ADA yang beda dari penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional (SSN) tahun ini. Para pegiat kesejarahan diberi penghargaan Sartono Kartodirdjo Award. Mereka mewakili empat kategori: buku sejarah, disertasi dari universitas dalam negeri, guru sejarah, dan komunitas sejarah.
Ide penganugerahan award ini sebetulnya sudah dicetuskan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid tahun 2017. Namun mepetnya waktu membuat ide itu baru bisa dilaksanakan tahun ini.
“Kami punya tiga nama yang memungkinkan untuk dijadikan award. Pertama, Husein Djajadiningrat, namun dipikir-pikir beliau lebih terkenal sebagai filolog. Kemudian Mohammad Ali, dan Sartono Kartodirdjo,” kata Sri Margana, Ketua Penyelenggara SSN 2018, Selasa (4/11). Namun para penggagas akhirnya memilih nama Sartono mengingat sumbangsih dan karya-karyanya paling banyak dan berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Para juri yang terlibat dalam pemberian penghargaan berasal dari Direktorat Sejarah, Masyarakat Sejarawan Indonesia, dan Perkumpulan Prodi Sejarah Indonesia, dan perwakilan beberapa universitas seperti UGM, UI, Undip, UIN Syarif Hidayatullah, dan UNJ.
Untuk mengantisipasi award tersebut tidak dilanjutkan tahun depan karena tahun politik, panitia berusaha membuatnya sebaik mungkin agar menjadi agenda regular. Namun karena baru pertama digelar, kategori buku sejarah dan disertasi dari universitas dalam negeri belum bisa diberi penghargaan lantaran peserta kurang banyak.
Kategori guru sejarah terbaik dimenangkan Abdul Somad, guru sejarah SMAN 1 Ciruas, Serang. Dia mengalahkan sekira 70 nama calon yang diajukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran dari masing-masing kabupaten/kota. “Abdul Somad terpilih karena dia sangat aktif juga punya banyak karya tulis,” kata Margana.
Abdul aktif menulis dan menjadi narasumber tentang pengajaran sejarah di sekolah. Karya-karyanya seperti “Gerakan Pan Islamisme di Indonesia” dimuat Jurnal Candrasangkala, dan “Menggali Minat Belajar Seajrah” dimuat di Radar Banten.
Bagi Abdul, pengajaran sejarah di sekolah harus kontekstual dengan kehidupan siswa. Dalam pembelajaran, buku teks hanya digunakan sebagai sumber. Siswa diajak untuk aktif mencari narasi sejarahnya lebih jauh. “Siswa diajak untuk berdialog tentang satu peristiwa sejarah bersama teman sekelasnya, menelusuri sejarah lokal, dan mengadakan lawatan sejarah dibarengi reportase kecil dan pembuatan laporan dengan vlog, bukan paper,” kata Abdul. Dengan begitu, sambungnya, sejarah bisa lebih dinikmati dan dipelajari.
Sementara, kategori Komunitas Sejarah dimenangkan Komunitas Jelajah Budaya (KJB). Komunitas yang berdiri pada 2003 itu berhasil mengalahkan sekira 30 komunitas lain yang masuk dalam daftar juri. KJB yang kini memiliki 7500-an anggota dengan 40-an anggota aktif, tiap bulan mengadakan penelusuran sejarah atau sesekali pelatihan eksklavasi. “Ketika acara televisi menampilkan acara jalan-jalan ke museum dengan tema horor, kami berusaha meng-counter-nya dengan mengadakan jelajah malam. Museum tak melulu seram,” kata Kartum Setiawan mewakili komunitasnya di SSN.
“Jelajah budaya mendapat Sartono Kartodirdjo Award karena keberagaman tema, keaktifan, pengakuan dari masyarakat, serta luasnya jaringan dan merangkul semua kalangan,” tutup Margana.