MINIATUR keretaapi dan wayang kulit. Dua hal itu jadi hobi Asisten I (Intelijen) Men/Pangad Mayjen Siswondo Parman. Soebagiono, adik Jenderal S. Parman, mengungkapkan kakaknya dekat dengan atasannya, Men/Pangad Letjen Ahmad Yani di lingkup militer dan juga dekat dengan Presiden Sukarno. Parman sering dimintai pendapat tentang lakon-lakon wayang apa yang cocok dipentaskan di Istana.
“Beliau memiliki dua kotak wayang kulit. Sambil duduk di kursi malas, beliau memainkan wayang, mengikuti cerita Ki Dalang lewat siaran RRI,” kenang Soebagiono, dikutip Berita Yudha, 17 Oktober 1965.
Sedangkan soal miniatur keretaapi, kata Sumirahayu istri sang jenderal dalam Tujuh Prajurit TNI Gugur 1 Oktober 1965: Tuturan Anak-Anak Pahlawan Revolusi, Keluarga Korban, dan Saksi pada Peristiwa Dini Hari, 1 Oktober 1965, Jenderal S. Parman punya beberapa koleksi yang disimpan di ruangan belakang yang cukup luas di kediamannya, Jalan Serang, Menteng, Jakarta Pusat. Sang jenderal acap memainkannya selepas kerja bakti di hari-hari libur.
Baca juga: Aneka Olahraga Jenderal Ahmad Yani
Koleksi-koleksi itu lantas sekadar jadi benda “rongsok” lepas si empunya mangkat pada malam laknat 1 Oktober 1965 dini hari.
Jauh sebelum momen yang merenggut nyawa sang jenderal, sedianya sudah ada bibit-bibit firasat ganjil. Sumirahayu teringat, kira-kira setengah tahun sebelum Peristiwa Gerakan 30 September (G30S), Jenderal Parman pernah mengajaknya pelesiran keliling kota dan mampir ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
“Wah, ini Taman (Makam) Pahlawan! Tempat bahagiaku, Jeng. Jangan lupa ya, kalau aku gugur supaya bisa dimakamkan di sini. Jangan lupa pula supaya kijing-ku (batu nisan) nanti ditulis. ‘Pejuang Sejati’,” kata sang jenderal sekeluarnya dari mobil, sebagaimana diingat Sumirahayu.
Sumirahayu tak menyadari hal ganjil itu. Pun saat pertengahan September 1965 saat Jenderal Parman menghadiahkan fotonya yang sudah dibingkai lengkap.
“Ini kenang-kenangan untukmu. Hanya inilah satu-satunya peninggalanku untukmu,” kata sang jenderal.
Keanehan lain yang kemudian baru disadari Sumirahayu adalah ketika pada 29 September, Jenderal Parman menyuruh istrinya jalan-jalan-jalan ke Cibubur atau Cisalak. Lebih aneh lagi ketika Sumirahayu disarankan mengambil rutenya melewati Cawang dan bukan lewat Cikini.
Baca juga: Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Lantas pada Kamis sore, 30 September, Jenderal Parman juga mengungkapkan keinginannya piknik bersama istrinya. Direncanakan, pikniknya ke Bogor pada hari Minggu, pada lusa atau hari Minggu, 3 Oktober 1965. Ajakan itu ganjil karena biasanya di hari-hari libur Jenderal Parman acap berdiam di kamar belakang untuk menenggelamkan diri dengan hobi miniatur keretaapinya.
Sumirahayu juga ingat bahwa kemudian sekitar pukul 18.30 petang, datang seorang tamu yang menemui Jenderal Parman. Sumirahayu tak mengenal tamu tersebut.
“Tamu ini menanyakan apakah Pak Parman tidak ada acara pergi. Oleh S. Parman, dijawab tidak. Memang sore dan malam itu S. Parman tak bepergian. S. Parman sibuk di ruangan kerjanya sampai jauh malam,” tulis Sutrisno dalam buku Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman.
Menjemput Jenderal S. Parman
Malam itu, 30 September 1965, Jenderal S. Parman dan istrinya baru beranjak ke kamar tidur pukul 12 malam, sebagaimana kebiasaan mereka tiap malam Jumat. Namun kemudian Jenderal Parman melihat suatu keganjilan yang terjadi di kamar tamu.
“Menjelang akan tidur, S. Parman berkata pada istrinya, ‘lho kok banyak burung gereja di kamar tamu itu?’ Bu Parman menjawab, ‘ah, sudahlah tidur saja. Kan sudah mengantuk.’ Sesaat lagi S. Parman berkata, ‘lho sekarang banyak burung sriti.’ Sesudah itu S. Parman tertidur,” ujarnya.
Entah turut mengonfirmasi fenomena itu atau tidak, Sumirahayu tak bisa tidur panjang. Sekira pukul 3 dini hari ia terbangun. Seperti ada firasat yang kurang baik akan menimpa keluarganya.
Baca juga: Misi Parman Melobi London
Benar saja. Sekira pukul 4 dini hari, deru kendaraan besar dan derap kaki berlars memecah keheningan. Keributan itu membuat Jenderal Parman sampai terbangun karena mengira ada rumah tetangga kemalingan. Namun yang ia jumpai di halaman rumahnya adalah pasukan bersenjata dengan seragam Resimen Tjakrabirawa.
“Lho kok Tjakra?” tanya Jenderal Parman keheranan.
“Ya, Pak! Saya diperintah Panglima Tertinggi untuk mengambil Bapak,” jawab seorang prajurit itu.
“Keadaan genting?”
“Ya, Pak. Genting sekali,” jawab prajurit lain.
Jenderal Parman menurutinya. Selepas mengganti pakaian tidurnya dengan seragam, ia lebih dulu berpesan pada istrinya untuk melaporkan penjemputan itu ke atasannya, Jenderal Yani.
Tetapi hal ganjil yang membuat tambah curiga sang jenderal dan istrinya adalah pesawat telepon di rumahnya turut diambil gerombolan pasukan itu. Jenderal Parman sempat tak terima.
“Kok telepon saya diambil? Lho, saya ini difitnah?” imbuh Jenderal Parman.
“Oh, tidak, Pak!” jawab seorang di antara mereka.
Baca juga: Perisai Presiden Bernama Tjakrabirawa
Sementara Jenderal Parman dibawa, Sumirahayu nyaris tak bisa berbuat apapun. Begitu hari itu sudah terang, Sumirahayu makin dikhawatirkan oleh kedatangan Mariatni, istri Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono. Istri kolega suaminya itu bercerita bercerita suaminya juga dibawa gerombolan.
Syahdan Sumirahayu memerintahkan sopir suaminya untuk menemui Soebagiono di Tebet. Kepada Soebagiono, Sumirahayu menceritakan kejadian dini hari itu bahwa suaminya dibawa gerombolan pasukan yang mengaku ditugaskan presiden.
“Tidak apa-apa. Dipanggil presiden kan ada perlunya. Mungkin bicara soal wayang,” ujar Soebagiono.
Jawaban Soebagiono nyatanya salah. Sejak 1 Oktober dini hari itu, Jenderal Parman pergi dan tak pernah kembali. Baru beberapa hari kemudian Jenderal Parman diketahui jadi korban gerombolan G30S. Jasadnya ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa di Lubang Buaya, Jakarta Timur bersama sejumlah jasad koleganya di SUAD.
Baca juga: S. Parman, Adik Petinggi PKI yang Jadi Penentang Kuat PKI