Masuk Daftar
My Getplus

PNI Pasca-Peristiwa 1965

Hampir dibubarkan pasca-Peristiwa 1965, PNI berhasil bertahan di bawah bayang-bayang Soeharto.

Oleh: Nur Janti | 28 Sep 2019
Potret Hadisubeno. Sumber: Wikimedia Commons.

Pasca-Peristiwa 1965, Jenderal Soeharto melakukan pembersihan besar-besaran terhadap partai politik yang dianggap berhaluan komunisme. Salah satu partai yang hampir dihabisi ialah PNI. Namun, adanya perpecahan dalam tubuh PNI membuat Soeharto mengurungkan niatnya. Usulan para perwira Angkatan Darat untuk menghapus PNI ditolaknya lantaran terdapat tokoh-tokoh antikumunis. 

Perpecahan membuat adanya dualisme kepemimpinan dalam tubuh PNI. Kubu Ali Sastroamidjojo sebagai Ketua Umum PNI setuju dengan kebijakan Nasakom Sukarno. Sementara, kubu Hardi (Ketua Umum I) bersama Hadisubeno Sosrowerdojo, gubernur Jawa tengah dekade 1950-an, bersikap antikomunis sehingga tidak setuju dengan Nasakom. Kubu ini sering disebut “Marhaen Gadungan”. Adanya kubu “Marhaen Gadungan” ini membuat Soeharto pilih mempertahankan PNI.

Sebagai salah satu partai yang memiliki kedekatan dengan Sukarno, PNI beruntung tidak mengalami penghapusan. Dalam Kongres Persatuan, April 1966, Hardi dan Hadisubeno berhasil menguasai partai. Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia, Soeharto bermaksud untuk mempertahankan PNI agar berada di bawah kepemimpinannya. Ia pun menunjuk Osa Maliki sebagai pemimpin PNI. Namun ketika Osa meninggal pada September 1969 karena penyakit jantung, pemerintah mengawasi betul PNI dalam pemilihan pemimpin baru.

Advertising
Advertising

Baca juga: Riwayat Berdirinya PNI

Dua kandidat kuat dalam pemilihan ketua umum PNI adalah Hardi, seorang ahli hukum dan mantan wakil perdana menteri 1957 dan 1959, dan Hadisoebeno, politikus kelahiran Jawa Timur. Pihak pemerintah mencurigai Hardi akan bekerjasama dengan partai-partai lain untuk menentang tentara. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan Hadisubeno menjadi ketua umum.

Dalam kongres partai yang diadakan di Semarang pada April 1970, Ali Murtopo selaku asisten pribadi presiden menugaskan asisten pribadinya untuk memastikan kemenangan Hadisubeno. Asisten Ali itulah yang menyebarkan desas-desus kalau Hadisubeno tidak dimenangkan dalam kongres tersebut, siap-siap saja PNI akan dibubarkan. Pada akhirnya, Hadisubeno terpilih sebagai ketua umum PNI.

Seorang pendukung Hardi kemudian menulis dalam harian partai, Suluh Marhaen, bahwa dalam kongres terdapat campur tangan pihak Angkatan Darat. Mereka menekan anggota kongres untuk menuruti keinginan pemerintah memenangkan Hadisubeno.

Dengan adanya dukungan dari pemerintah, PNI bermaksud untuk memberikan timbal balik dengan menunjukkan bahwa pendukung PNI masih banyak. PNI berharap setelah pemilihan 1971, Soeharto menunjuk seorang pemimpin dari PNI untuk menjadi wakil presiden.

Baca juga: Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI

Namun demikian, kampanye yang dilakukan PNI menimbulkan ketegangan antara PNI dan pemerintah. Hadisubeno yang sebelumnya dianggap penurut, mengundang kewaspadaan penguasa ketika dengan bersemangat melancarkan kampanye anti-Golkar dan menyatakan kedekatan hubungan antara PNI dengan Sukarno.

Manuver Hadisubeno terbilang nekat karena kala itu terdapat larangan Kopkamtib tentang penyebaran ide-ide Sukarno. Hadisubeno menantang pemerintah untuk membubarkan PNI kalau larangan tersebut diberlakukan. Dalam salah satu pidatonya, Hadisubeno menyerukan pernyataan yang amat mengagungkan Sukarno.

“Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal tidak akan dapat menyamai satu Sukarno,” kata Hadisubeno.

Meski hubungan Hadisubeno dan PKI selalu berseberangan, kekagumannya pada Sukarno bisa dilacak dalam pidatonya di apel siaga PNI di Stadion Kridosono, Yogyakarta pada Juni 1966. Hadisubeno mengatakan, apapun yang terjadi, Presiden sukarno masih dicintai rakyatnya. Dalam petemuan itu, menurut Kuncoro Hadi dalam bukunya Kronik 65, terdapat wartawan asing dari Thailand, Filipina, India, Jepang, dan Amerika Serikat.

Baca juga: Satu Partai Dua Watak

Usaha Hadisubeno untuk mendapatkan kembali suara rakyat terputus karena ia meninggal sebelum pemilu dilaksanakan, yakni April 1971. Berita di Sinar Harapan Sabtu, 24 April 1971 menyebutkan Hadisubeno meninggal pada Sabtu pukul 7 di RSUP dr. Karjadi, Semarang akibat komplikasi pascaoperasi.

Komando kampanye PNI lalu dipegang oleh Ketua I DPP Mh. Isnaeini. “Kita sedang konsentrasi untuk Pemilu dan DPP PNI tetap kompak menghadapi persoalan-persoalan apapun,” kata Isnaeni, diberitakan Sinar Harapan.

TAG

partai soeharto g30s

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Melawan Sumber Bermasalah Ledakan di Selatan Jakarta PPP Partai Islam Impian Orde Baru Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Gambar Partai Dilumuri Tahi Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean