Di musim hujan, selokan –yang dipenuhi sampah– sering meluap dan menimbulkan banjir. Namun, di masa pendudukan Jepang, selokan telah menyelamatkan rakyat Yogyakarta dari kerja paksa (romusha) dan menekan kekurangan pangan.
Pada 1940, Dorodjatun dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubuwono IX. Tak lama kemudian Jepang datang. Di Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik untuk kali kedua sebagai Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang. Sultan menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang dinamai Kochi (Daerah Istimewa).
Kewajiban yang ditetapkan Jepang membuat penduduk di sejumlah daerah menderita luar biasa. Mereka dipaksa menyetorkan bahan makanan. Mereka pergi menjadi romusha untuk membangun proyek-proyek seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang, dan menggali batubara. Mereka mendapatkan gaji, tapi tak sebanding dengan pekerjaannya yang berat. Alhasil, ribuan nyawa menjadi korban.
Baca juga: Terowongan Neyama Romusha
Sultan dengan segala cara berusaha keras untuk melindungi rakyatnya dari kekejaman fasis Jepang. Hasilnya, rakyat Yogya memiliki nasib lebih mujur dibanding rakyat di daerah lain.
“Mengelakkan permintaan Jepang sama sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengkubuwono IX cukup pandai ‘mengelabui’ tentara Jepang,” demikian tertulis dalam bunga rampai Takhta Untuk Rakyat, yang dihimpun Mohamad Roem dkk.
Sultan menyembunyikan statistik yang sebenarnya, baik perihal penduduk maupun hasil panen padi dan populasi ternak. Dia berhasil meyakinkan Jepang bahwa daerahnya tak mampu menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Alasannya, wilayah Yogyakarta terlalu sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan. Sementara wilayah lainnya kering dan tak subur untuk pertanian.
Baca juga: Sejarah Garong: Gabungan Romusha Ngamuk
Soal daerah-daerah yang tergenang hujan, Sultan tak mengada-ada. Di Adikarto, harian Tjahaja 10 November 1942 melaporkan, hujan turun membuat kali Serang naik dan menggenangi desa-desa sekitarnya seperti Karangwuni, Sogan, Ngentak, Dukuh, dan Modinan. Banjir tersebut merusak padi di persawahan dan kerugian ditaksir sekira 1.550 rupiah. Pada Januari 1943, tulis Tjahaja 18 Januari 1943, banjir besar menghantam bendungan dan tanggul di sepanjang sungai Code, Opak, Progo, Gajah Wong, dan Kedung Semirangan. Kerugiannya ditaksir sekira 31.560 rupiah.
Agar daerahnya dapat menyetorkan hasil bumi kepada Jepang, Sultan meminta dana untuk membangun irigasi. Tak disangka, Jepang memberikan dana untuk membangun saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang ke laut, terutama di daerah Adikarto serta membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air dari Kali Progo ke daerah kering yang kekurangan air di daerah Sleman ke arah timur.
Baca juga: Romusha di Seberang Lautan
Saluran dan pintu air yang dibangun tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Selokan Mataram. Dalam bahasa Jepang disebut Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro. Kedua proyek saluran ini mampu membantu wilayah Yogyakarta menekan kekurangan pangan dengan hasil pertanian, sekalipun beberapa persen disetorkan kepada Jepang.
Pembangunan Selokan Mataram juga menghindarkan warga Yogyakarta dari panggilan menjadi romusha. Sebab, pembangunan saluran sepanjang puluhan kilometer dan harus dilengkapi dengan bendungan, tanggul, jembatan, dan lain-lain memerlukan banyak tenaga. Inilah yang dipakai sebagai alasan Sultan untuk menolak perintah pengiriman penduduk untuk dijadikan romusha.