Masuk Daftar
My Getplus

Pesan Ratu Victoria Terkait Perang Aceh

Surat resmi dari penguasa Britania Raya ini datang di tengah kecamuk Perang Aceh. Berniat melerai meski pesan itu tak pernah sampai.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 21 Apr 2020
Potret Van Heutsz sedang memantau pasukannya.hasil bidikan kamera Christiaan Benjamin Nieuwenhuis (Wikimedia Commons)

Perang besar Aceh-Belanda memasuki babak baru. Setelah menuai malu pada perang pertama (awal 1873), Belanda datang dengan kekuatan lebih besar di tahun berikutnya. Sebanyak 60 buah kapal –terdiri dari kapal perang, kapal pengawal, dan kapal logistik– bersenjata lengkap diberangkatkan dari Batavia. Jenderal Van Swieten ditunjuk memimpin agresi kedua ini.

Besarnya kekuatan Belanda nyatanya tidak menyurutkan perlawanan rakyat Aceh. Semangat juang mereka justru semakin merepotkan. Pertahanan rapat yang disiapkan di berbagai tempat juga menambah beban mereka untuk masuk ke Serambi Mekkah. Saling bertahan dan menyerang menghiasi rangkaian perang yang baru mereda pada 1910 itu.

Baca juga: Upaya Belanda Mengalahkan Aceh

Advertising
Advertising

 

Di tengah persiapan perang yang semakin masif, sepucuk surat datang dari penguasa Britania Raya, Ratu Victoria (1819-1901). Dikisahkan Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad, surat itu dibuat secara pribadi oleh ratu untuk Sultan Aceh. Seorang perwira dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris yakni Kolonel Woolcombe diutus untuk menyampaikan pesan sang ratu tersebut.

“Dalam pada itu semakin menarik perhatian persoalan di sekitar kedatangan sesuatu perutusan kepada pihak Aceh di saat-saat Belanda hendak memulai penyerangannya itu,” tulis Said.

Berdasar penelitian Said, surat tersebut berisi anjuran dari Ratu Victoria agar Sultan Aceh menghentikan segala perlawanan yang menyebabkan perang besar di sekitar Malaka. Ia diminta tidak melawan dengan kekerasan dan memenuhi segala kemauan Belanda di negerinya. Dengan kata lain Aceh disarankan untuk menyerah.

Namun Woolcombe tidak bisa segera menyampaikan surat dari ratunya itu. Ia dan kapal perang Inggris “Thalia” tertahan di Kuala Aceh karena belum mendapat izin berlabuh dari Belanda yang telah mengepung perairan Aceh. Belanda tidak ingin perwakilan Inggris itu menghentikan sementara penyerbuan mereka ke Aceh. Mengingat Belanda harus menjamin keselamatan orang Inggris setelah kedua negara itu terikat perjanjian politik.

Baca juga: Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832

 

Karena tidak kunjung diberi kabar, Woolcombe berencana memberikan suratnya kepada pemerintah Belanda agar disampaikan ke Sultan Aceh. Namun melihat situasi panas keduanya, ia tidak yakin surat itu akan tiba di tangan sultan. Di lain pihak, militer Belanda tidak bisa membiarkan seorang perwira Inggris berkeliaran di Aceh. Namun keselamatan Woolcombe juga tidak bisa dijamin jika ia menemui penguasa Aceh bersama-sama perwakilan pemerintah Belanda. Berhari-hari dilanda kebuntuan di atas kapal, para wakil ratu Inggris akhirnya pulang dengan tangan kosong.

“Demikianlah, hasilnya surat Ratu Victoria tidak dapat disampaikan, dan Kolonel Woolcombe pulang percuma ke negerinya,” tulis Said.

Saling bertukar surat antara penguasa Aceh dengan Inggris itu bukan kali pertama terjadi. Dua abad yang lalu, tepatnya tanggal 6 Juni 1602, seorang perwira AL kerajaan Inggris James Lancaster dikirim oleh Ratu Elizabeth I untuk memberikan sepucuk surat kepada penguasa Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah (berkuasa hingga 1604). Diketahui, surat tersebut menjadi penanda hubungan pertama Kesultanan Aceh dengan Kerajaan Inggris.

Dalam buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Kebudayaan, diceritakan bahwa melalui surat tersebut Kerajaan Inggris yang diwakili Lancaster dan rombongannya bermaksud melakukan hubungan dagang di wilayah perairan Malaka, melalui penguasa Aceh.

“Mereka diterima di kraton Aceh dalam sebuah resepsi yang diadakan oleh Sultan Aceh untuk menyambut dan menghormati mereka secara kebesaran.”

Baca juga: Kemenangan dan Kegagalan di Aceh

 

Setelah menerima surat dan penjelasan dari Lancaster tentang maksud kedatangannya, perwakilan Sultan Aceh mempersilahkan rombongan Ratu Inggris menemui sang sultan. Mereka disambut baik. Sebelum pulang, Sultan Aceh menitipkan surat balasan untuk Ratu Inggris sebagai bukti telah diterima hubungan diplomatik kedua negeri. Terbukanya jalan ke Aceh membuat kegiatan niaga Inggris di Malaka menjadi lancar. Inggris diharapkan menjadi sekutu terbaik Aceh.

“Para penguasa Aceh tidak pernah ragu-ragu bahwa mereka membutuhkan seorang sekutu yang memiliki angkatan laut yang kuat jika mereka ingin berhasil mengusir Belanda,” tulis Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19.

TAG

aceh inggris

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Kapal Hantu Pangeran Pakuningprang Dibuang Karena Narkoba Azab Pemburu Cut Meutia Jenderal Mata Satu “Berdarah” Bugis Pekerjaan Aneh yang Diimpikan Bangsawan Kerajaan Inggris Serba-serbi Nanas yang Menggemparkan Penduduk Eropa Jenderal-Jenderal Belanda yang Kehilangan Nyawa di Aceh Makam Dua Jenderal Belanda dan Putra Iskandar Muda Silver Spoon, Privilege, dan Awal Mula Kemunculannya Jenderal dari Cibitung