Aksi persekusi yang terjadi pekan lalu (29/4) di bundaran Hotel Indonesia, sempat menjadi perbincangan publik. Dalam gelaran rutin Car Free Day itu, sekelompok orang berkaos #2019GantiPresiden mengerumuni seorang perempuan yang mengenakan kaos #diasibukkerja. Bersama anaknya, perempuan tersebut mendapat intimidasi. Mereka diteriaki dan disawer sejumlah uang oleh kelompok yang mengampanyekan gerakan mengganti presiden pada tahun depan.
Jika saja perundungan dan sikap oposan itu dilakukan pada zaman Soeharto, niscaya para pelaku berikut keluarganya akan mengalami hidup sengsara. Aksi serupa sebenarnya pernah terjadi di era Orde Baru. Namun yang membedakan adalah etika dalam menyatakan aspirasi. Kelompok oposisi Petisi 50 menyampaikan kritik kepada pemerintahan Soeharto secara tertulis lewat pernyataan keprihatinan.
Baca juga: Penantang Soeharto
“Tetapi apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya ‘Petisi 50’ itu, tidak saya sukai…Lebih-lebih kalau melihat bahwa mereka adalah juga yang menyebut dirinya pejuang,” kata Soeharto kepada penulis otobiografi G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan, Saya.
Memang tidak seorang pun anggota Petisi 50 yang langsung dijebloskan ke penjara karena ulah tersebut. Tetapi para penandatangannya, beberapa diantaranya yang terus bekerja sama dalam Kelompok Kerja Petisi 50, hidupnya nyaris tak tenang selama bertahun-tahun.
Petisi 50 dan Penguasa
Pada 5 Mei 1980, sejumlah purnawirawan ABRI dan mantan politisi sipil merampungkan isi pernyataan keprihatinan yang ditujukan kepada Presiden Soeharto. Mereka antara lain Jenderal A.H. Nasution, Letjen Ali Sadikin, Letjen M. Jasin, Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, dan lainnya. Semua pengaju petisi berjumlah 50 orang yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50.
Baca juga: Ketika Bang Ali Dihalang-halangi
Pernyataan itu ditulis sebagai reaksi atas dua pidato Soeharto dalam audiensi dengan militer pada 1980. Dalam pidatonya, Soeharto menganggap kritik terhadap pemerintah sama maksudnya dengan hendak mengganti Pancasila. Dia juga meminta ABRI untuk siap menindak.
Kelompok Petisi 50 kecewa terhadap Soeharto yang menyalahtafsirkan Pancasila agar dapat dipergunakan sebagai sarana ancaman terhadap lawan politik. Soeharto seolah-olah mengesankan dirinya sebagai pengejewantahan Pancasila sehingga kritik terhadap dirinya diartikan sebagai sikap anti-Pancasila. Mereka juga menuduh adanya usaha bersenjata, subversi, dan infiltrasi dalam menyongosong pemilu yang akan datang.
Petisi 50 menyerahkan dokumen pernyataan keprihatinan ke parlemen pada 13 Mei 1980. Fraksi ABRI di DPR menerimanya. Aksi petisi itu memunculkan reaksi yang luar biasa dari penguasa. “Pernyataan dari pimpinan keamanan bahwa petisi itu merupakan bagian dari ‘kudeta konstitusional’ yang juga melibatkan rencana untuk membunuh 67 orang, termasuk Soeharto,” tulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia: 1965-1999.
Kepala Bakin (kini BIN) saat itu, Jenderal Yoga Sugomo mengindikasi adanya gerakan mahasiswa yang menyelaraskan diri pada kegiatan Kelompok Petisi 50. Beberapa tokoh mahasiswa ada yang menjadi aktivis Petisi 50. Sejumlah tokoh Petisi juga aktif memberikan ceramah dalam kegiatan mahasiswa. “Gerakan kelompok ini dimonitor secara ketat oleh Bakin, termasuk tokoh-tokoh intelektualnya,” tulis B. Wiwoho dan Banjar Charuddin dalam biografi Memori Jenderal Yoga.
Baca juga:
Menurut Yoga Sugomo yang orang kepercayaan Soeharto, gerakan Petisi 50 berkelindan dengan upaya mengganti pemerintahan dengan mencopot tokoh-tokoh seperti Ali Murtopo (Menteri Penerangan) dan Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri). Bisa diduga, tujuan akhir adalah Presiden Soeharto sendiri. Bagaimana tanggapan Soeharto?
Menurut Soeharto, Petisi 50 dalam peribahasa Jawa disebut orang-orang yang rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa. Mengira seolah-olah pendapatnya benar sendiri. Soeharto tak menampik rasa jengkelnya. Baginya jangan mentang-mentang berbeda pendapat, sekalipun sudah kalah dalam adu argumentasi, masih saja terus ngotot. “Janganlah ngotot karena perbedaan pendapat, lalu kasak-kusuk hendak menjatuhkan pemerintah,” kata Soeharto dalam otobiografinya.
Baca juga: Akhir Tragis Mantan Loyalis
Usai melontarkan kritik, nasib mereka para penanda tangan Petisi 50 menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto: “dibunuh secara perdata” melalui Pangkokamtib Laksamana TNI Soedomo. Maka lengkaplah sudah penderitaan para oposan di zaman Orde Baru.
Baca juga:
Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto