ANNIE Senduk, kepala perawat di asrama kedokteran Jalan Kramat Raya 72, bingung. Keributan mendadak terjadi di asrama setelah seorang mahasiswa kedokteran datang tergopoh-gopoh. Kedatangan mahasiswa itu memicu pertanyaan dari para perawat penghuni asrama.
Annie langsung menghampiri mereka. Dia menanyakan apa yang sedang terjadi.
“Markas besar terancam. Opsir Jepang di Jakarta sudah tahu kalau di sana ada dokumen-dokumen penting tentang perjuangan bawah tanah. Mereka juga tahu kalau kita menyimpan persediaan dan obat-obatan di sana,” kata mahasiswa kedokteran tadi.
Jawaban itu membuat Annie langsung mencari cara untuk segera menyalamatkan barang-barang di Hotel du Pavilyon, Harmoni, tempat yang dijadikan markas perjuangan mahasiswa kedokteran dan gerakan bawah tanah. Selain barang-barang logistik seperti obat-obatan dan makanan, dokumen-dokumen penting juga disimpan di sana.
Mereka langsung berbagi tugas. Anggota yang bisa menyetir tetap tinggal di asrama, rekan-rekan lain langsung bergegas ke Harmoni untuk mempersiapkan barang-barang yang akan diselamatkan. Annie dan asistenya, Sietje, bersepeda ke Rumah Sakit Cikini untuk mencari pinjaman mobil.
Annie berhasil mendapatkannya. Dibantu Suwardjono Suryaningrat, Mahar Mardjono, Hussein Odon, Alex Kaligis, Yusuf dan mahasiswa kedokteran lain yang menjadi sopir “tembak”, operasi penyelamatan pun sukses.
Itu bukan pertama kali Annie terlibat dalam perjuangan. Ketika Belanda hengkang oleh Jepang, Annie bersama rekan-rekannya dibantu rakyat menyerbu gudang persediaan obat dan makanan Belanda di samping Kolam Renang Cikini (kini gedung SMP Negeri 1). “Rakyat berbondong-bondong membongkar gudang mencari rezeki ‘nomplok’,” kata Annie dalam memoarnya yang dimuat dalam Sumbangsihku bagi Pertiwi jilid I.
Mereka saling berbagi hasil jarahan dari gudang Belanda itu. Rakyat amat bahagia mendapat makanan kaleng yang saat itu masih sangat langka dan mewah bagi pribumi.
Baca juga: Anggota DPR pernah berencana mengubah lambang PMI menjadi Bulan Sabit Merah
Ketertarikan Annie pada perjuangan kemerdekaan bermula ketika belajar di Rumah Sakit Cikini, 1938. Di asrama, Annie melihat beragam ketimpangan sosial. Orang-orang Belanda hidup mewah dan mandapat semua kebutuhan hidup, mulai roti, susu, hingga keju. Sementara, orang-orang bumiputra kelaparan dan serba kekurangan di pinggir-pinggir jalan.
Kemarahan Annie pada realitas sosial yang tak adil itu makin membara begitu dia mengenal dokter senior yang aktif dalam pergerakan kemerdekaan, seperti dokter Suharto –kelak menjadi dokter pribadi Presiden Sukarno– dan dokter Mohtar. “Dari rumahsakit inilah cita-cita kemerdekaan dan pengabdian pada kemanusiaanku berawal,” kata Annie.
Pascakemerdekaan, menyusul hengkangnya suster-suster Belanda, banyak rumahsakit di Jakarta kekurangan staf perawat. Hal itu, sebagaimana ditulis Dien Madjid, Mona Lohanda dkk. dalam Perjuangan dan Pengabdian: Mosaik Kenangan Prof. Dr. Satrio, disiasati Annie dan Suster Pelamonia dengan mendirikan sekolah perawat.
Baca juga: Ini cerita dari negeri studi banding yang ingin mengubah logo PMI
Sekolah perawat pertama karya anak bangsa itu berjalan dengan bantuan Nona Murray, perawat asal Amerika yang berpengalaman dalam pendidikan keperawatan. Bersama dia, Annie mendidik murid-murid lulusan SMP dan Sekolah Kepandaian Putri di sekitar Rumah Sakit Cikini untuk menjadi perawat.
Selain mendirikan sekolah perawat, Annie ikut mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI), satu bulan setelah kemerdekaan. Dia menjadi satu-satunya perempuan penandatangan pendirian PMI dan satu-satunya perempuan di jajaran pimpinan yang berisi dokter Mochtar, dokter Bahder Djohan, Mr. Maramis, Mr. Palengkahu, dan dokter Satrio.
Baca juga: Anggota PMI mempertaruhkan jiwanya demi menyelamatkan banyak nyawa