Masuk Daftar
My Getplus

Penghubung CIA dan Badan Intelijen Indonesia

Kepala stasiun CIA pertama yang diberitahukan secara resmi kepada pihak Indonesia. Memberikan bantuan dana, peralatan, dan pelatihan kepada intelijen Indonesia.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 19 Jan 2021
Clarence Edward Barbier (1922–1976), mantan kepala stasiun CIA di Indonesia. (Betaria Sarulina/Historia.id).

Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP Gestapu) didirikan sehari setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Front aksi sipil ini dibentuk oleh Angkatan Darat untuk menghadapi PKI. Ketuanya Subchan Z.E. dari Nahdlatul Ulama, Sekretaris Jenderal Harry Tjan Silalahi dari Partai Katolik, dan pemimpin pelaksana Jusuf Wanandi.

Para pemimpin KAP Gestapu kadang-kadang bertemu dengan diplomat-diplomat muda bagian politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bertanya mengenai perkembangan politik yang sedang terjadi.

“Salah satunya yang kemudian menjadi akrab dengan saya adalah Ed Barbier yang tinggal tidak jauh dari rumah saya di Jalan Lombok,” kata Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965–1998.

Advertising
Advertising

Sejarawan John Roosa menyebut bahwa Kedutaan Besar Amerika Serikat mentransfer sejumlah besar uang untuk front sipil ciptaan Angkatan Darat yang disebut KAP Gestapu. Aksi-aksi organisasi ini, seperti dicatat Duta Besar Marshall Green, sepenuhnya sejalan dengan dan dikoordinasi oleh Angkatan Darat.

“Untuk membantu KAP Gestapu mengadakan demonstrasi-demonstrasi dan melaksanakan tindakan-tindakan represif yang ditujukan terhadap PKI, dalam awal Desember 1965 Green memerintahkan pemberian dana sebesar 50 juta rupiah kepada wakil KAP Gestapu, Adam Malik,” tulis Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.

Baca juga: Dana CIA untuk Demo

Marshall Green menjabat duta besar sejak Juni 1965. Dia menggantikan Howard Jones yang dekat dengan Presiden Sukarno. Green ditolak oleh PKI karena dianggap sebagai orang yang berada di belakang kudeta yang dilakukan Park Chung Hee di Korea Selatan. “Mereka menuduh Green datang dengan tugas yang sama di Indonesia untuk mengenyahkan Sukarno,” kata Jusuf.

Awalnya, Green berhati-hati menunjukkan pemihakannya kepada Soeharto karena Sukarno masih kuat. Baru setelah Soeharto menjadi penjabat presiden pada Maret 1967, Green bertindak untuk memenuhi permintaan Soeharto.

Menurut Jusuf pengaruh Green yang menonjol membuatnya menjadi bahan selorohan: siapa yang berkuasa di Indonesia? Jawabannya empat hijau: hijau tentara, hijau Islam, hijau Marshall Green, dan hijau mahasiswa baru yang disebut greenhorn di Amerika Serikat.

Green menjabat duta besar sampai tahun 1969. Dia digantikan oleh Francis J. Galbraith. Tim bagian politiknya yang dipimpin oleh Lewis “Skipper” Purnell antara lain Ann Swift, Bob Pringle, dan Ed Barbier.

“Mereka sangat aktif selama masa kampanye dan Pemilu 1971,” kata Jusuf. “Saya menjadi teman dekat tim bagian politik ini dan mereka percaya pada pandangan saya mengenai politik Indonesia.”

Baca juga: Kegagalan Kepala Stasiun CIA di Jakarta

Sebaliknya, Jusuf belajar mengenai Amerika Serikat dan kebijakan luar negerinya dari tim diplomat muda Amerika Serikat itu. “Hubungan kami semakin erat ketika kami mendirikan CSIS karena dialog yang teratur terselenggara antara kami sebagai think thank dan Kedutaan Besar Amerika Serikat,” kata Jusuf, salah satu pendiri CSIS (Centre for Strategic and International Studies).

Jusuf menyebut yang terpandai dari tim politik itu adalah Ann Swift yang kelak disandera di Iran. Dia meninggal setelah terjatuh dari kuda yang ditungganginya. Selain Ann Swift, dia juga berteman dengan Barbier yang kemudian pindah ke Departemen Keuangan setelah kembali ke Washington D.C. dan diplomat lainnya adalah Bob Pringle, ahli tentang Filipina.

Ternyata, Barbier bukan sekadar anggota tim politik melainkan kepala stasiun CIA di Indonesia.

Kepala Stasiun CIA

Clarence Edward Barbier lahir pada 12 Januari 1922 di Southington, Connecticut. Dia adalah putra dari John Joseph dan Lucy Lucretia Barbier. Setelah lulus Lewis High School, dia masuk Branford College, kemudian mengambil jurusan sejarah Eropa di Yale University.

Barbier seorang mahasiswa yang aktif dan pintar. Pada tahun pertama, dia mendapatkan Sterling Memorial Scholarship, memenangkan hadiah pertama Galpin Latin Prize, dan menjadi mahasiswa peringkat kedua. Dia kemudian mendapatkan Pine Scholarship dan Roberts Scholarship untuk dua tahun berikutnya.

Barbier bergabung dengan organisasi Yale Political Union, Alpha Sigma Phi, dan Phi Beta Kappa. Dia menyalurkan bakat bermain musik dengan menjadi anggota Yale Band dan Yale Symphony Orchestra. Dia juga berolahraga dengan bergabung dalam Freshman Football Squad, University 150-pound Football Squad, dan Branford Football Team. Bahkan, dia bekerja di Dwight Hall, organisasi layanan publik dan aksi sosial yang dikelola mahasiswa dan didukung oleh Yale University.

“Dia berharap bisa masuk Divisi Intelijen Militer Angkatan Darat setelah lulus,” demikian tercatat dalam data profil Barbier di Yale University tahun 1943.

Baca juga: Penculikan Kepala Stasiun CIA

Namun, menurut Ken Conboy, ahli sejarah militer dan intelijen, Barbier adalah ahli bahasa Jepang dalam intelijen Angkatan Laut Amerika Serikat semasa Perang Dunia II dan bergabung bersam Marinir Amerika Serikat di kancah Pasifik. Dia kemudian dipindahkan ke CIA sejak awal berdirinya, serta bertugas mengawasi hubungan komunikasi dengan dinas intelijen Vietnam Selatan pada akhir tahun 50-an, tapi terluka terkena rentetan tembakan di bahu ketika terjadi upaya kudeta oleh pasukan penerjun yang tidak puas, pada tahun 1960.

“Pada Juli 1966, Barbier tiba di Jakarta dan segera memulai tugasnya sebagai kepala stasiun,” tulis Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.

Barbier ditempatkan di Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan jabatan “Asisten Khusus Duta Besar”. “Eufimisme diplomatik ini biasanya dikhususkan bagi kepala stasiun CIA yang secara terbuka menyatakan hal ini kepada negara penerima. Ini menunjukkan adanya hubungan diplomatik yang baik yang sebelumnya belum pernah terjalin antara Jakarta dan Washington,” tulis Conboy.

Dua kepala stasiun CIA sebelumnya tidak diberitahukan secara resmi kepada pemerintah Sukarno dan hanya terdaftar sebagai “Sekretaris Pertama/Politik”, suatu jabatan untuk menyamarkan kepala perwakilan CIA di antara para diplomat resmi.

“Barbier mendapati bahwa Indonesia adalah lahan subur bagi sumber-sumber intelijen,” tulis Conboy.

Baca juga: Direktur CIA Terburuk Berkunjung ke Indonesia

Sebagai Kepala Stasiun CIA, Barbier membina hubungan baik dengan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara, kini Badan Intelijen Negara). Bakin membentuk suatu Kelompok Penghubung (Liaison Group) yang bertugas mengkoordinasikan hubungan dengan mitra kerjanya dari luar negeri. Pada awal-awal tahun keberadaannya, paling tidak, hanya ada satu mitra kerja yang bisa diperhitungkan: CIA.

“Yang ditunjuk untuk mengawasi hubungan baik [CIA] dengan Bakin adalah Kepala Stasiun CIA, Clarence Ed Barbier,” tulis Conboy.

Conboy menyebut keuntungan Bakin bekerja sama dengan CIA adalah mendapatkan bantuan pelatihan dan dana. Sedangkan bagi CIA, hubungan baik dengan Bakin untuk menjaga agar komunisme tidak menjalar ke wilayah Asia Tenggara lainnya. CIA juga memungkinkan melakukan perekrutan baik sepihak maupun gabungan dengan Bakin guna mendapatkan agen-agen penyusup. Tujuannya untuk mencari tahu dan menganalisi sistem persenjataan negara-negara komunis yang canggih.

Clarence Edward Barbier (1922–1976), mantan kepala stasiun CIA di Indonesia. (findagrave.com).

CIA dan Satsus Intel

Pada awal 1968, Kolonel Nicklany mengusulkan kepada tokoh Den Pintel Pom (Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi Militer) perlunya unit baru yang bertugas khusus menangani kontraintelijen asing, yaitu menangkap mata-mata asing yang beroperasi di Indonesia.

Nicklany dan Mayor Nuril Rachman, komandan Den Pintel Pom, kemudian menyusun suatu rencana operasi yang melibatkan 60 orang dari Polisi Militer. “Unit ini akan membutuhkan banyak biaya. Kita akan membutuhkan banyak peralatan,” kata Nuril.

“Jangan khawatir, kalian akan mendapatkannya,” kata Nicklany.

“Tak lama kemudian, sesudah kemunculan Ed Barbier dari CIA di Markas Besar Polisi Militer, tampaklah jelas mengapa Nicklany memiliki keyakinan yang begitu besar,” kata Conboy.

Baca juga: Intel Indonesia Dilatih CIA

Unit baru itu bernama Satuan Khusus Intelijen atau Satsus Intel yang diresmikan pada 16 November 1968. Unit ini bertanggung jawab kepada Asisten Operasi Polisi Militer dan setelah tahun 1969 kepada Nicklany sebagai Deputi II Bakin yang bertugas atas pengumpulan dan analisis data intelijen.

Barbier menyediakan bantuan keuangan rahasia untuk gaji 60 personel, kendaraan untuk pengamatan, biaya sewa rumah aman (safe house), tape recorder mutakhir merek Sony TC-800, dan peralatan penyadap telepon QTC-11.

Selain bantuan dana untuk operasi, kata Conboy, CIA juga memberi bantuan dalam bentuk pelatihan. Pada September 1969, CIA mengirimkan instruktur kawakannya, Richard Fortin, untuk memberikan pelatihan teknik pengintaian dasar selama dua minggu. Materinya mencakup keahlian membuntuti kendaraan, penyamaran, dan menangani para agen. Selain dari CIA, Satsus Intel juga mendapat pelatihan dari agen intelijen Inggris (MI6) dan Israel (Mossad).

Baca juga: Intel Indonesia Dilatih Intel Israel

Jusuf menyebut setelah bertugas di Indonesia, Barbier kembali ke Washington D.C. dan bekerja di Departemen Keuangan.

Barbier kemudian kembali bertugas sebagai kepala stasiun CIA di Jenewa, Swiss. Dia meninggal di sana sebagaimana disebut Henry E. Catto, Jr., perwakilan Amerika Serikat untuk Kantor Eropa PBB di Jenewa (1976–1977).

“Kami mengalami pukulan telak pada [21] September [1976] dengan kematian Ed Barbier akibat serangan jantung, kepala CIA di Jenewa,” kata Catto dalam Ambassadors at Sea: The High and Low Adventures of a Diplomat.

Catto mengenang, Barbier dan istrinya, Marietta, dengan cepat menjadi teman baik dan teman mendaki. Mereka tertegun baik secara profesional maupun pribadi atas kepergiannya.

“Seorang pemain terompet yang hebat,” kata Catto, “dia diberi persembahan jazz pada upacara pemakamannya di gereja Episkopal yang indah oleh kelompok tempatnya bermain.”

Barbier, mantan kepala stasiun CIA di Jakarta dan Jenewa, dimakamkan di Arlington National Cemetery, Virginia, Amerika Serikat.

TAG

cia amerika serikat

ARTIKEL TERKAIT

M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Sukarno, Jones, dan Green Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua Gempa Merusak Keraton Bupati dan Masjid Agung Cianjur Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung Gempa Besar bagi Bupati Cianjur Gempa Bumi Mengguncang Cianjur Duka Kuba di Laut Karibia CIA, Tan Malaka, dan Kampret Agen CIA dalam Operasi Habrink