Masuk Daftar
My Getplus

Pekik Merdeka Gaya Soeharto

Salam nasional di masa awal Orde Baru menyisipkan slogan amanat penderitaan rakyat. Perlahan memudar setelah pemilu 1971 dan kemudian dilupakan.

Oleh: Martin Sitompul | 01 Mar 2021
Presiden Soeharto memberi salam ketika berkunjung ke Belanda pada 3 September 1970. (Wikimedia Commons).

Pesawat Hercules mendarat di Bandar Udara Mandai, Makassar. Dengan mengenakan stelan safari dan peci di kepala, Letnan Jenderal Soeharto turun dari kabin. Bagi sang jenderal, Makassar bukanlah tempat yang asing. Dia pernah bertugas di sana sewaktu memimpin Komando Operasi Mandala Pembebasan Irian Barat. Namun, kedatangannya kali ini dalam kapasitasnya yang baru sebagai pejabat presiden.

“Pejabat Presiden Soeharto tampaknya membuat kejutan ketika ia tampil tidak saja mengenakan busana sipil, tetapi juga berlaku seperti orang sipil,” kata Herawati Diah dalam Indonesian Observer, 3 November 1967

Kunjungan Soeharto ke Makassar pada 24 Oktober 1967 itu bertujuan untuk memberikan briefing kepada DPRD sekaligus pidato di hadapan massa. Dalam lawatan tersebut, Soeharto menampilkan kesan yang unik dan berbeda. Soal penyambutan, Soeharto terbilang lebih gampang diatur ketimbang pendahulunya, Sukarno. 

Advertising
Advertising

“Di masa-masa yang dulu, kami harus selalu pastikan terdapat banyak perempuan dan gadis-gadis cantik di baris-baris terdepan,” ungkap seorang pejabat sebagaimana dikutip Herawati.

Baca juga: Ketika Poligami Jadi Soal Negara

Di hadapan massa, Soeharto hanya berpidato secara singkat. Namun kepada pejabat setempat, Soeharto menyampaikan pesan khusus. Soeharto mengatakan supaya rakyat memperbaharui kembali salam nasional “merdeka” yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagaimana lazimnya salam nasional zaman revolusi, pekik “merdeka” dibalas dengan seruan “ tetap merdeka”. Soeharto menginginkan tsalam nasional itu dimodifikasi.  

“Ia katakan agar masyarakat tidak menjawab kembali dengan “merdeka”, tetapi dengan perkataan Ampera – Amanat Penderitaan Rakyat,” tulis Herawati. Permintaan Soeharto disambut dengan hangat oleh ribuan rakyat Makassar. Sejak hari itu, berkumandanglah salam nasional yang baru, pekik “Merdeka” disambut seruan “Ampera”  

Slogan Ampera sendiri mula-mula sering dipakai oleh Sukarno sebagai dasar perjuangan dalam memimpin negara. Pada masa peralihan kekuasaan, Soeharto kemudian menggunakan kata Ampera sebagai nama kabinet yang dibentuknya saat menjadi pejabat presiden. Ketika Soeharto berkunjung ke Makassar, Kabinet Ampera II yang dipimpinnya baru saja terbentuk sepuluh hari, tepatnya 10 Oktober 1967.

Baca juga: Asal-usul Istilah Orde Baru

Wacana Soeharto untuk memperbaharui salam nasional boleh jadi punya muatan ganda. Sejak diperkenalkan, pekik merdeka yang disambut dengan kata "ampera" itu kemudian menjadi jargon di mana-mana.  Menurut Soeharto, "merdeka" dan "ampera" tidak bisa dipisahkan, seperti yang dia katakan saat berpidato di Aceh.

“Kita akan dapat mencapai "ampera" bila mana kita "merdeka". Kemerdekaan ini adalah sebagai jembatan emas untuk mencapai daripada Ampera dan marilah kita pertahankan kemerdekaan dan untuk bekerja keras dengan Ampera,” ujar Soeharto dalam risalah bertajuk Presiden Soeharto Ditengah2 Rakjat Atjeh, tanggal 30 Agust. 1968 s/d 1 Sept. 1968.

Dalam lawatan yang sama di Sumatra Utara, Gubernur Marah Halim mendahului Soeharto memberikan sambutan. Marah Halim pun membukanya sambutannya dengan salam “merdeka” kemudian massa menjawabnya "ampera". Begitu pula sebaliknya.

Baca juga: Bom Pekik Merdeka Sukarno

“Ada juga rakyat yang kesasar menjawabnya dengan "ampera" yang seharusnya dijawab "merdeka". Ini menimbulkan tertawa yang riuh, maka diulang lagi-diulang lagi,” tulis majalah Selecta, 1968.

Mimbar Penerangan, Vol. 21, 1970 mencatat bahwa Soeharto lah yang mempopulerkan salam nasional ala Orde Baru itu. Sebaliknya, seruan “ampera” dijawab “merdeka” dan rakyat ikut memberikan salam itu. Kebiasaan tersebut hanya berlangsung untuk beberapa saat lamanya.

Salam Ampera yang populer di masa awal Orde Baru itu kemudian memudar seiring waktu. Setelah Soeharto memenangkan pemilihan umum 1971, slogan itu tidak lagi banyak berkumandang. Kendati demikian, Soeharto dalam berbagai pidatonya masih menyisipkan slogan “amanat penderitaan rakyat” sebagai akar dari pembangunan nasional.  Pada 1980-an, salam Ampera mungkin sudah dilupakan orang namun citra Soeharto semakin kuat dengan predikat baru yang lebih mentereng: Bapak Pembangunan Nasional.

TAG

soeharto orde baru

ARTIKEL TERKAIT

TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang Nisan dan Tengkorak dalam Peringatan Reformasi Tuah Guru Soeharto