Mataram, 1671. Sebuah persidangan di kerajaan menggemparkan rakyat dan pejabat VOC. Dua pangeran Mataram, Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Singasari, menjadi aktor utama persidangan. Kasus yang diperkarakan ketika itu adalah pembunuhan putra Pangeran Pekik, Raden Dobras, yang mayatnya ditemukan di dalam sebuah sumur.
Dalam persidangan yang menghadirkan Sunan Mataram Amangkurat I itu, Putra Mahkota menuduh adiknya sebagai pembunuh Raden Dobras. Menurut kesaksiannya, suatu malam Pangeran Singasari mengundang korban makan malam dan setelah itu tidak pernah kembali pulang. Pangeran Singasari menyangkal pernyataan kakaknya itu. Menurutnya pada malam tersebut, setelah pulang dari masjid, Pangeran Singasari menjumpai seorang pencuri masuk ke rumahnya. Tanpa mengenal siapa pencuri tersebut, Pangeran Singasari langsung membunuhnya.
Setelah mendengar penjelasan kedua pangeran Mataram, persidangan menghadirkan para abdi istana Singasari. Dikisahkan sejarawan Belanda H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram, Amangkurat I lalu bertanya kepada mereka mengenai keributan yang terjadi saat malam pembunuhan. Tetapi para abdi mengatakan jika malam itu mereka tidak mendengar ada keributan atau tanda bahaya apapun. Sebagaimana tradisi yang berlaku di Mataram kala itu, setiap ada keributan pasti ada bunyi bende sebagai tanda bahaya.
Baca juga: Hari-hari Terakhir Amangkurat I
Mendengar jawaban para abdi, Amangkurat I menyatakan jika putranya tidak bersalah. Seandainya ada keributan para abdi yang seharusnya bertugas membunyikan tanda bahaya. Karena tidak dibunyikan artinya memang tidak ada keributan malam itu. Persidangan pun ditutup. Namun tidak lama setelah itu, Amangkurat I mengeluarkan titah yang tidak masuk akal. Melalui seorang mantri terkemuka, Sunan mengeluarkan titah agar 34 abdi Pangeran Singasari dibunuh di alun-alun.
“Keputusan terakhir itu sungguh menimbulkan keheranan,” kata De Graaf. “Ternyatalah bahwa kematian 34 orang pengikut Pangeran Singasari itu bukanlah berdasarkan hukum pengadilan, tetapi merupakan pembunuhan.”
Mengenai kisah sebenarnya dalam peristiwa pembunuhan tersebut tidak pernah ada yang tahu. Bahkan di antara kedua pangeran pernyataan siapa yang bisa dipercaya juga tidak bisa ditebak. Mengingat ketika persidangan dilakukan, keduanya sedang terlibat masalah persaingan kekuasaan di sejumlah daerah milik pemerintahan Mataram. Mereka bisa saja saling menjatuhkan untuk melemahkan satu sama lain.
Namun Babad Tanah Jawi pernah menceritakan peristiwa pembunuhan tersebut. Dalam Babad Tanah Jawi: Javaanse Rijkroniek karya J.J. Meinsma, disebutkan bahwa pembunuhan terhadap Raden Dobras memang benar dilakukan Pangeran Singasari. Pemicunya adalah Raden Dobras melakukan serong dengan istri Pangeran Singasari, Raden Ayu Singasari. Tidak hanya dengan putra Pangeran Pekik, sang istri juga memiliki kekasih lain, yakni: Pangeran Adipati Anom.
Baca juga: Ketika Cemburu Membakar Amangkurat I
“Ketika putra mahkota tahu bahwa istri Singasari juga berbuat serong dengan Raden Dobras diberi tahunya adiknya perihal penyelewengan istrinya itu,” ujar De Graaf.
Setelah mendapat informasi tersebut, imbuh Meinsma, Pangeran Singasari lantas mengundang Raden Dobras. Dia lalu membawanya ke sebuah kebun di pegunungan. Di tempat itulah Raden Dobras dibunuh. Mayatnya kemudian dilemparkannya ke dalam sumur. Keesokan harinya, Pangeran Pekik meminta seseorang mencari putranya. Dia pun mendapati putranya telah menjadi mayat.
Rupanya tidak hanya cerita tutur saja yang mencatat peristiwa pembunuhan tersebut. Sebuah laporan dari pejabat pemerintahan Belanda di Mataram juga merekamnya. Menurut peneliti Belanda Francois Valentijn, seperti dikutip De Graaf, kisah perselisihan dua pangeran itu cukup terkenal di kalangan orang-orang Belanda. Meski ada sedikit perbedaan dengan kisah dari Babad Tanah Jawi, seperti nama Raden Dobras menjadi “Radin du Bras”, dan istri Pangeran Singasari dikenal dengan nama “Ratu Blitar”.
Baca juga: Jatuhnya Istana Mataram
“Konon, pada suatu malam putra mahkota bersama beberapa orang kawan, di antaranya Radin du Bras mengunjungi istri Pangeran Singasari sejak pukul 12 sampai pukul 3 dini hari, ketika Pangeran Singasari sedang bersembahyang di masjid. Ketika suami yang dikhianati itu pulang, mereka lari: tetapi Radin du Bras tidak sempat kabur, sehingga tertangkap. Karena ia tidak mau mengkhianati putra mahkota, dan tidak mau menjawab segala pertanyaan yang diajukan, ia ditikam dengan keris oleh Pangeran Singasari, dan dengan diam-diam dikuburkan di belakang rumah,” ungkap Valentijn, sebagaimana dikutip De Graaf.
Mengenai benar atau tidaknya tindakan serong Pangeran Adipati Anom dengan adik iparnya, Ratu Blitar, De Graaf mencatat jika laporan pejabat Belanda, De opkomst van het Nederlandsche gezag in Oost Indie, membenarkannya. Hubungan mereka bahkan masih terjalin hingga tahun 1679, setelah Pangeran Adipati Anom menduduki takhta bergelar Amangkurat II. Sementara Pangeran Singasari ketika itu sudah tiada.
“Sulit untuk diragukan apakah kedua pangeran itu benar-benar terlibat dalam persoalan gawat mengenai seorang wanita, Ratu Blitar. Kenyataan kuat mengenai pertengkaran ini ialah adanya Ratu Blitar itu sendiri,” tulis De Graaf.