Suatu hari di ruang kerja Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terjadi perdebatan sengit. Kala itu, Ali memanggil Raden Soeprapto, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung, untuk membicarakan kasus dugaan korupsi Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, pada 1956. Ali meminta Soeprapto mendeponir atau membatalkan kasus Roeslan.
Ali berpendapat dakwaan terhadap Roeslan tak bisa dilanjutkan. Meski Roeslan diberatkan oleh tiga orang saksi, ada tiga saksi lain yang meringankan Roeslan. Jadi kasusnya seimbang. Tapi Soeprapto menolak mentah-mentah argumen itu. Kasus hukum bukanlah pertandingan sepakbola yang bisa berakhir imbang.
Ali terus mendesak Soeprapto. Dia mengatakan penuntutan terhadap seorang menteri dari partai besar bisa menyebabkan gejolak pemerintahan. Apalagi pemerintah lagi pusing-pusingnya dengan pergolakan daerah. Soeprapto membalas, urusan gejolak dan pergolakan daerah adalah tanggung jawab pemerintah. Tak ada sangkutannya dengan kasus Roeslan.
Ali dan Soeprapto sama-sama keras. Tak ada kesepakatan pada pertemuan itu. Soeprapto bosan juga didesak terus. Akhirnya, dia mengatakan lantang kepada Ali. “Saya berada di bidang judicial service, bukan civil service,” kata Soeprapto. Dia lalu keluar ruangan sembari membanting pintu.
Baca juga: Priyatna Abdurrasyid, Jaksa Pemberani Pemberantas Korupsi
Demikian kenangan Prof. Dr. Andi Hamzah, mantan juniornya Soeprato, dalam seminar “Pengusulan Jaksa Agung R. Soeprapto Sebagai Pahlawan Nasional” yang digelar oleh Kejaksaan Agung bekerja sama dengan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Indonesia via zoom pada 17 Maret 2021.
Andi menambahkan, Soeprapto memegang teguh independensi lembaga dan profesinya sesuai dengan undang-undang saat itu. Karena itu, dia menolak segala bentuk intervensi dari lembaga eksekutif. Dia juga tak segan mengadili orang-orang yang menyeleweng. Sekalipun posisinya setingkat menteri.
“Dia menangkap tiga menteri: Menlu Abdulgani, Menteri Kehakiman Mr. Djody Gondokusumo, dan Menteri Kemakmuran Iskaq Tjokrohadisurjo,” kata Andi. Selain menteri, Soeprapto juga mengadili sejumlah perwira militer, pengusaha kakap, dan tokoh politik Sultan Hamid II.
Baca juga: Kasus Korupsi Mantan Menteri Iskaq Tjokrohadisurjo
Ketika mengadili teman seorang perwira militer, Soeprapto memperoleh tantangan. Perwira itu tak suka temannya diadili oleh Soeprapto dan anak buahnya. Si perwira mengutus bawahannya untuk menemui Soeprapto. Bawahan itu menyampaikan akan ada penangkapan terhadap jaksa yang menjadi tim Soeprapto.
Soeprapto tak gentar dengan ancaman itu. Di hadapan anggota militer itu, dia meletakkan pistolnya di meja. “Bila akan melakukan upaya paksa penahanan kepada jaksanya, silahkan melangkahi diri dan mayat beliau dulu,” kata Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, anak dari Oemar Seno Adji, salah satu teman kerja Soeprapto.
Indriyanto mengaku banyak mendengar integritas dan sikap Soeprapto dari ayahnya. Menurut Oemar, Soeprapto memiliki pandangan bahwa tak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum. “Itu sebabnya Soeprapto menangani perkara besar dan kecil, kaya dan miskin, tanpa dipilih,” kata Indriyanto.
Soeprapto juga sohor dengan sikap sederhana dalam hidup. Dia tak banyak mengejar harta benda. Bahkan, dia menolak pemberian hadiah gelang emas untuk anaknya. “Jarang sekali penegak hukum seperti Pak Soeprapto. Jujur, sederhana. Jaksa yang perutnya kempis,” kata Indriyanto.
Indriyanto menerangkan, kesederhanaan Soeprapto tampak dalam tindakannya. “Dia tak banyak omong. Dia lebih memegang adagium facta sunt potentiora verbis atau perbuatan itu lebih kuat daripada kata-kata,” kata Indriyanto.
Baca juga: Jaksa Priyatna Pernah Tantang Jenderal Duel Pistol
Asvi Warman Adam, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menggambarkan karakter lain Soeprapto. Meski tegas dan tak sungkan berbeda pendapat dengan orang lain, Soeprapto tetap menaruh hormat pada orang tersebut. Ini kelihatan dari peristiwa perdebatan Perdana Menteri Ali dengan Soeprapto.
“Sekalipun Ali dan Soeprapto sama bersikap koersif dalam rapat kabinet. Seusai rapat, sikap keras itu hilang. Soeprapto menaruh hormat kepada Ali dan mengobrol tentang soal lain seperti tidak pernah terjadi apa-apa,” kata Asvi.
Fahrizal Afandi, doktor hukum jebolan Universitas Leiden, menyoroti peran Soeprapto sebagai perintis reformasi hukum di Republik Indonesia pada 1950-an. “Soeprapto turut berperan dalam membangun jaringan struktur peradilan di Indonesia,” kata Fahrizal.
Peran Soeprapto paling nyata terlihat ketika dia mengubah sifat pengadilan. “Dari lembaga untuk memata-matai anak negeri, menjadi lembaga pengadilan yang digunakan untuk menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat,” kata Fahrizal.
Baca juga: Hukuman Mati bagi Menteri Korup
Peran Soeprapto bukan tanpa hambatan. Fahrizal melihat ada dua jenis hambatan selama Soeprapto berikhtiar memperbaiki hukum di Indonesia. Hambatan itu terbagi dua, internal dan eksternal. “Hambatan internal berasal dari lembaga yang dipimpin Soeprapto. Antara lain kurangnya pegawai terlatih, minimnya anggaran, dan minimnya fasilitas,” kata Fahrizal.
Sementara hambatan eksternal muncul dari keadaan dalam negeri secara nasional. “Kondisi politik tidak stabil, pemberontakan di daerah, dan intervensi dari partai,” kata Fahrizal. Tapi Soeprapto berhasil mengatasi hambatan tersebut. Hukum tegak dan pengadilan memberikan kepastian hukum.
“Sampai Daniel S. Lev dan Herbert Feith, dua Indonesianis terkemuka, menyebut periode di mana Jaksa Agung Soeprapto memimpin Kejaksaan (1950–1959), merupakan zaman keemasan sistem peradilan pidana di Indonesia,” kata Fahrizal.
Baca juga: Mereka yang Dihabisi Karena Memberantas Korupsi
Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia, menyatakan sepak terjang Soeprapto telah membuatnya jadi pahlawan di kalangan penegak hukum. “Nilai dan semangat perjuangan Soeprapto begitu melekat. Dia selalu hidup. Pahlawan itu selalu hidup,” kata Susanto.
Susanto memaparkan, sepak terjang Soeprapto tak terbentuk semalam. Sikap itu terbentuk melalui proses panjang. Temuan risetnya menunjukkan Soeprapto telah masuk dalam daftar orang terkemuka di Jawa buatan Jepang. Daftar itu memuat orang-orang penting pada masanya. Bisa karena keahlian atau pengaruhnya di masyarakat.
Menurut Susanto, ingatan tentang Soeprapto perlu dihidupkan kembali dalam tindakan keseharian penegak hukum masa ini. Di tengah karut-marut dan rusaknya lembaga penegak hukum, kehadiran Soeprapto sangat penting. “Sebab pahlawan itu dihadirkan karena ada kebutuhan kita yang mengharuskannya hadir,” kata Susanto.