Masuk Daftar
My Getplus

Pesawat Berlambang Nazi di Bali

Sebuah foto pesawat berlambang Nazi yang mendarat di Bali menimbulkan tanda tanya.

Oleh: Fynn-Niklas Franke | 14 Agt 2013

SENIMAN swiss terkenal, Theo Meier, mengambil foto pesawat berlogo Nazi, swastika, dengan beberapa gadis Bali antara tanggal 7-15 Januari 1938. Foto tersebut dimuat dalam buku Theo Meier: A Swiss Artist Under the Tropics karya Didier Hamel.

Bagaimana konteks sejarah di balik foto itu dan mengapa pesawat itu melakukan terbang jarak jauh? Menurut Mark Winkel dalam Bali Expat, 20 Juni-3 Juli 2012, setelah membandingkan bentuk pesawat (terutama bentuk kanopi kokpit dan sirip ekor pesawat yang tidak biasa) dengan semua pesawat yang dikenal dalam Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman), yang sebelum tahun 1939 adalah pesawat sipil dan pasca-1939 menjadi pesawat militer, tetapi memiliki tanda sama, termasuk swastika pada kemudi ekor; jelas bahwa pesawat itu bukan pesawat tempur karena terlalu kecil dan tidak ada senjata di atasnya.

“Jadi saya kira mungkin ini pesawat pengintaian atau pelatihan,“ kata Winkel.

Advertising
Advertising

Pesawat ini adalah prototipe kedua dari Arado 79. Dibuat oleh dua orang pelatih olahraga-terbang pada 1937, yang menerbangkannya dari Jerman ke Sydney, Australia melalui Hindia Belanda. “Foto itu mungkin diambil antara tangggal 7-15 Januari 1938 dan perempuan dalam foto itu kemungkinan sekarang berusia sekitar 75-80 tahun,” tulis Winkel.

Jerman dan negara-negara maju lainnya menggunakan kemajuan teknologi (beberapa dari mereka didorong oleh Perang Dunia I) tahun 1920 untuk menunjukkan kemampuan dan kehebatan mereka. Menariknya, penerbangan adalah industri sangat kompetitif; negara-negara seperti Italia, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat berusaha untuk memamerkan keunggulan pesawat mereka. Jadi, pada 1930-an tampaknya banyak kompetisi penerbangan untuk mengukur rekor ketinggian dan kejauhan.

Orang Jerman juga bangga akan kemampuan teknik industrinya dan beberapa lusin desainer penerbangan mencoba membuat pesawat terbaiknya. Tentu saja, pekerjaan itu disamarkan untuk “olahraga” seperti yang telah disarankan oleh banyak klub “olahraga-terbang”, tetapi sebenarnya Nazi mendorong untuk mengembangkannya menjadi perangkat keras militer.

Perusahaan Arado telah memiliki keberhasilan dengan pesawat ringan. Minat orang untuk terbang dan pasar telah mendorong perusahaan untuk membangun pesawat pelatihan untuk menghasilkan lebih banyak pilot dan pesawat olahraga. Membangun pesawat militer akan datang kemudian; bagaimanapun juga, Perjanjian Versailles mencegah Jerman mengembangkan angkatan udara militer, tetapi tidak ada masalah dengan pesawat sipil.

Atas saran seseorang, perusahaan Arado membuat pesawat generasi berikutnya yang bisa mencatat rekor jarak jauh (sebelumnya, pesawat Arado telah diatur ketinggian dan catatan lainnya). Arado 79 adalah pesawat itu.

Ada nomor registrasi di badan pesawat. “Meneliti sistem penomoran yang digunakan,” tulis Winkel, “saya menemukan bahwa semua pesawat Jerman beregistrasi ‘D’ (untuk Deutschland atau Jerman) diikuti dengan kode empat huruf.”

Kode pesawat tersebut D-EHCR terdaftar sebagai prototipe kedua Arado 79, di mana total produksinya berjumlah 49 pesawat sejak dimulai pada 1938.  Prototipe pertama (Arado 79A V1 dengan kode D-EKCX) juga menarik karena berpartisipasi dalam berbagai acara olahraga terbang jarak jauh, dan menang. Kesuksesan itu mendorong produsen untuk mencoba rute Brandenberg-Sydney-Berlin dengan maksud untuk menunjukkan bahwa perusahaan Arado sebagai produsen atau setidaknya desainer pesawat. Dengan mesin tunggal dan dua tempat duduk, Arado 79A memiliki jangkauan terbang sekitar 1000 km.

Untuk mengungkinkan D-EHCR mencatatkan rekor perjalanan Berlin-Sydney dilengkapi dengan tangki bahan bakar eksternal. Rute tersebut umumnya melewati Axis atau negara netral, termasuk Thailand.

“Pesawat tersebut tampaknya telah diterbangkan ke Medan, Batavia dan Surabaya sebelum mendarat di Bali dan mungkin bahwa foto itu diambil di Buleleng,” tulis Winkel. Setelah mencapai Sydney, pilot kembali melalui Sulawesi, Kalimantan, Balikpapan sebelum kembali ke Surabaya dan kemudian kembali ke Bangkok.

Nahas, sang pilot Pulkowski tewas pada 10 Februari 1938 ketika melakukan demonstrasi pesawatnya di India.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Menteri Nadiem: Masih Banyak Benda Bersejarah Indonesia yang Belum Dikembalikan Pekerjaan Aneh yang Diimpikan Bangsawan Kerajaan Inggris Sastra Melayu Tionghoa, Pelopor Sastra yang Merana Sultan Aman Setelah Pertempuran Tempel 1883 Kala Semangka Menyulut Kerusuhan di Panama Liangan Bukan Permukiman Gersang Kisah Perwira Luksemburg di Jawa Memori Manis Johan Neeskens Kisah di Balik Alat Musik Kesayangan Squidward Hasrat Nurnaningsih Menembus Hollywood