Peringatan Hari Buruh 1 Mei 1948 berlangsung meriah. Sebanyak 200-300 ribu buruh, petani, dan pemuda membanjiri alun-alun Yogyakarta. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Panglima Besar Jenderal Sudirman menghadiri rapat raksasa tersebut.
Peringatan Hari Buruh kala itu terasa istimewa. Pasalnya, pada 20 April 1948, pemerintah telah menetapkan UU No 12/1948 tentang Kerja. UU ini dianggap pencapaian tertinggi bagi gerakan buruh. UU ini juga dinilai progresif karena memberikan perlindungan dan jaminan yang besar bagi buruh, melebihi apa yang mungkin didapat buruh di Eropa.
UU ini antara lain berisi larangan mempekerjakan anak; larangan buruh perempuan bekerja di pertambangan dan tempat lain yang membahayakan keamanan, kesehatan, dan moralitas; serta bekerja di malam hari (kecuali yang bekerja di sektor publik seperti bidan atau perawat); pemberian waktu bagi ibu menyusui anaknya; serta cuti melahirkan dan cuti haid.
Baca juga: Cuti Haid Cuma Manis di Atas Kertas
Ketentuan mengenai cuti haid terbilang luas biasa karena menurut Susan Blackburn dalam Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern, “hanya beberapa negara pernah mengundang-undangkannya.”
UU Kerja juga menetapkan “pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.”
1 Mei dianggap sebagai momentum bagi gerakan buruh internasional. Ini bermula dari tuntutan bekerja “delapan jam sehari” yang disuarakan kaum buruh di Amerika Serikat (AS) sejak 1884. Lalu, pada 1 Mei 1886, puluhan ribu buruh di Chicago turun ke jalan. Polisi menghadapinya dengan tembakan; empat orang tewas dan banyak yang luka-luka.
Tindakan represif itu menimbulkan aksi buruh lebih besar lagi. Simpati juga datang dari penjuru dunia. Puncaknya, Kongres Sosialis Internasional II di Paris pada Juli 1889 menetapkan 1 Mei sebagai hari libur para buruh. Ironisnya, AS justru memilih hari Senen pertama di bulan September sebagai hari buruh nasional.
Baca juga: Jejak Buruh di Awal Mei
Peringatan Hari Buruh sudah diperingati di Hindia Belanda pada 1918. Sementara di alam kemerdekaan, kaum buruh Indonesia merayakan hari buruh kali pertama pada 1 Mei 1946.
Penguasa Orde Baru meniadakan Hari Buruh secara perlahan namun sistematis. Mula-mula, Awaloedin Djamin, menteri tenaga kerja pertama era Orde Baru, memutuskan 1 Mei 1966 tetap diperingati sebagai hari buruh.
“Keputusan ini diambil agar tidak disalahmengetikan bahwa Orde Baru adalah antiburuh, padahal yang benar kita adalah antikomunis Indonesia,” kata Awaloedin dalam Awaloedin Djamin, Pengalaman Seorang Perwira Polri. Kemudian, “tahun berikutnya langsung saya hapuskan.”
Pemerintah kemudian menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional, merujuk pada hari lahir Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada 20 Februari 1973.
Peringatan Hari Buruh dilarang. Serikat buruh dibonsai. Pemogokan dihadapi dengan represi. Pegiatnya ditangkap, bahkan dibunuh seperti dialami Marsinah, buruh PT Catur Putera Surya di Sidoarjo, pada Mei 1993.
Baca juga: Menyuarakan Nasib Buruh Perempuan
Untuk kali pertama di masa Orde Baru, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) memperingati Hari Buruh pada 1 Mei 1995 dengan menggelar aksi di Jakarta dan Semarang. Lima orang ditangkap di Jakarta dan 16 orang di Semarang.
“Waktu itu aparat memang sangat represif,” kenang Lukman Hakim, ketua departemen pengembangan organisasi PPBI Pusat yang ditangkap dalam aksi di Semarang, kepada Historia.
Setelah Soeharto lengser hingga hari ini, Hari Buruh dirayakan saban tahun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional saat Hari Buruh 2013 dan mulai berlaku 1 Mei 2014.