PRESIDEN Joko Widodo menyampaikan pidato secara virtual dalam Sidang Umum PBB pada Rabu, 24 September 2020. Ada yang menilai pidato itu baik sehingga Jokowi layak jadi Sekretaris Jenderal PBB. Warganet pun menanggapinya sehingga "Sekjen PBB" jadi trending topic.
Saat ini, sejak 1 Januari 2017 jabatan Sekjen PBB dipegang oleh Antonio Guterres dari Portugal. Dia adalah Sekjen PBB kesembilan. Sekjen PBB sebelumnya antara lain Trygve Lie (Norwegia), Dag Hammarskjöld (Swedia), U Thant (Myanmar), Kurt Waldheim (Austria), Javier Pérez de Cuéllar (Peru), Boutros Boutros-Ghali (Mesir), Kofi Annan (Ghana), dan Ban Ki-moon (Korea Selatan).
U Thant adalah Sekjen PBB pertama dari Asia dan Asia Tenggara. Dia menggantikan Dag Hammarskjöld yang meninggal dalam kecelakaan pesawat di Zambia pada 18 September 1961.
Negara-negara berkembang menuntut pengganti Hammarskjöld tidak dari Eropa dan Amerika. U Thant dinominasikan. Prancis menentang karena U Thant telah mengetuai komite kemerdekaan Aljazair. Arab juga menolak karena Myanmar mendukung Israel. Akhirnya, diputuskan U Thant hanya diangkat selama sisa masa jabatan Hammarskjöld sampai 30 November 1962.
Baca juga: Sukarno Tantang PBB
Setelah habis masa jabatannya sebagai acting (pejabat sementara) Sekjen PBB, pada 30 November 1962 U Thant terpilih sebagai Sekjen PBB untuk masa jabatan hingga 31 Desember 1971.
Saat menjabat, U Thant bersama diplomat Amerika Serikat, Ellsworth Bunker, berhasil memfasilitasi penyelesaian sengketa Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Perjanjian New York (New York Agreement) ditandatangani pada 15 Agustus 1962.
Sesuai amanat Perjanjian New York, Otoritas Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963. Upacara penyerahan berlangsung di Kota Baru, Papua Barat. Pemerintah Indonesia diwakili Sudjarwo Tjondronegoro, sedangkan U Than mengirimkan utusannya, C.V. Nawasimhan.
Pemerintah Indonesia harus melaksanakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Barat. Pada 22 Agustus 1968, U Thant mengutus wakilnya, Dr. Fernando Ortiz Sans ke Irian Barat untuk mempersiapkan dan mengatur Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hasil Pepera diumumkan pada 2 Agustus 1969 yang menetapkan Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Pada 19 November 1969 Majelis Umum PBB melakukan pemungutan suara yang hasilnya mendukung hasil Pepera.
Baca juga: Ali Alatas Calon Kuat Sekjen PBB
Setelah habis masa jabatannya, U Thant meminta Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik untuk mencalonkan diri menjadi Sekjen PBB. Namun, Adam Malik menolak. Akhirnya, yang terpilih sebagai Sekjen PBB adalah Kurt Waldheim dari Austria.
"Sesudah U Thant habis tugasnya jadi Sekjen PBB, kepada Bung Adam-lah beliau minta untuk menggantikannya, tapi Bung Adam menolak, sebab tugasnya di Indonesia masih berat," tulis Solichin Salam dalam Adam Malik dalam Kenangan.
Namun, Adam Malik terpilih sebagai Ketua Umum PBB ke-26 untuk masa jabatan 1971–1972. Dia menjadi orang Asia kedua yang memimpin sidang lembaga tertinggi dunia itu.
Dalam buku 50 Th. Indonesia Merdeka terbitan Kementerian Penerangan disebutkan bahwa tampilnya Indonesia sebagai Ketua Sidang Umum PBB memang hanya soal waktu. Prakarsa mengadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung (1955), keikutsertaan dalam melahirkan Gerakan Non Blok (1961), serta keterlibatan dalam berbagai usaha penyelesaian masalah internasional membuka kesempatan untuk mengisi kursi itu.
Baca juga: Benarkah Adam Malik Agen CIA?
Baca juga: Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno
Ketika Adam Malik tampil sebagai Ketua Sidang Umum PBB situasi dunia sudah berubah. Bahkan, ada beberapa negara yang melihat PBB tidak relevan lagi, karena banyak sengketa antarnegara bisa diselesaikan di luar arena PBB. Ditambah lagi kontradiksi sikap PBB. Di satu pihak, PBB menyerukan pembatasan senjata nuklir, tetapi di pihak lain sejumlah anggotanya melakukan penjualan senjata kepada negara-negara yang terlibat konflik bersenjata. Pembajakan, terorisme, sindikat internasional sedang melanda dunia. Pertentangan negara-negara Selatan yang miskin dan negara-negara Utara yang kaya belum terjembatani.
"Si Kancil, Adam Malik, harus mencoba memainkan peranan dari ruang kerjanya di lantai paling atas Gedung PBB di Manhattan, New York. Pada periode kepemimpinannya dicanangkan ‘The Second United Nation Development Decade’ atau dasawarsa pembangunan PBB kedua, dan pada masa itu pula RRC (Republik Rakyat China, red.) diterima sebagai anggota yang kemudian menggantikan China Taipei (Taiwan, red.) sebagai anggota Dewan Keamanan PBB," demikian disebut dalam buku 50 Th. Indonesia Merdeka.
Baca juga: The Whistleblower yang Membuka Borok PBB
Menurut Marbangun Hardjowirogo dalam Suka Duka Bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa, masalah penting yang dihadapi PBB waktu itu ialah mengenai masuknya RRC sebagai anggota di tengah-tengah pertentangan pendapat yang begitu ramai. Di sini, Adam Malik membuktikan kemampuannya sebagai diplomat. Dia bisa mempertemukan berbagai pendapat yang bertentangan dan menghasilkan konsensus yang memungkinkan RRC masuk menjadi anggota PBB dan mengeluarkan Taiwan yang hingga saat terakhir dibela mati-matian keanggotaannya oleh Amerika Serikat.
"Semboyan Adam Malik ialah bahwa segala sesuatu bisa diatur atau everything can be arranged," kata Marbangun. "Sesuatu yang sudah dikenal benar oleh masyarakat diplomatik dunia sebagai trademark, corak watak khas Adam Malik."
Baca juga: Di Balik Pidato Bung Karno di PBB
Namun, menurut Adam Malik dalam memoarnya, Mengabdi Republik Volume 1, RRC diterima menjadi anggota PBB berkat kebijaksanaan Amerika Serikat, bekas musuh bebuyutan RRC.
"Selama 22 tahun, dengan sabar RRC menanti kesempatan untuk masuk menjadi anggota PBB yang selama itu dipegang oleh Taiwan. [Akhirnya] di tahun 1971, RRC masuk sebagai anggota PBB, mengganti kedudukan Taiwan, dan sekaligus mengambil oper hak veto Taiwan," kata Adam Malik.
Semenjak RRC menjadi anggota PBB, Adam Malik menambahkan, PBB juga menerima anggota-anggota baru. Ini mencerminkan tanggapan positif terhadap ajakan untuk menjadikan keanggotaan PBB universal; terbuka bagi setiap negara tanpa dibatasi oleh perbedaan ideologi, sistem sosial, dan warna kulit.*