Masuk Daftar
My Getplus

Pesan Damai di Hari Natal

Bagaimana Hari Natal menjadi pendorong menghentikan aksi-aksi militer Belanda di Indonesia lewat cara-cara diplomasi.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 24 Des 2019
Suasana perundingan Renville (Wikimedia Commons)

HARAPAN itu muncul tepat di malam Natal 1947. Usaha perdamaian telah membuahkan hasil. Indonesia yang sejak mengumandangkan kemerdekaan terus terjerat ambisi Belanda kembali menguasai negeri akhirnya dapat sedikit bernapas lega. Pasalnya Panitia Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices) yang dibentuk atas dasar Resolusi Dewan Keamanan menyatakan kesediaannya membantu menengahi masalah kedua negara yang tengah berselisih itu.

Lantas apa alasan Dewan Keamanan bersedia membantu menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda tersebut? Berdasarkan penuturan Frank P. Graham, wakil Amerika Serikat (AS) dalam Panitia Jasa-Jasa Baik, Dewan Keamanan ingin negara-negara di Asia Tenggara yang baru merdeka, termasuk Indonesia, menjadi negara bebas. Mereka juga meminta agar Indonesia dan Belanda segera menghentikan segala bentuk tindakan-tindakan permusuhan.

“Dewan Keamanan memutuskan memberikan jasa-jasa baiknya kepada kedua pihak untuk membantuk menyelesaikan sengketanya secara damai, sesuai dengan paragraf b dari resolusi Dewan Keamanan tanggal 1 Agustus 1947: menjelaskan sengketanya dengan arbitrasi atau dengan cara damai lainnya dan senantiasa memberitahukan kepada Dewan Keamanan tentang kemajuan dari usahanya,” tulis Alastair M. Taylor dalam Indonesian Independence and The United Nations.

Advertising
Advertising

Baca juga: Berjudi di Atas Renville

Resolusi itu diterima oleh keduanya. Sesuai kesepakatan, baik Indonesia maupun Belanda harus menunjuk satu negara sebagai perwakilan mereka di dalam Panitia Jasa-Jasa Baik. Belanda lalu memilih Belgia sebagai wakil, sementara Indonesia memilih Australia, sedang AS ditunjuk sebagai anggota ketiga. Maka terbentuklah anggota Komisi Tiga Negara (KTN), yang selanjutnya menjadi dewan penengah dalam persoalan diplomasi ini.

Namun meski menerima usulan Dewan Keamanan, Belanda menunjukkan sikap kurang kooperatif dalam setiap perundingan. Mereka secara terang-terangan meminta agar Dewan Keamanan tidak ikut campur dalam sengketa di Indonesia. Baginya soal ini adalah urusan dalam negeri, yang berarti Belanda masih mengakui Indonesia bagian dari negaranya. Belanda begitu gigih menentang berbagai upaya Dewan Keamanan.

Menurut Nugroho Notosusanto, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, dari hasil pengamatan Dewan Keamanan, Belanda masih melakukan aksi militernya ketika proses diplomasi sedang berlangsung. Mereka bahkan membuat kebijakan sepihak dengan menentukan garis batas kekuasaan mereka di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Garis Van Mook. Di belakang garis itu nantinya akan berdiri wilayah milik Belanda. Walau pada kenyataannya daerah-daerah di sana masih dikuasai Republik dan masih banyak pejuang yang melakukan perlawanan.

Tidak hanya soal wilayah, Belanda juga mempersulit berbagai upaya perundingan anggota KTN. Hingga akhirnya AS terpaksa turun tangan dengan meminjamkan kapal perangnya yang saat itu sedang merapat di Tanjung Priok. Pada 8 Desember 1947, secara resmi upaya perdamaian secara politik dimulai dimulai lagi dari Renville.

Karena Belanda senantiasa mengadakan siasat mengulur waktu, dengan pendirian yang bukan-bukan, maka baikpun dalam bidang militer, maupun perundingan politik pada akhir Desember tahun 1947, belum tercapai sesuatu kemajuan.

Baca juga: Perjanjian Diplomatik yang Dilupakan

Berkah Hari Natal

Tanpa terasa perundingan telah sampai pada usaha yang ke-49 kali, tepat pada 25 Desember 1947. Diceritakan Mohamad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah, saat itu panitia sepakat menyerukan satu pesan sebagai bagian dari perayaan Natal, yakni “Pesan Hari Natal”. Pesan perdamaian itu menjadi harapan tersendiri bagi seluruh anggota perundingan yang ingin perselisihan segera berakhir dari kedua pihak.

Pewakilan Belanda dan Indonesia diajak melihat kembali seluruh persoalan secara nyata dan lebih terbuka. Mereka diminta untuk menilai dampak dari perselisihan itu jika terus dilanjutkan. Banyak persoalan kemanusiaan yang pada akhirnya akan terabaikan dari situasi serba tegang tersebut. Hal itu juga akan merusak tujuan dari Dewan Keamanan dalam usahanya mendamaikan dunia.

“Dalam pesan itu diingatkan dengan segala tekanan akan tanggung jawab kedua pihak untuk melaksanakan resolusi-resolusi Dewan Keamanan, kepada bahaya yang terkandung dalam pengangguhan lebih lama,” tulis Roem.

Pesan Hari Natal memuat sedikitnya 12 usul untuk mencapai kesepakat politik antara Indonesia dan Belanda, di antaranya menerima garis Van Mook sebagai batas pemisah; menghentikan segala aktifitas yang berhubungan dengan pembentukan negara-negara di Jawa, Sumatera, dan Madura; menghentikan tindakan-tindakan agresif yang memicu perang, dan sebagainya.

Baca juga: Jalan Hidup Perdana Menteri Negara Indonesia Timur

Mengetahui usulan itu, Belanda kembali melayangkan penolakan yang keras. Bagi mereka Panita Jasa-Jasa Baik sudah keterlaluan karena sebenarnya mereka tidak punya wewenang apapun. Kecuali kedua pihak setuju meminta panitia membuat usulan seperti itu. Terutama usulan untuk mengentikan pendirian negara-negara di Jawa dan Sumatera. Karena bagi mereka mendirikan negara boneka adalah siasat terbaik untuk menguasai kembali Indonesia.

Ternyata tidak hanya Belanda yang kecewa dengan usulan itu, perwakilan Republik juga merasakan hal yang sama. Pihak Indonesia kecewa dengan usulan panitia karena dirasa tidak sesuai dengan keadilan dalam resolusi Dewan Keamanan. Terutama jika harus menerima genjatan senjata yang wilayahnya dibatasi oleh garis Van Mook. Bagi mereka garis itu dibuat satu pihak saja sehingga tidak adil rasanya jika menerima keputusan tersebut. Terlebih garis Van Mook memaksa Indonesia melepaskan daerah-daerah penting, yang didiami oleh kurang lebih 25 juta penduduk.

Namun pihak Indonesia sendiri menerima usulan tersebut dengan syarat dipelajari terlebih dahulu. Sementara Belanda hanya menyutujui beberapa poin saja dan mengajukan konta usul kepada panitia. Salah satunya tetap memperbolehkan pembentukan negara-negara di dalam Republik. Perundingan pun berakhir dengan disetujuinya pembentukan negara bawahan Belanda. Seperti kita tahu, pada tahun-tahun berikutnya muncul negara-negara baru, seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain.

“Dalam pandangan panitia, Pesan Hari Natal merupakan sebuah kesatuan yang terjalin dan seimbang. Mutlak bagi penyelesaian terakhir sengketa,” kata Roem.

Baca juga: Negara Pasundan

 

TAG

natal perundingan

ARTIKEL TERKAIT

Ingar-Bingar Boxing Day Cerita di Balik Lagu Jingle Bells Sinterklas Terjun hingga Tumbang di Stadion Pamflet Gelap di Malam Natal Ketika Rosihan Anwar Mendampingi Diplomat Inggris Umat Protestan dalam Cengkeraman VOC Natal Berdarah di Laut Tengah Ketika Hatta Merayakan Natal di Jerman Peran Australia dalam Perundingan Renville Disepelekan Tentara Belanda