DESA De Punt, Glimmen, Belanda, 11 Juni 1975 pukul 05 pagi. Keheningan suasana desa disobek suara enam pesawat F-104 Starfighter AU Belanda yang terbang rendah di atas sebuah keretapi. Para personil Bijzondere Bijstands Eenheid/BBE Marinir Belanda di dekat kereta itu langsung menyerbu kereta. Mereka berupaya membebaskan penduduk sipil yang disandera sekelompok pemuda pejuang Republik Maluku Selatan (RMS) di dalam kereta tadi.
Pembajakan kereta dan penyanderaan itu jadi imbas tak langsung dari Pengakuan Kedaulatan di pengujung 1949 dan penguasaan Kepulauan Maluku oleh Tentara Nasional Indonesia setahun berikutnya. Banyak mantan personil KNIL yang jadi pejuang dan simpatisan kemerdekaan RMS lalu memilih tinggal Belanda. Selain adanya ikatan emosional kuat antara mereka dengan Belanda, jaminan bantuan pemerintah Belanda untuk mewujudkan RMS menjadi alasan kuat mengapa mereka memilih tinggal di Belanda.
Namun alih-alih mendapatkan apa yang mereka impikan, dari hari ke hari mereka justru mendapat perlakuan sebaliknya. Tempat penampungan mereka tak layak, hanya kamp-kamp berkondisi buruk. Yang lebih penting, tak terlihat upaya sungguh-sungguh pemerintah Belanda dalam menepati janji mewujudkan RMS. Mereka pun marah.
Berbeda dari generasi pertama yang datang langsung dari tanah leluhur, generasi kedua eksil Maluku itu lebih militan. Ketidakterimaan mereka terhadap ingkar janjinya pemerintah Belanda membuat mereka melakukan tindakan-tindakan radikal, seperti penyerangan terhadap Wisma Indonesia (31 Agustus 1970) dan pendudukan kantor konsulat jenderal Indonesia di Amsterdam (4 Desember 1975).
“Dalam aksi-aksi tersebut Ir Manusama, sebagai presiden RMS, turun ke lapangan sebagai perantara untuk menyelesaikan tindakan kekerasan pemuda-pemuda Maluku,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Vol. 1.
Baca juga: Pramugari Hadapi Pembajakan
Akibat tindakan-tindakan radikal itu, banyak pelaku ditahan. Beberapa di antaranya bahkan tewas oleh timah panas aparat keamanan Belanda.
Max Papilaya, salah seorang pemuda simpatisan RMS, langsung menggalang teman-temannya. Keputusan yang mereka ambil: membajak keretapi plus menyandera penumpangnya dan menduduki sekolah sekaligus menyandera orang-orang di dalamnya. “Selain seruan perhatian untuk kemerdekaan Maluku, mereka juga menuntut pembebasan rekan-rekan mereka yang telah berjuang dan dipenjara karena insiden Beilen,” kata Stephen Sloan dan Sean K Anderson dalam buku Historical Dictionary of Terrorism.
Mereka bergerak pada 23 Mei 1977. Kelompok pertama, terdiri dari sembilan pemuda, menyasar keretapi di De Punt. Setelah menghentikan kereta yang sedang berjalan itu, mereka mengibarkan bendera RMS. Lebih dari 50 penumpang kereta kemudian mereka tawan. George Flapper, salah satu sandera itu.
“Saya berusia 29 tahun ketika saya duduk di kereta itu. Selama disandera, saya berbicara dengan pempimpin mereka, Max Papilaya,” ujarnya sebagaimana ditulis Frans Schalkwijk dalam The Consience and Self-Consicous Emotions in Adolescence: An Integrative Approach.
Baca juga: CIA dalam Pembajakan Pesawat Garuda Woyla
Hampir bersamaan dengan peristiwa yang terjadi di keretapi, para pemuda di kelompok lain yang berada tak jauh dari jalur kereta tadi menduduki sekolah dasar di Desa Bovensmilde. Setelah membebaskan 15 murid Maluku, mereka menyandera lebih dari 100 murid dan empat guru, lalu menempatkan mereka dalam dua ruangan yang semua jendelanya ditutupi koran.
Keesokan harinya, para penyandera membacakan tuntutan lewat siaran NOS. Tiga hal yang mereka tuntut, yakni: penepatan janji pemerintah Belanda sehubungan dengan upaya mewujudkan RMS, memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia, dan pembebasan 21 pemuda Maluku yang ditahan akibat penyanderaan tahun 1975. Apabila sampai tanggal 25 Mei tuntutan itu tak dipenuhi pemerintah, mereka mengancam akan meledakkan kereta dan sekolah yang mereka duduki.
Para penyandera memerintahkan para sandera menutup jendela kereta. Untuk memuluskan tuntutan, mereka meminta dua negosiator. Pembicaraan selama berjam-jam berlangsung di antara mereka sampai hari telah memasuki pada 4 Juni. Pada 5 Juni, mereka membebaskan dua ibu hamil –salah satunya Annie Brouwer (kemudian menjadi walikota Utrecht)– di kereta. Para pembajak kembali membebaskan seorang penumpang yang sakit tiga hari kemudian.
Tidak konsistennya para pembajak soal tenggat waktu membuat Perdana Menteri Joop Den Uyl makin gencar mengedepankan dialog kendati tak ingin gegabah. Sekira 2000 marinir kerajaan dan sejumlah polisi ditempatkan untuk mengawasi kereta maupun sekolah yang dikuasai pembajak. “Kesabaran adalah semboyan, tapi kami siap untuk menggunakan kekerasan jika diperlukan,” ujarnya sebagaimana dilansir news.bbc.co.uk/onthisday.
Baca juga: Teroris Membajak Pesawat Garuda
Tenggat yang ditentukan telah berakhir. Alih-alih mewujudkan ancamannya, para pembajak justru meminta tuntutan baru: disediakan sebuah pesawat untuk membawa mereka keluar Belanda bersama 21 teman mereka yang ditahan.
Atas saran Menteri Kehakiman Van Agt, pemerintah Belanda tetap tak mengindahkan tuntutan itu. Namun, sudah lebih dari dua minggu waktu berjalan dari saat pertama para pembajak beraksi. Para sandera sudah lelah. PM Uyl akhirnya mengambil sikap, mengerahkan marinir dan polisi untuk membebaskan para sandera.
Pada 11 Juni, operasi pembebasan dimulai pada pukul 05 pagi dengan ditandai oleh penerbangan beberapa jet tempur AU Belanda. Personil-personil marinir yang ditempatkan dekat kereta langsung menyerbu. Tak butuh banyak waktu bagi para marinir itu untuk melumpuhkan para pembajak, baik yang di kereta maupun di sekolah.
“Enam pemuda Maluku bersenjata dan dua sandera tewas dalam serangan dadakan ke keretaapi pada subuh itu,” tulis koran The Citizen, 22 September 1977.
Pengadilan menghukum para pembajak dengan hukuman bervariasi. Tujuh di antaranya mendapatkan hukuman penjara enam dan sembilan tahun. “Pria Maluku kedelapan dihukum penjara 12 bulan karena menyuplai senjata dan amunisi kepada teman-temannya,” lanjut The Citizen.