versi kedua ini berjumlah dua lembar dan hanya merupakan salinan. Sedangkan versi ketiga, Supersemar yang diberikan oleh Akademi Kebangsaan, berjumlah satu lembar.

Advertising
Advertising

Baca juga: Tujuh Upaya Membunuh Presiden Sukarno

“Sayang sekali arsip ini secara fisik sudah rusak. Ada yang bolong, lalu informasi hilang. Sama, ada kop garudanya di atas. Terdiri dari empat bagian juga. Tulisannya sudah tidak terlalu jelas,” jelas Mira yang kini merupakan Koordinator Kelompok Arsiparis Arsip Statis ANRI.

Mira mengingatkan, Supersemar dan arsip terkait Supersemar kini merupakan arsip yang masuk dalam daftar pencarian arsip. Saat ini sebagian besar arsip masa transisi itu masih berada di Pusat Sejarah TNI AD.

“Yang diserahkan itu hanya yang tentang teritorial dan pengerahan tenaga. Sedangkan yang operasional, intelijen, telekomunikasi, anggaran dan pembiayaan itu masih di sana. Dan Arsip Nasional berusaha terus untuk mengambil arsip-arsip periode 65, 66 yang masih ada di pusat sejarah TNI AD,” ujarnya.

Mira juga menghimbau kepada masyarakat maupun keluarga tokoh-tokoh nasional yang memiliki arsip terkait agar menyerahkannya kepada ANRI untuk dikelola.

Ketiga arsip Supersemar yang dimiliki ANRI itu sama-sama ditandatangani oleh Sukarno tertanggal 11 Maret 1966. Hal ini kemudian menimbulkan perdebatan mengenai apakah Sukarno benar-benar menandatangani semua versi itu.

Baca juga: Sukarno Mau Dibunuh di Makassar, Ini Kisah Para Saksinya

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, hal itu perlu menjadi perhatian khusus. Pasalnya, Sukarno hanya menandatangani satu Supersemar. Adanya beberapa versi Supersemar bertandatangan Sukarno memunculkan dugaan bahwa ada pihak yang mencoba memalsukan tanda tangan Bung Besar.

“Jadi artinya ini mendukung dugaan bahwa ini sudah dipikirkan jauh-jauh hari sebelumnya. Bukan sebuah tindakan yang spontan,” ujar sejarawan yang akrab disapa Romo Bas ini.

Romo Bas juga menyebut bahwa ada satu lagi versi Supersemar dari TNI Angkatan Darat. Dalam versi ini terdapat frasa “boleh mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”, yang kemudian dipakai Soeharto untuk mengambil kekuasaan Sukarno.

Sejarawan penulis buku Membongkar Supersemar!: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno itu menyebut bahwa arsip-arsip lain yang ia temukan di Amerika Serikat bisa menjadi sumber pendukung teori “Kudeta merangkak Soeharto”. 

Baca juga: Operasi CIA di Indonesia dari Masa ke Masa

Arsip Central Intelligent Agency (CIA) tertanggal 6 September 1966, misalnya, menyebut adanya satu rapat para jenderal yang berlangsung hingga jam dua pagi. Dalam arsip tersebut diceritakan bahwa mereka mendiskusikan tindakan apa yang akan dilakukan kepada Presiden Sukarno.

“Lalu ada yang bilang, ya tapi Sukarno ini adalah George Washington kita,” kata Romo Bas menjelaskan isi arsip tersebut.

Peserta rapat yang lain, sambung Romo Bas, lalu menanggapi bahwa ada juga tokoh-tokoh besar yang meninggal karena kekerasan, seperi Abraham Lincoln, Kennedy, hingga Mahatma Gandhi. Meski itu kemudian tidak terjadi, kata Romo Bas, rencana pembunuhan itu tetap ada.

Arsip lain ada pula yang mengungkap pembicaraan Koloner Marinir AS L.B. De Long dengan Ali Murtopo, tangan kanan Jenderal Soeharto. Memo bertanggal 13 Februari 1967 itu menguak rencana Ali Murtopo bahwa jika Sukarno pergi ke luar negeri, Sukarno akan dibereskan dan tidak akan pernah kembali dalam keadaan hidup.

“Dari dokumen seperti ini kita tahu juga bahwa, oh, ternyata ada komunikasi seperti itu dari Ali Murtopo,” kata Romo Bas.

Baca juga: Dianggap Gangguan, CIA Rancang Pembunuhan Sukarno

Menurut Romo Bas, arsip-arsip seperti itu serta arsip laporan harian Kedubes AS di Indonesia bisa menjadi pembanding untuk mengkaji Supersemar lebih lanjut. Misalya, arsip tanggal 6 Maret 1966 menyebutkan bahwa Soeharto telah memberi sedikit ancaman kepada Bung Karno. Dua hari kemudian, 8 Maret, Sukarno mengatakan kepada ABRI bahwa dia masih presiden dan menteri masih di bawah perintahnya.

Semua rangkaian peristiwa yang diungkapkan arsip-arsip tersebut, kata Romo Bas, memperkuat fakta bahwa Supersemar merupakan by design, bukan by accident.

“Ini dipikirkan sebelumnya, jadi bukan peristiwa yang tiba-tiba. Dan kita harus ingat lho ya, surat ini apapun bentuknya, bagaimanapun rumusannya, ini didahului oleh pembantaian sekian ratus ribu orang lho ya, bulan Oktober, November, Desember itu,” kata Romo yang menjadi dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma itu.

TAG

supersemar soeharto sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Ledakan di Selatan Jakarta Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI Dianggap PKI, Marsudi Dibui Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Dulu Rice Estate Kini Food Estate Dari Petrus ke Kedung Ombo