PADA sebuah barak Lenin di Barcelona, sehari sebelum bergabung dengan milisi antifasis, George Orwell terpukau pada penampilan seorang laskar muda asal Italia. Pria itu, kata Orwell, berusia sekitar 25 atau 26 tahun, berdiri tepat di hadapannya dengan sorot mata tajam, memperhatikan sebuah peta terhampar di atas meja dengan kening berkerut kebingungan.
“Ada sesuatu di wajahnya yang membuatku tersentuh. Itulah wajah seorang lelaki yang rela berjibaku membunuh dan tak memedulikan hidupnya demi seorang kawan,” tulis Orwell dalam memoarnya yang masyhur Homage to Catalonia.
Setelah saling bertegur sapa sejenak, mereka berjabat tangan erat dan bergegas meninggalkan ruangan. “Aneh, seperti ada perasan akrab yang Anda rasakan kepada seseorang yang baru dikenal,” kenang Orwell melukiskan suasana solidaritas persahabatan sesama kaum kiri saat itu.
Itu adalah pertemuan pertama sekaligus terakhir kalinya bagi Orwell, namun seragam lusuh dan wajah garang laskar Italia itu tak pernah lekang dari ingatannya. Semua bayangannya melekat erat pada kenangan tentang perang sipil di Spanyol: kibaran bendera merah di Barcelona, kereta reyot yang dijejali laskar lusuh yang merayap menuju garis pertempuran terdepan dan parit-parit pertahanan di gunung yang dingin berlumpur.
Baca juga: Tiga Abad Anarkisme Eropa
Semua terjadi pada akhir Desember 1936. Saat kaum anarkis masih menguasai Catalonia. Sementara itu tembok-tembok di kota Barcelona dipenuhi grafiti palu-arit dan semua gedung dikuasai oleh kelas pekerja. Setiap toko dan cafe dinyatakan milik bersama; dikelola secara kolektif. Para pelayan dan penjaga toko tak lagi merunduk di depan pembeli, mereka melayani semua tanpa ada beda: sama rasa sama rata.
Memoar tentang perang sipil Spanyol karya George Orwell dicetak kembali tahun ini. Mungkin ini memoar yang paling memikat untuk dibaca: pengalaman seorang wartawan-cum-sosialis juga sastrawan terkemuka, di tengah pusaran perang sipil di Spanyol pada 1936-1939. Perang sipil yang dipicu kudeta Jenderal Franco itu mengundang solidaritas gerakan kiri sedunia. Mereka berlomba-lomba datang ke Spanyol, bergabung dengan gerakan kiri di sana untuk melawan rezim fasis itu.
Dari Amerika Serikat datang sekelompok anak muda yang tergabung dalam Abraham Lincoln Brigade, tak terhitung banyaknya laskar dari daratan Eropa yang juga bergabung. Seorang Indonesia-Tionghoa, bernama Tio Oen Bik juga ambil bagian sebagai milisi anti serangan udara. Kelak usai perang dunia kedua, Tio pulang ke Indonesia, mengabdikan dirinya sebagai dokter yang tak pernah memungut bayaran dari pasien miskinnya.
Baca juga: Anarkisme dalam Perang Sipil Spanyol 1936
Tak kurang Pam Sneevliet, anak kedua Henk Sneevliet, pun terpikat untuk bergerak menuju Barcelona. Namun rencana untuk jadi bagian dari kisah heroisme itu pupus ketika ayahnya melarang dia pergi. Pam pun bunuh diri, tak kuasa menanggung rasa kecewa.
Henk sendiri menyatakan dukungannya kepada Partido Obrero de Unificación Marxista (POUM, Partai Buruh Marxis Bersatu) sekaligus menyatakan sokongannya kepada Milícies Antifeixistes de Catalunya (Milisi Antifasis Catalonia) untuk memerangi fasisme.
Perang sipil di Spanyol menyisakan banyak cerita tentang aksi kepahlawanan kaum kiri dari berbagai mazhabnya. Mereka melawan musuh yang sama: fasisme. Namun tak lama berselang, perbedaan di kalangan mereka bersimaharajalela.
Tak semua iklas taklid kepada Stalin yang bernafsu mengendalikan Spanyol dari Moskow. Cengkeraman Stalin di sisi kiri terlalu banyak mendatangkan ketakutan, sementara ancaman Franco di sisi kanan pula sama mencemaskannya. Dan drama epik perjuangan kaum kiri Spanyol pun tuntas hanya dalam empat tahun masa pertempuran dengan kemenangan Franco di akhir episode.
Baca juga: Tio Oen Bik dalam Perang Sipil Spanyol 1936
Kendati semangat tak pernah tumpas, realita politik berbicara lain. Perang itu menghasilkan banyak bentuk kekecewaan: Orwell menjadi seorang yang meragukan semua hal. Usai memerangi fasisme, dia mengkritik totalitarianisme ala Stalin dalam novelnya Animal Farm.
Mungkin Orwell benar: dia tak lagi percaya bahwa kehidupan politik bisa jadi acuan. Setelah perang usai, dia juga tak pernah lagi berusaha untuk menempatkan hatinya di sebelah kanan atau kiri. Dan semenjak itu pula, Orwell hanya tertarik mengatakan kebenaran tanpa berpura-pura mewakili apapun kecuali sebagai manusia.