Masuk Daftar
My Getplus

Perang Dingin Soeharto-Ali Sadikin

Konflik senyap terjadi antara pejabat tinggi di awal-awal Orde Baru berkuasa. Popularitas Gubernur DKI Jakarta dianggap ancaman oleh Presiden Soeharto.

Oleh: Martin Sitompul | 25 Mei 2021
Ilustrasi (Betaria Sarulina/Historia)

Pada akhir kepemimpinan sebagai gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin mencapai puncak popularitasnya. Keberhasilan Bang Ali (panggilan akrab Ali Sadikin) membangun Jakarta membuatnya dielu-elukan publik, terutama di kalangan generasi muda. Namanya pun disebut-sebut sebagai pesaing kuat Presiden Soeharto dalam Pemilihan Umum 1977.

Rumor pencalonan Bang Ali bertiup kencang menjelang pemilu. Sekelompok mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI) menjagokan Ali Sadikin maju sebagai presiden. Kabar itu makin santer terdengar pada hari-hari terakhir Bang Ali menjabat gubernur Jakarta.

“Deklarasi Bang Ali kalau tidak salah diramaikan di TIM Cikini. Kami masih ingat, beberapa aktivis UI membuat kaus oblong dengan sketsa wajah Ali Sadikin, plus tulisan artistik ‘Bang Ali is the Best’,” kata Rudy Badil dalam Main-main Jadi Bukan Main.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI

Pencalonan Bang Ali saat itu melahirkan semboyan yang lantas popular: “Why not the best? (Mengapa bukan yang terbaik?)”

Gubernur Terbaik

Meskipun pada awalnya tidak menjanjikan, menurut Susan Blackburn, Ali Sadikin dengan cepat menyesuaikan diri sebagai gubernur hingga pertengahan 1977. Masa jabatannya jauh lebih lama dari semua pejabat sebelumnya. Dia segera diakui sebagai gubernur terbaik yang pernah memerintah Jakarta. Memang tidak dimungkiri, sebagian kesuksesannya dibantu oleh pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama Orde Baru. Namun, gaya dan kepribadian Ali Sadikin juga memberi kontribusi terhadap pencapaiannya.

“Soeharto pasti jenuh karena selalu dibandingkan dan jenuh dengan semua spekulasi bahwa Sadikin mungkin mengikuti jejak Soeharto menjadi presiden – atau bahkan malah menggantikannya,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.

Baca juga: 

Soeharto Menganggapnya Musuh Terselubung

Selama masa jabatannya, Ali Sadikin menghilangkan sedikit demi sedikit pengaruh oknum militer di Jakarta. Mereka tidak lagi mengontrol wilayah-wilayah tertentu di pusat kota sebagaimana pernah marak pada akhir 1960-an. Ketika itu, mereka acap kali mengganggu lalu lintas, naik bus tanpa bayar, dan nongkrong di pojokan jalan sambil menenteng senjata. Semuanya ditertibkan ketika Bang Ali membenahi keamanan kota Jakarta.

Namun, ketegasan Ali Sadikin juga menempatkannya pada posisi yang berseberangan dengan pemerintah pusat. Dalam mempertahankan kebijakannya, Ali Sadikin sering berkonflik dengan menteri-menteri. Bang Ali mengakui bahwa dirinya merupakan satu-satunya gubernur yang berani mengkritik pemerintah pusat.

“Soeharto sendiri dua-tiga kali saya kritik. Masalahnya bukan prestasi, tetapi keyakinan,” kata Bang Ali dalam koran Malaysia, Dewan Masyarakat, 15 Februari 1981.

Menuju Pencekalan

Keyakinan Ali Sadikin untuk berbeda haluan dengan penguasa seperti dikisahkannya dalam memoar Bang Ali: Demi Jakarta 1966—1977 yang disusun Ramadhan K.H. Pada 1975, publik sudah ramai membicarakan soal pemilihan umum yang diselenggarakan tahun 1977. Pergumulan batin dialami Bang Ali karena diperintahkan untuk mengerahkan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebagai mesin politik pendukung Golongan Karya (Golkar).    

“Pegawai negeri mesti masuk Korpri dan Korpri ditetapkan berorientasi politik Golkar. Hati nurani saya tidak mengizinkan untuk mutlak-mutlak harus memenangkan Golkar,” ungkap Bang Ali.

Baca juga: 

Soeharto: Mau Ganti Presiden? Jangan Ngotot

Menurut Ali Sadikin, komitmen pemerintah mulai melenceng dari tekad dan janji Orde Baru menjelang pemilihan umum 1971. Janji-janji tentang keadaan yang jauh lebih baik di bidang politik, sosial, dan ekonomi terasa memudar. Indikasi penyimpangan kekuasaan itulah yang menyebabkan Ali Sadikin mengambil jarak dari pemerintah.

Ketika pemilihan umum 1977 berlangsung, Golkar keluar sebagai pemenang. Presiden Soeharto terpilih kembali sebagai presiden untuk periode kedua. Tapi, perolehan suara Golkar justru kalah di Jakarta. Golkar berada pada posisi kedua, di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) jadi juru kunci.

“Dengan kejadian ini, Golkar atau beberapa tokoh Golkar tidak senang kepada saya. Apa boleh buat, biarlah mereka begitu,” kenang Bang Ali.

Baca juga: 

Ketika Bang Ali Mau Gebuk Pak Domo

Sikap Ali Sadikin yang sukar “disetir” ini dipastikan bikin Soeharto tidak nyaman. Bersitegangnya Soeharto dengan Ali Sadikin dibenarkan Djohan Efendi penulis pidato Soeharto. Dalam biografi Djohan Effendi Sang Pelintas Batas karya Ahmad Gaus AF, tersua bahwa hubungan antara Ali Sadikin dan Presiden Soeharto tidak terlalu baik, karena Ali Sadikin sering membantah Soeharto.

Ketika masa jabatan Gubernur Ali Sadikin selesai pada 1977, dia digantikan oleh Letnan Jenderal Tjokropranolo. Perwira Angkatan Darat yang akrab disapa Bang Nolly ini merupakan asisten pribadi Soeharto merangkap sekretaris untuk bidang militer. Menurut Robert Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Militer¸ Tjokropranolo lebih dapat diatur dan bukan figur yang dapat mengancam ketokohan Soeharto. Setelahnya, Ali Sadikin tidak pernah diberi jabatan lagi dalam pemerintahan.

Setelah pensiun, Ali Sadikin gerah juga menyaksikan kebobrokan rezim Soeharto dalam menjalankan kekuasaan negara. Pada 1980, Ali Sadikin tergabung dalam kelompok Petisi 50 yang lantang menyuarakan kritik terhadap pemerintah Orde Baru. Pemerintah kemudian menghukumnya secara perdata lewat tindakan cegah dan tangkal (cekal). Selama 13 tahun, Ali Sadikin masuk daftar hitam pemerintah, dikucilkan secara sosial, dan dipersulit kegiatan usahanya.

Baca juga: 

Ketika Bang Ali Dihalang-halangi

“Naik haji juga tidak boleh,” ujar Bang Ali dalam majalah Sentana, September 1994.  

 

 

TAG

ali sadikin soeharto orde baru

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Ledakan di Selatan Jakarta Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI Dianggap PKI, Marsudi Dibui Dulu Rice Estate Kini Food Estate Dari Petrus ke Kedung Ombo Soeharto Nomor Tiga, Mendagri Murka pada Lembaga Survei Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup Soeharto, Yasser Arafat, dan Dukungan untuk Palestina