SEBUAH pesawat carteran milik Air India berjenis Lockheed L-7492A jatuh di perairan dangkal dekat kepulauan Natuna Laut Cina Selatan, pada 11 April 1955. Pesawat yang tinggal landas dari Bandara Kai Tak, Hongkong itu sejatinya akan menuju Bandung dalam rangka Konferensi Asia Afrika. Enam belas penumpangnya dilaporkan tewas, sedangkan tiga orang lainnya mengalami luka berat.
Kashmir Princess, pesawat carteran milik Air India itu sebelumnya sempat mengisi bahan bakar dan menjalani pemeriksaan rutin usai menempuh perjalanan dari Bombay, India. Pesawat tersebut membawa delegasi Tiongkok, juga wartawan dari berbagai negara, yang akan menghadiri Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Rencananya, pesawat itu pula yang akan mengangkut Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Tiongkok Zhou Enlai.
Penumpang yang selamat mengisahkan sekira lima jam perjalanan, pada jam tujuh malam, kru mendengar ledakan. Api berhembus ke arah lubang tangki bahan bakar nomor tiga. Dengan cepat pilot mematikan mesin nomor tiga, menyisakan tiga mesin yang menggerakkan pesawat.
Dalam waktu sepuluh menit, situasi memburuk. Penumpang ngeri melihat api mulai melahap sayap pesawat dan membayangkan kematian di depan mata. Asap juga memasuki kabin dan kokpit. Kru sempat mengirimkan sinyal bahaya; memberi tahu posisi mereka di atas Kepulauan Natuna, sebelum radio terputus.
Tak ada pilihan bagi pilot kecuali mencoba mendaratkan pesawat di laut. Para kru mengeluarkan jaket pelampung dan membuka pintu darurat. Pesawat menghujam ke laut. Sayap kanan menghantam air terlebih dahulu, merobek pesawat menjadi tiga bagian. Enambelas orang tewas. Tiga orang selamat: Anant Shridhar Karnik, teknisi perawatan pesawar Air India International Cooperation; kapten perwira pertama Dixit; dan navigator penerbangan J.C. Pathak.
“Kami jatuh ke dalam air. Ketika saya menyembul ke permukaan, ada api besar di laut. Mr Dixit mengalami patah tulang di bagian leher sementara tangan saya patah. Arus sangat kuat. Kami, entah bagaimana, berenang selama sembilan jam di perairan gelap hingga akhirnya mencapai pantai... Kami akhirnya diselamatkan penduduk setempat, memakai kapal ke Singapura, kemudian dibawa ke Mumbai oleh kapal Angkatan Laut Inggris atas perintah Pandit Nehru,” kenang Karnik seperti dimuat Asian Age, 9 April 2005. Karnik menerbitkan buku tentang insiden ini berjudul Kashmir Princess.
Sehari setelah insiden itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengeluarkan pernyataan yang menuding keterlibatan dinas rahasia Amerika Serikat (CIA) dan Chiang Kai-shek. Mereka, sebagaimana dikutip dari Steve Tsang, The Cold War’s Odd Couple, “berencana menyabot pesawat carteran Air India, menjalankan rencana mereka untuk membunuh delegasi kami ke Konferensi Bandung yang dipimpin oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, dan untuk menggagalkan Konferensi Bandung.”
Chiang Kai-shek adalah pemimpin Koumintang –juga dikenal dengan nama KMT atau Partai Nasionalis Tiongkok– yang berhadapan dengan kubu komunis pimpinan Mao Zedong dalam perang saudara. Mao memenangi perang dan memproklamasikan Republik Rakyat China (RRC) pada 1949 sementara Chiang Kai-shek melarikan diri ke Pulau Formosa atau Taiwan.
Pemerintah Indonesia, juga peserta konferensi, terhenyak mendengar kabar kecelakaan itu. Mereka tak ingin konferensi terganggu karena sudah merancangnya jauh-jauh hari; dari usulan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada 1953, Konferensi Kolombo di Sri Lanka pada April 1954, hingga pematangannya dalam Konferensi Bogor pada Desember 1954. Mereka akhirnya bisa bernafas lega ketika tahu Zhou Enlai tak berada dalam pesawat naas itu.
Untuk menyelidiki penyebab kecelakaan, pemerintah Indonesia membentuk komisi penyelidikan. Komisi mewawancarai sejumlah saksi mata, mengunjungi lokasi kejadian, melakukan pencarian fakta di Singapura, Jakarta hingga Hong Kong, serta menelisik reruntuhan pesawat.
Kisah lebih lengkap baca Bom di Tengah Konferensi Asia Afrika