Ketika tahun 1938 pemerintah kolonial akhirnya memberikan hak pilih perempuan pribumi untuk duduk di Dewan Kota, Emma Poeradiredja dan para perempuan aktivis lain senang. Meski hanya mendapat hak pilih pasif, mereka menyambut keputusan itu dengan suka-cita.
“Beberapa nama kaum ibu termuat dalam daftar kandidat. Hasilnya boleh menyenangkan kaum ibu, empat orang perempuan Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan Kota,” tulis Maria Ulfah dalam artikelnya “Soal Hak Pilih” yang dimuat di Majalah Istri Indonesia.
Emma menjadi satu dari empat perempuan yang terpilih itu. Terpilihnya Emma bukan tanpa dasar. Perempuan yang lahir di Cilimus, Kuningan pada 13 Agustus 1902, itu sejak sekolah aktif di Jong Java dan Jong Islaminten Bond sebagai ketua cabang Bandung.
Baca juga: Arsip Emma Poeradiredja di Arsip Nasional RI
Pasca Kongres Pemuda I tahun 1927, Emma bersama rekan-rekannya mendirikan organisasi Istri. Dia jadi satu dari sedikit perempuan yang hadir dalam Sumpah Pemuda. Pada April 1930, Emma mendirikan organisasi Pasundan Istri (PASI) dan terpilih menjadi ketua umum. Kala pertama terpilih, usianya 28 tahun. Dia terus menduduki posisi itu selama 40 tahun.
Selain di PASI, Emma aktif di Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Dia mengepalai pengiriman Utusan Wanita ke Asian Women Conference di Lahore, India pada 1930. Pada tahun itu juga, sejumlah aktivis perempuan menghelat Kongres Perikatan Perempuan Istri Indonesia (PPII) I di Surabaya, Desember 1930.
Baca juga: Penculikan Ayah Emma Poeradiredja di Awal Revolusi
Meski di kongres itu para perempuan masih sebatas mempelajari hak pilih, mereka langsung buka suara begitu aktivis perempuan Belanda tak lagi memperjuangkan hak pilih perempuan bagi semua ras. Hal itu menjadi pokok bahasan KPI –bersama desakan agar pemerintah memberi hak pilih aktif dan adanya wakil perempuan pribumi di Dewan Rakyat– dalam kongres ketiga di Bandung, Juli 1938, di mana Emma menjadi ketuanya.
Namun, pemerintah justru kembali menunjuk perempuan Belanda bernama Cornelia Razoux Schultz sebagai wakil perempuan di Dewan Rakyat pada 1939. “Hal itu jadi kekecewaan yang menyakitkan bagi gerakan nasionalis dan organisasi wanita Indonesia. Tentu saja perempuan seperti Emma Poeradiredja dan Maria Ullfah sangat memenuhi syarat untuk posisi anggota Dewan Rakyat,” tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State.
Baca juga: Emma Poeradiredja dari Pengungsian ke Pengungsian
Alhasil, tuntutan perempuan Indonesia kian lantang. Ketika pemerintah akhirnya mengabulkan tuntutan itu, Emma termasuk dari empat perempuan Indonesia yang terpilih jadi anggota Dewan Rakyat. Tiga nama lain yakni Nyonya Soenarjo Mangoenpoespito, ketua Isteri Indonesia, terpilih duduk di Dewan Kota Semarang; Nyonya Soedirman, istri anggota dewan Parindra, duduk di Dewan Kota Surabaya; dan Sri Oemiati, adik terkecil Dr. Soetomo, terpilih untuk mengisi kursi kosong Parindra di Cirebon pada 1941.
Terpilihnya empat nama itu menjadi buah dari perjuangan panjang perempuan. Sejak lama, tulis Maria Ulfah, para perempuan mendesak rekannya, kaum lelaki yang memiliki hak pilih, untuk mendukung keinginan mereka mendapatkan hak pilih.