Masuk Daftar
My Getplus

Saat Maria Bebaskan Tawanan Perang

Setelah menerima jabatan menteri sosial, Maria bergerak cepat membebaskan tawanan perang. Bagian dari diplomasi itu gagal menyusul jatuhnya Kabinet Sjahrir.

Oleh: Nur Janti | 15 Okt 2019
Orang-orang Indo dan Eropa di Kamp Cideng, masa pendudukan Jepang. Sumber: Memory of the Netherlands.

KETIKA Sutan Sjahrir membentuk kabinet keduanya pada Maret 1946, Maria Ullfah diminta masuk dalam jajaran kabinet sebagai menteri sosial. Ajakan Sjahrir sempat membuat Maria bingung. Ada banyak masalah sosial pasca-proklamasi, namun Maria tak tahu mana yang harus diselesaikan lebih dulu. Ia pun ragu menerima permintaan Sjahrir.

“Saya juga tidak pernah jadi perdana menteri, kamu yang sering memperlihatkan keberanian mestinya mau (menjadi menteri sosial, red.),” kata Sjahrir membujuk Maria.

Pada akhirnya, Maria menerima permintaan itu. Dorongan untuk memperlihatkan pada dunia kalau Indonesia bukan negara buatan Jepang seperti anggapan Belanda berperan penting dalam keputusan Maria. “Karena kalau di Jepang itu wanita tidak punya kedudukan yang sama dengan pria. Di sini saya perlihatkan kalau wanita Indonesia juga bisa menjadi menteri,” kata Maria pada Dewi Fortuna Anwar dalam wawancara yang diterbitkan Arsip Nasional.

Advertising
Advertising

Baca juga: Maria Terbang Mendarat di Gudang

Langkah pertama yang dilakukan Maria Ullfah ialah mengeluarkan wanita-wanita Eropa dari kamp tawanan perang. Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda menyebut orang Eropa dan Indo itu ditangkapi oleh tentara pendudukan Jepang dan dimasukkan ke kamp tawanan, salah satunya di Cideng, Jakarta Pusat. Setelah proklamasi kemerdekaan, sebagian tawanan itu belum dibebaskan.

Perdana Menteri Sjahrir membuat kesepakatan dengan Inggris untuk meredam pertumpahan darah antara pihak pro-republik dan pro-Belanda. Pihak Belanda, yang membonceng Inggris, ngotot menolak perundingan dan tidak mengakui kemerdekaan Indoensia. Bagi Belanda, proklamasi kemerdekaan adalah produk Jepang, hal yang ditolak oleh pejuang kemerdekaan. Untuk meredam kekacauan, Sjahrir dan diplomat Inggris Sir Archibald Clark Kerr sepakat dengan keputusan Indonesia mengeluarkan tawanan perang.

Itulah tugas pertama Maria: mengurusi tawanan wanita sebagai bagian dari diplomasi. Untuk itu, Maria banyak berhubungan dengan Kerr selaku penengah. Selain itu, Maria juga dibantu Panitia Urusan Pemulangan Jepang dan Allied Prisoner War Interneese.

Baca juga: Maria Ullfah, Advokat Kaum Perempuan

Pada April 1946, Maria dan Sjahrir bertemu Kerr dalam sebuah perjamuan di geladak kapal Norfilk. Maria ditugaskan menjadi perantara antara tawanan kamp dengan otoritas Sekutu. Setelah bertemu pihak Indoensia, Kerr bertemu dengan pihak Belanda. Dengan begitu, Belanda tidak punya alasan untuk menolak perundingan. Semua ini  merupakan taktik Sjahrir untuk meredam konflik Indonesia-Belanda.

Maria langsung mengunjungi kamp-kamp dan melihat kebutuhan para tawanan perang. Mayoritas tawanan kekurangan pakaian, makanan, dan susu anak. “Waktu mereka lihat menteri sosialnya seorang wanita, ada perempuan Eropa yang menghampiri saya. Ia berbisik minta bedak dan lipstick,” kata Maria. Permintaan itu kemudian diteruskan ke headquarters Sekutu di Jakarta selaku penanggung jawab semua kebutuhan tawanan. Sekutu lalu mengirimkan semua kebutuhan itu lewat Maria selaku perantara.

Dalam misi ini, Maria bertugas sebagai tim diplomasi untuk kemanusiaan. Selain menyalurkan kebutuhan, Maria juga menyertai perempuan-perempuan Belanda dan Prancis naik kereta api sampai di titik pertemuan sebelum kembali ke negara masing-masing. Sebagai imbalannya, Inggris mengizinkan pemerintah Indonesia menumpang pesawatnya untuk berhubungan dengan pemerintahan di Sumatera.

Baca juga: Riwayat Rumah Tahanan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi

Pada April 1947, Maria datang ke Padang bersama Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem, Mr. Sumarman, Menteri Pekerjaan Umum Ir. Putuhena dan Sjafrudin Prawiranegara menggunakan pesawat pembom Inggris. Di sana, Maria menginap di rumah dokter perempuan pertama Marie Thomas yang menikah dengan dokter Yusuf.

Setelah kunjungan itu, perundingan lanjutan dengan Belanda diagendakan namun ternyata tidak berhasil. Buntutnya, Sjahrir meletakan jabatan pada Juni 1947 dan kabinetnya resmi bubar pada 3 Juli 1947.

“Perundingan tidak berhasil karena pertengkaran golongan antara kita, diplomasi Sjahrir dipandang terlalu lunak,” kata Maria.

TAG

sjahrir mariaullfah perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu Perempuan di Medan Perang