PELABUHAN Tanjung Priok, pertengahan September 1945. Laksamana Muda W. R. Patterson, panglima senior Sekutu di Indonesia, memimpin kedatangan pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda). Tugasnya melucuti pasukan Jepang serta menegakkan hukum dan menjaga ketertiban.
Pasukan itu dikenal sebagai Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), yang di dalamnya terdapat pula satuan Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI). RAPWI sendiri bertugas menangani tawanan perang dan para interniran.
Sebelumnya, armada dari negara-negara Sekutu lainnya telah berangsur-angsur datang ke Indonesia. Pasukan Australia mendarat di Makassar, sementara pasukan Amerika Serikat (bersama pasukan Australia) menduduki Morotai dan Irian.
Untuk meyakinkan publik di Indonesia tentang misi mereka, Sekutu melakukan propaganda.
Beragam Tema
Dari penelusuran dua suratkabar Sekutu yang terbit di Jakarta pada akhir 1945, Evening News dan The Fighting Cock, ada cukup banyak tema propaganda Sekutu. Salah satunya, dan yang paling konstan, adalah bahwa mereka datang ke Indonesia hanya untuk melucuti pasukan Jepang, memulangkan tawanan perang, serta menjaga hukum dan ketertiban. Sekutu berupaya mempengaruhi persepsi rakyat Indonesia bahwa kehadiran mereka punya legitimasi kuat. Harapannya, rakyat Indonesia menerima dan mendukung kehadiran Sekutu.
Tak heran bila koran-koran Sekutu yang terbit di Jawa didominasi berita tentang usaha Sekutu mengangkut tawanan perang dan interniran, terutama dari Bandung ke Jakarta. Gambaran yang sering disampaikan adalah Sekutu menjalankan tugas evakuasi dengan baik, walaupun adakalanya dihadang para pemuda bersenjata Indonesia.
Baca juga: Sejarah Jalan Propaganda
Di sisi lain, diilustrasikan pula bahwa Sekutu dengan efektif menjaga keamanan di kota-kota di Jawa. Pertempuran-pertempuran yang melibatkan Sekutu dan pejuang Indonesia digambarkan media Sekutu dengan patriotis, dengan pasukan Sekutu sebagai hero atau pihak protagonisnya dan pejuang Indonesia sebagai pihak antagonisnya.
Sekutu juga kerap menekankan peran mereka dalam memberikan keamanan pada masyarakat sipil. Bila dalam sejumlah propaganda Republik digambarkan kekejaman tentara Sekutu yang membakar kampung-kampung (antara lain di Gaung [Padang] dan Bekasi), propaganda Sekutu justru memberikan gambaran sebaliknya. Alih-alih sebagai pelaku pembakaran, Sekutu menggambarkan dirinya sebagai penyelamat perempuan dan anak-anak.
Mendukung Belanda
Sekutu memang mengakui dua otoritas yang berkuasa di Indonesia, yakni pihak Republik dan pihak Belanda, namun dalam kadar yang berbeda. Mereka menunjukkan apresiasi terhadap pemimpin Indonesia, tapi lebih pada arti penting mereka dalam menjaga ketertiban dan bukan sebagai pemerintah berdaulat.
Ucapan Perdana Menteri Sjahrir yang menyerukan penghentian kekacauan, umpamanya, dipublikasikan koran Sekutu Evening News. Walau ini menunjukkan pengakuan Sekutu pada pentingnya Sjahrir dalam meredakan kerusuhan di Jawa, secara umum baik Sekutu maupun media mereka masih belum sepenuhnya mengakui Republik Indonesia sebagai sebuah pemerintahan yang sah.
Baca juga: Sejarah estetika dan propaganda di Indonesia
Propaganda Belanda lebih mendapat banyak tempat. Di media terbitan Sekutu tersebar berbagai pernyataan dari tokoh-tokoh penting Belanda, seperti Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda HJ van Mook, Menteri Kolonial J. Logemann, dan Ratu Belanda Wilhelmina, tentang masa depan Indonesia; sebuah pemerintahan sendiri di bawah kuasa Belanda. Sekutu tampak berkeyakinan bahwa aspirasi gerakan nasionalis di Indonesia hanya bisa diterima dalam kerangka rencana Belanda itu, dan bukan sebuah negara merdeka dan berdaulat.
Selain itu, dalam propagandanya Sekutu secara konstan memakai kata “Batavia” untuk menggambarkan apa yang oleh pihak Republik disebut sebagai “Jakarta”. Demikian pula “Buitenzorg” untuk “Bogor”. Dengan kata lain, Sekutu masih menggunakan konsep spasial warisan kolonial Belanda, yang berarti mengakui kekuasaan Belanda atas Jawa.
Kontak Senjata
Sambutan hangat dari rakyat Indonesia atas kehadiran mereka kerap dikampanyekan Sekutu. Ini jelas ditujukan guna meningkatkan kepercayaan diri pasukan Sekutu sekaligus ajakan agar lebih banyak lagi orang Indonesia yang menerima dan menyokong kehadiran Sekutu. Salah satunya tampak dari kesaksian seorang koresponden perang di koran Evening News tanggal 24 November 1945. Beritanya ditaruh di halaman depan dengan judul “Smiling Children” (Anak-anak yang Tersenyum).
Baca juga: Sejarah propaganda armada perang Onze Vloot
Dikemukakan sehari sebelumnya konvoi RAPWI dari Bandung ke Jakarta berjalan lancar. Tak ada gangguan dari mereka yang disebut Sekutu sebagai “ekstremis” (sebuah label pada pasukan bersenjata Indonesia non-TKR). Bahkan wajah-wajah penduduk yang daerahnya dilewati konvoi Sekutu tampak ceria. Sang koresponden melaporkan: “Kami melihat petani bekerja di sawah mereka. Beberapa di antara mereka berhenti bekerja dan melambaikan tangan pada kami. Kami balas melambaikan tangan. Anak-anak melihat truk kami, dan tersenyum serta melambaikan tangannya, [lalu] kami membalas salam mereka dengan minat yang besar”.
Penerimaan penduduk merupakan tema propaganda yang lazim bagi Sekutu bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara Asia lainnya.
Berhasilkah propaganda Sekutu?
Banyak pejuang Indonesia percaya bahwa kedatangan Sekutu merupakan bentuk dukungan pada Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Kontak senjata antara pasukan Sekutu dan pejuang Indonesia terjadi di berbagai tempat. Mulai dari Ambarawa pada Oktober 1945 hingga yang paling berdarah di Surabaya pada bulan berikutnya.
Media Propaganda
Sejak kedatangannya di Indonesia pada September 1945, pasukan Sekutu bukan hanya menjalankan tugasnya untuk melucuti pasukan Jepang serta menegakkan hukum dan menjaga ketertiban. Mereka juga berupaya “memenangkan hati dan pikiran” rakyat Indonesia.
Antara Oktober dan November 1945, Sekutu menerbitkan dua suratkabar di Jakarta, yakni Evening News dan The Fighting Cock.
Evening News diterbitkan markas besar Sekutu di Jakarta dan dijual untuk umum seharga 30 sen. Sementara The Fighting Cock adalah publikasi dari 23rd Indian Division of the British Armed Forces (dikenal pula dengan nama Divisi The Fighting Cock; beranggotakan serdadu asal Nepal, India, dan British Isles) yang didistribusikan bukan hanya di Jakarta tapi juga di Inggris.
Kedua koran itu secara teratur melaporkan perkembangan terkait evakuasi tawanan perang dan interniran untuk menegaskan misi Sekutu di Indonesia berjalan baik. Laporan lain menyoroti keberhasilan Sekutu menjaga keamanan di kota-kota besar di Jawa, baik melalui patroli, penggeledahan, penangkapan maupun penyerangan terhadap elemen-elemen bersenjata Indonesia.
Kedua koran itu membedakan orang Indonesia ke dalam beberapa kategori: kaum nasionalis Indonesia yang punya otoritas (seperti Sjahrir dan Tentara Keamanan Rakyat), masyarakat sipil, serta para ekstremis (pemuda bersenjata yang sering terlibat bentrok dengan Sekutu). Sekutu menaruh respek pada dua kelompok pertama, tapi sangat terganggu dengan kelompok terakhir.
Citra tentang Indonesia yang aman di bawah Sekutu juga ditampilkan lewat foto-foto pasukan Sekutu yang tengah melaksanakan tugas, aktivitas sehari-hari masyarakat yang berjalan normal, serta keindahan alam Indonesia yang tampak tidak terinterupsi oleh konflik.
Poster
Selain lewat suratkabar, Sekutu menggunakan poster untuk menyampaikan pesan propaganda mereka. Misalnya, Sekutu memproduksi poster yang berisi informasi tentang pemberlakuan jam malam. Ini tampak di Padang pada Desember 1945. Tak lama setelah seorang brigade major Sekutu dan seorang gadis Palang Merah Sekutu terbunuh di sana, Sekutu menerapkan jam malam di kota itu. Pemberitahuan tentang jam malam disampaikan melalui poster yang disebar kepada orang-orang Indonesia di Padang.
Sekutu juga menempelkan poster di persimpangan-persimpangan jalan. Misalnya, ketika Sekutu akan melakukan penggeledahan di permukiman penduduk. Di dalam poster itu dijabarkan tugas pokok Sekutu di Indonesia, yakni menjaga hukum dan ketertiban. Dengan ditaruh di persimpangan jalan, diharapkan para pejalan kaki maupun pengguna alat transportasi membaca dan memahami isinya serta mempersiapkan diri bila nanti digeledah demi “hukum dan ketertiban”.
Bukan hanya poster. Sekutu seringkali harus menggunakan mobil van berpengeras suara yang berkeliling kampung untuk menyampaikan pesan. Misalnya, dalam penggeledahan yang dilakukan Sekutu terhadap sebuah kampung di dekat Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada 30 Desember 1945. Sebagaimana dilaporkan dalam artikel “Kampong Search” di Evening News tanggal 31 Desember 1945, sembari menggeledah warga kampung, Sekutu menurunkan sebuah van. Lewat mobil ini Sekutu meminta agar warga kampung bekerjasama dengan pasukan Sekutu untuk mencari orang-orang yang dicurigai.
Sebelum menggeledah suatu kampung, adakalanya Sekutu menyebarkan surat selebaran (leaflet) terlebih dahulu. Selebaran itu biasanya dijatuhkan oleh Pasukan Payung Sekutu (paratroops). Isi selebaran ada tiga hal. Pertama, tujuan penggeledahan. Kedua, yang dicari hanya para kriminal. Ketiga, warga kampung biasa tak usah khawatir dengan penggeledahan tersebut.
Penyebaran selebaran dimaksudkan menenangkan penduduk yang menjadi target penggeledahan bahwa apa yang Sekutu lakukan semata untuk menegakkan hukum.
Selebaran Ditolak
Kota besar juga menjadi target selebaran Sekutu. Pendaratan Sekutu di Semarang (Oktober 1945) dan Ambarawa (November 1945) didahului penyebaran selebaran via udara. Isinya menerangkan bahwa Sekutu akan datang untuk melucuti pasukan Jepang. Kendati demikian, selebaran ini membawa pesan bahwa Sekutu adalah pemenang Perang Dunia II dan pasukan pembebas bangsa-bangsa Asia dari imperialisme Jepang.
Selebaran lain disebar pesawat terbang Sekutu di Surabaya pada 9 November 1945. Isinya, perintah kepada orang-orang Indonesia bersenjata agar menyerahkan senjata mereka kepada Sekutu. Ini ada kaitannya dengan berbagai bentrokan antara pasukan Sekutu dan pejuang Indonesia sejak sebulan sebelumnya.
Namun, selebaran ini gagal mencapai maksud. Isi selebaran ini ditolak pejuang Indonesia, yang kemudian memicu Pertempuran Surabaya sehari setelah selebaran itu dijatuhkan dari langit Surabaya.
Penulis adalah dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, memperoleh Ph.D. di Universiteit van Amsterdam.
Baca juga tulisan Muhammad Yuanda Zara lainnya:
Majakerta yang Dilupa
Insiden Martin Behrman
Dari Defile hingga Kembang Api
Dari Majakerta ke Jakarta untuk Asia