HARI ini, 30 Mei , 48 tahun silam, Pablo Tirado-Ayala mendapati kenyataan amat berbeda di Bandara Lod (kini Bandara Internasional Ben Gurion), Tel Aviv, Israel. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan spiritual dengan mengikuti wisata religi ziarah ke “Tanah Suci” itu, pria Puerto Riko yang menjadi warga negara Amerika Serikat tersebut justru tak pernah mendapatkannya karena hanya bisa sampai bandara. Kerusuhan mengerikan di bandara itu tak “mengizinkannya” sampai ke “Tanah Suci” dan justru membawanya ke fase kehidupan berbeda yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Pablo tak mau bicara, di rumah ia hampir selalu berada di kamarnya, ia hanya akan keluar selama beberapa menit, dan dia tak akan bicara, dan dia akan kembali ke kamarnya,” ujar Angel Ramirez Colon, anak angkat semata wayang pasangan Pablo dan Antonia, dalam kesaksiannya tentang sang ayah yang diutarakan dalam persidangan di United States District Court for the District of Puerto Rico pada 2008, dimuat di laman osenlaw.com.
Pablo mengalami gangguan jiwa berat akibat terluka oleh tembakan tak lama setelah pesawatnya mendarat di Bandara Lod, dikenal dengan Pembantaian Bandara Lod (Lod Airport Massacre). Kerusuhan itu dilakukan tiga teroris Jepang anggota Japanese Red Army (JRA), organisasi ultra-kiri pecahan Red Army Faction (FAR) yang didirikan Fusako Shigenobu. Menurut Sara Dissanayake dalam “Japan” yang termuat di buku Handbook of Terrorism in the Asia-Pasific, FAR beroperasi dengan tujuan menggulingkan pemerintah dan monarki di Jepang serta menggerakkan revolusi di dunia.
Baca juga: Operasi Intelijen Caesarea Memburu September Hitam
“Anggota kesatuan itu terlibat dalam berbagai tindakan kriminal di Jepang, termasuk serangan terhadap kantor polisi dan serangan bank. Pada 31 Maret 1970, sembilan anggota RAF membajak sebuah penerbangan Japan Airlines dan memerintahkan pilotnya menerbangkan pesawat ke Korea Utara, di mana mereka diberi perlindungan dan tempat tinggal,” tulis pakar terorisme itu.
Akibatnya, pemerintah Jepang mengambil tindakan keras. Tindakan keras pemerintahan Jepang terhadap kelompok kiri pada 1970-1971 dan adanya persaingan sengit antar-kelompok kiri memaksa Shigenobu dan beberapa anggota militan lain menyingkir ke luar negeri. Mereka memilih Lebanon, tempat Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) bermarkas, sebagai tempat pelarian. Shigenobu dan kawan-kawan disambut hangat rekan internasionalnya dalam perjuangan melawan imperialisme itu.
“Kedatangan Shigenobu di Timur Tengah amat tepat sesuai dengan keinginan yang tumbuh dalam orang-orang Palestina untuk mencari dukungan luar kegiatan anti-Israel mereka. Meskipun Palestina telah lama berjuang melawan Israel, mereka melakukannya dengan sedikit keberhasilan,” tulis Aileen Gallagher, investigator lepas dan penulis, dalam The Japanese Red Army.
Baca juga: Teror Mahasiswa Kiri
Kekalahan Arab dalam Perang Arab-Israel 1967 membuat para pemimpin perjuangan Palestina mengubah taktik. Perang konvensinal tak mungkin mereka lakukan lagi karena Israel terlalu kuat dengan dukungan AS. “Terorisme dan perang gerilya kini dianggap satu-satunya harapan warga Palestina untuk menyingkirkan Israel dari tanah yang mereka anggap milik mereka. Orang-orang Palestina mulai mencari inspirasi dan bantuan dari kelompok lain di seluruh dunia yang telah berjuang untuk menggulingkan pemerintah,” sambung Aileen.
Setelah Shigenobu mendirikan JRA di Lembah Bekaa, kerjasama para militan kiri Jepang itu dengan PFLP kian intensif. Satu aksi penting yang mereka rencanakan adalah menyerang bandara Lod di ibukota Israel. “Serangan itu sebenarnya dikoordinir PFLP tetapi dieksekusi oleh tiga anggota JRA,” kata Sara. Pemilihan anggota JRA sebagai eksekutor diusulkan Shigenobu untuk menghilangkan kecurigaan pihak keamanan bandara Israel yang sedang gencar mengawasi pendatang Arab. Meski sempat meragukan, pimpinan PFLP akhirnya menerima usulan Shigenobu. “JRA adalah semangat kekeluargaan sempurna dan mitra yang sukarela,” tulis Aileen.
Setelah perencaan dibuat, mereka mencari eksekutor. Salah satu yang bersedia, Kozo Okamoto. Setibanya di Beirut setelah beberapa bulan menjalani penerbangan estafet dari Tokyo via Amerika, Okamoto menjalani pelatihan sembilan minggu.
Misi dijalankan oleh tiga eksekutor: Kozo Okamoto, Takeshi Okudaira (suami Shigenobu), dan Yasuyuki Yasuda. Mereka menyamar sebagai turis Jepang. Mereka hanya membawa sedikit koper, berisi senapan semi-otomatis dan granat. Setelah pelesir ke Paris, mereka tur ke Roma. Tiga hari di Roma, mereka lalu terbang ke Tel Aviv menggunakan pesawat Air France dengan nomor pererbangan 132 dari Paris yang transit di Roma.
Baca juga: Teror di Masjid Al-Noor
Pada saat-saat itulah Pablo Tirado-Ayala di Amerika amat bahagia karena waktu wisatanya ke “Tanah Suci” makin dekat. “Itu adalah topik utama obrolan di rumah. Antonia tidak mau bergabung dengan Pablo karena Angel masih di rumah (pada saat itu berusia 16) dan dia tidak ingin meninggalkannya sendirian,” kata Angel Ramirez, anak-angkat Pablo.
Pablo akhirnya berangkat ke Tel Aviv bersama 16 wisatawan-peziarah lain dari Puerto Rico. Mereka tiba di Bandara Lod pada 30 Mei. Begitu turun dari pesawat, mereka mengantri di ruang bagasi untuk mengambil barang-barang bawaan. Saat itulah, tulis Aileen, “Tiga lelaki Asia mengambil tas dan pindah ke dinding yang jauh, berpura-pura mencari sesuatu di koper mereka. Tiba-tiba, tembakan memenuhi ruangan itu.”
Ketiga teroris terus memberondongkan senapannya secara membabi buta ke arah kerumanan orang di ruang bagasi bandara. Salah satu teroris lalu melemparkan granat ke beberapa kelompok orang yang berkerumun. Mereka tak puas dan memperluas wilayah ke serangan ke ruang tunggu di luar. Okudaira bahkan memasuki landas-pacu dan memberondong sebuah pesawat. Ketika pelurunya habis, dia melemparkan granat yang tersisa dan tubuhnya hancur bersamaan dengan kepingan-kepingan granat itu. Banyak orang menganggap itu sebagai aksi bom-bunuh dirinya, namun banyak saksi mengatakan dia terpeleset dan jatuh ke arah granat yang dilemparnya.
Baca juga: Teror di Negeri Matador
Teroris kedua, Yasuda, tewas tertembak tak lama berselang. Sebagian saksi menyatakan dia terkena friendly fire, namun banyak saksi meyakini dia tertembak oleh aparat keamanan bandara. Sementara, Okamoto, lari keluar untuk melemparkan granat ke arah pesawat setelah kehabisan peluru. Okamoto tak melawan saat dibekuk petugas keamanan. Dia bahkan berharap dihukum mati aparat keamanan Israel meski hal itu tak pernah dikabulkan.
Meski hanya beberapa menit, serangan tiga teroris JRA itu menewaskan 26 orang. Salah satunya, Profesor Aharon Katzir, ahli bio-fisika Israel. Sementara, 80 orang lain mengalamai luka-luka akibat serangan itu. “Misi ini akan tercatat dalam sejarah sebagai tindakan paling berdarah JRA, yang akan menempatkannya di antara organisasi teroris yang paling ditakuti di dunia,” tulis Aileen.
Salah satu korban adalah Ros Sloboda. Perempuan asal London yang saat itu bekerja di Tel Aviv itu tertembak salah satu kakinya. Dia bahkan sempat yakin dirinya bakal tewas ditembak lebih lanjut oleh salah seorang teroris yang dilihatnya. Namun, keyakinan itu meleset. Nyawanya selamat.
Baca juga: Pengeboman Gereja di Jawa Timur
Meski nyawanya juga selamat, Pablo mengalami gangguan mental berat. Dia berhasil pulang ke Puerto Rico, namun tidak pulang sebagai Pablo sebelumnya yang ceria, ramah, perhatian, dan penyayang. Gangguan mental berat membuatnya murung dan mengurung diri sepanjang hari di kamarnya. Dia tak bisa tidur tanpa minum obat. Di tengah tidurnya, dia sering terbangun dan berteriak. Upaya pengobatan yang dilakukan Antonia istrinya dengan membawanya ke instalasi perawatan mental selama sebulan, tak banyak membantu.
Pembantaian Bandara Lod telah mengubah kepribadian Pablo. “Dia tak mudah didekati lagi seperti sebelumnya,” kata Angel. Perubahan itu juga amat menyedihkan Antonia. “Karena dia tempat diajak bicara, yang akan menghabiskan waktunya bersama kami, orang yang mengajak kami pergi, seorang penyedia utama, (tapi) dia tak ada lagi,” ujar Antonia.