Masuk Daftar
My Getplus

Petualangan Pelaut Prancis di Nusantara

Hasrat orang-orang Prancis menggapai Sumatra tidaklah mudah. Mereka harus menghadapi permasalahan bertubi-tubi: mulai penyakit khas tropis hingga perangai penduduk yang berubah-ubah.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 03 Nov 2020
Gambaran penduduk Sumatra Abad ke-16 (Repro Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans)

Pada 15 Juni 1526, dua kapal penuh muatan di pelabuhan Honfleur, Normandi, Prancis, tengah bersiap melakukan perjalanan jauh. Seorang penjelajah berkebangsaan Italia, Giovanni de Verrazano, dipercaya Raja Prancis memimpin rombongan tersebut. Dengan bekal catatan pelayaran Ferdinand Magellan pada 1520 yang tersebar di seluruh Eropa, Verrazane membawa puluhan awak kapal menuju kepulauan rempah-rempah di Timur jauh.

Pada pelayaran pertama itu, sang kapten mencoba mengikuti jalur Samudera Pasifik, persis seperti yang dilakukan Magellan. Tetapi jalur yang berat membuatnya terpaksa membalikan kemudi kapal. Ia pun memutuskan mengambil jalur lain, yakni melalui bagian selatan Samudera Atlantik, menuju wilayah paling ujung Afrika, kemudian memasuki Samudera Hindia. Verrazane memanfaatkan gerak Angin Timur dalam pelayaran tersebut.

Baca juga: Saat Bajak Laut Prancis Menguasai Padang

Advertising
Advertising

 

“Tapi, para awak kapal yang sudah kelelahan dan tidak mendapatkan bayaran dalam perjalanan yang sia-sia itu memutuskan untuk memberontak. Mereka menuntut agar paling tidak satu di antara dua kapal itu tidak melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi,” tulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX.

Akhirnya diputuskan, kapal kedua yang dipimpin Pierre Caunay yang akan melanjutkan pelayaran menuju Timur. Sementara Verrazano kembali ke Prancis. Sekira musim panas 1527, Caunay berhasil melihat garis pantai Pulau Sumatra. Ia pun segera merapatkan kapalnya, di sekitar wilayah pantai barat Aceh. Namun baru saja menginjakkan kaki di sana, para pelaut Prancis itu langsung ditolak penduduk setempat. Kedua kubu lalu terlibat pertempuran, hingga Prancis akhirnya memilih mundur. Nahas, kapten kapal dan sejumlah besar awak terbunuh.

Kehilangan kapten kapal membuat awak yang tersisa memutuskan tidak melanjutkan perjalanan. Mereka memilih kembali ke tanah airnya, melalui jalur mereka datang. Namun sayangnya para pelaut itu tidak pernah sampai ke Prancis. Sebagian memilih tinggal di Madagaskar, sementara lainnya terdampar di Mozambik. Banyak juga pelaut yang ditangkap oleh orang-orang Portugis.

Baca juga: Ujung Perseteruan Sukarno dengan Presiden Prancis

 

Pada 1529, saudagar kaya Jean Ango kembali mendukung perjalanan menuju Hindia Timur. Kali ini dua bersaudara Jean dan Raoul Parmentier de Dieppe dipercaya menjadi pemimpin pelayaran. Keduanya diberi kapal besar oleh Jean Ango, lengkap dengan perbekalan dan awak yang begitu banyak. Tugas keduanya masih sama: menjalin hubungan dagang langsung dengan kepulauan rempah-rempah Hindia Tmur.

April 1529, kedua petualang memulai perjalanannya dari Dieppe. Dijelaskan Harry Charles Purvis Bell dalam The Voyage of Francois Pyrard of Laval to the East Indies, pada Oktober 1529, mereka berhasil mencapai pantai barat Sumatra. “Pelayaran itu dianggap perjalanan kilat pada masa itu (kurang dari dua puluh tujuh bulan) karena kapal hanya berhenti sebentar untuk alasan teknis di beberapa pelabuhan, padahal biasanya singgah lebih lama agar para awaknya dapat beristirahat,” kata Dorleans.

Parmentier bersaudara sempat singgah di Pulau Pini, wilayah Nias sekarang, dan memberi nama pulau itu “Pulau Parmentier”. Pulau-pulau lain di Kepulauan Batu pun satu persatu diberi nama Prancis. Keduanya juga singgah di pulau Tiku, sebelah utara Padang sekarang, untuk memenuhi persediaan merica yang dianggap sangat berharga di negerinya.

Baca juga: Intel Indonesia Bantu Pelarian Intel Prancis

 

Tidak seperti pendahulunya, kontak pertama Parmentier bersaudara dengan para pribumi berjalan cukup lancar. Itu berkat salah seorang awak kapal yang bisa sedikit berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu. Para pelaut Prancis itu mendapat sambutan yang hangat. Mereka bahkan diundang makan malam bersama dalam sebuah acara penyambutan. Di sana, orang-orang Prancis mempelajari kebiasaan-kebiasaan penduduk yang terkadang dianggap tidak lazim, seperti kebiasaan makan sirih dan mabuk-mabukan dengan menghisap tanaman ganja. Para pria di tempat itu juga tidak bekerja, dan hanya menghabiskan waktu berjudi.

Para penduduk Tiku digambarkan oleh pelaut Prancis sebagai seorang yang cukup terbelakang. Mereka berkulit hitam, dengan tubuh yang ramping dan tinggi. Cara berbicara mereka sangat keras tapi suara yang dikeluarkan tidak enak didengar. Mereka mengenakan pakaian dari kain berwarna merah, coklat, dan biru tua. Hampir seluruh penduduk bertelanjang kaki. Penduduk juga umumnya menggunakan ikat kepala atau topi jerami.

Di tempat Parmentier bersaudara tinggal tidak dikenal adanya pelacuran. Meski pakaian para perempuan di sana tidak tertutup sempurna tapi ada hukum setempat yang melarang hubungan di luar pernikahan. “Kesucian benar-benar sangat dijaga di Sumatra, pelacuran adalah perilaku yang tak dikenal…,” kata Parmentier bersaudara seperti dikutip Ayang Utriza dalam Sejarah Hukum Islam Nusantara.

Baca juga: Jean Baptiste De Guilhen, Duta Prancis di Kesultanan Banten

 

Meski sempat disambut hangat, perundingan dengan pejabat pribumi di Tiku tidak cukup memuaskan. Pulau Tiku sendiri bukan tempat yang baik untuk berdagang. Tempat itu tidak lebih dari sebuah desa nelayan miskin. Hampir tidak ada saudagar yang menjual banyak rempah-rempah sebagaimana pencarian para pelaut Prancis tersebut. Perangai para penduduk juga berubah-ubah. Terkadang mereka baik dan bersahabat, namun sering dijumpai penduduk yang berperangai jahat dan licik.

Gagal dengan upaya menguasai Tiku, pelancor Prancis itu memutuskan kembali berlayar menuju selatan. Mereka diketahui bergerak menuju Indrapura. Tapi di tengah-tengah pelayaran, Parmentier bersaudara terserang penyakit. Jean wafat pada 3 Desember 1529, sedangkan saudaranya Raoul menyusul lima hari kemudian. Sejumlah awak kapal juga banyak yang meregang nyawa akibat sakit tifus tidak lama setelah kedua kapten kapal mereka.

“Para pelaut yang dapat bertahan mengangkut sedikit dagangan yang terdiri paling banter 30 barel merica dan berhasil kembali ke Prancis pada Juli 1530. Pelayaran yang sia-sia tersebut sekali lagi benar-benar membawa kerugian besar bagi pemilik armada Jean Ango,” tulis Dorleans.

TAG

prancis sumatra

ARTIKEL TERKAIT

Tepung Seharga Nyawa Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz Napoleon yang Sarat Dramatisasi Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Topi Merah Simbol Perlawanan Rakyat Prancis Mayor Bedjo Kobarkan Api dan Darah di Tapanuli Di Balik Warna Merah dan Istilah Kiri Perang Saudara di Tapanuli