Masuk Daftar
My Getplus

Para Raja Baru dan Juru Selamat

Kemunculan raja dan keraton baru mengingatkan pada gerakan Ratu Adil dan ketidakpuasan pada pemerintah.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 28 Feb 2020
Ilustrasi: pertunjukkan ketoprak di Temanggung, Jawa Tengah. (Irawan Taruno/Shutterstock).

Kurang dari dua bulan, empat kerajaan baru beserta rajanya bermunculan dengan membawa sejarah dan cita-cita masing-masing. Hal ini mengingatkan pada fenomena gerakan milenarisme atau penantian akan datangnya juru selamat kala Indonesia di bawah kolonialisme.

Ciri gerakan milenaristis, kata Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, adalah adanya harapan masyarakat akan tokoh yang memberikan keadilan dan kesejahteraan. Ini yang disebut sebagai tokoh juru selamat atau ratu adil. Di bawah kepemimpinan tokoh penyelamat ini, diyakini nantinya akan lahir negara yang sempurna dan rukun.

“Ini cirinya. Ingat tentang Sunda Empire? Mereka juga punya harapan itu. Tapi apakah ini juga gerakan milenaristis? Kita lihat nanti,” kata Agus dalam diskusi bertema “Raja-raja Nusantara dalam Pusaran Ketoprak dan Pemahaman Sejarah” di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Jakarta, Selasa (25/2).

Advertising
Advertising

Dalam gerakan milenarisme, semua anggota masyarakat dijanjikan akan mempunyai status sederajat. “Semua dijanjikan dikasih duit satu miliar atau lebih, tiga miliar?” ujar Agus.

Adanya kepatuhan mutlak kepada pemimpin juga tampak dalam gerakan ini. Anggotanya siap sedia membela kepercayaan mereka.

Baca juga: Empat Kerajaan Buatan tanpa Pengakuan

Milenaristis, kata Agus, biasanya terjadi beriringan dengan gerakan keagamaan, yang kurang lebih hampir sama dengan milenarisme. Mereka berorientasi kepada leluhur. Jadi, biasanya mereka menyebutkan ada ramalan dari para leluhur tentang suatu zaman yang adil dan sejahtera.

“Bersifat magico-mysticim, adanya narasi kekuatan gaib dan kekuatan supernatural yang turut berperan,” kata Agus.

Cirinya, akan muncul tokoh yang dianggap keramat, sakti atau telah mendapat wahyu setelah bertapa atau meditasi. Pada masa lalu, kehebatan tokoh ini biasanya diwujudkan dengan kisah-kisah kesaktiannya.

“Kalau masa kini bentuknya simpanan dana yang tak ada habisnya di Swiss, lalu orang kagum,” ujar Agus.

Contoh dalam sejarah misalnya, Trunojoyo yang melawan pemerintahan Amangkurat I. Lalu Diponegoro melawan kolonialis Belanda. Yang kedua ini kemudian bergelar Herucakra, seperti gelar Ratu Adil yang ada dalam Serat Jayabaya dari abad ke-19.

Sebagaimana dijelaskan sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, dalam Serat Jayabaya, Ratu Adil bergelar Tanjung Putih atau Herucakra, pendiri zaman emas baru yang akan membebaskan masyarakat Jawa dari zaman kaliyuga atau zaman sulit.

Serat Jayabaya merupakan sejarah ramalan Jawa yang membagi sejarah dalam empat yuga atau zaman. Dimulai dari pemerintahan Raja Jayabaya di Kediri abad ke-11 yang merupakan zaman keemasan, disusul oleh zaman yang makin memburuk, sampai pada zaman dekadensi. Yang terburuk adalah yang terakhir, kaliyuga,” tulis Ong Hok Ham.

Baca juga: Kaiin Meregang Nyawa di Tangerang

Wahyu yang diterima tokoh semacam itu, seringkali mendasari legitimasi kekuasaan seorang raja Jawa. Konsep ini lebih dominan daripada konsep legitimasi berdasarkan syarat lainnya. Seperti misalnya keturunan.

“Konsep wahyu, di satu pihak, menjelaskan kekuasaan mutlak raja dan menganggap perlawanan terhadap dia sebagai perlawanan terhadap Tuhan,” tulis Ong Hok Ham.

Sementara wahyu dapat berpindah setiap waktu dan datang pada siapapun juga. Kekuasaan raja menurut konsep ini adalah reinkarnatif. Teori-teori reinkarnatif wahyu kerajaan semacam inilah yang dipakai oleh berbagai gerakan milenarisme atau Ratu Adil.

Muncul Akibat Tekanan

Ketika Serat Jayabaya terbit pada abad ke-19, dari tahun 1830 hingga masa pergerakan nasional hampir tak ada tahun yang lewat tanpa gerakan Ratu Adil di Jawa. Banyak pemimpin gerakan menyebut diri sebagai penerima wakyu kerajaan.

Menurut Ong Hok Ham, ini mungkin berhubungan dengan hilangnya kekuasaan politis raja-raja Jawa ke tangan Belanda. Penguasa kolonial pun membebani rakyat dengan pajak yang tinggi dan kerja paksa. Hingga timbul harapan-harapan agar ada pembebasan. Hal ini menjadikan harapan lahirnya dinasti baru oleh Ratu Adil di masyarakat.

Gerakan ini, tak menutup kemungkinan, yang memimpin adalah tokoh-tokoh setempat. Bahkan ada yang dipimpin oleh seorang petani. Tidak pula mencapai skala luas sehingga mudah ditindak.

Baca juga: Doktrin Pemberontakan Petani Banten 1888

Seperti yang terjadi di wilayah budaya Sunda, gerakan Raksapraja pada 1842, gerakan Bapa Kantang pada 1853, perkumpulan Mutayam pada 1863. Semua gerakan ini didasarkan atas harapan milenarisme. “Mereka percaya akan tampil lagi kerajaan Sunda yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan untuk rakyat,” kata Agus.

Gerakan paling fenomenal dan ditakuti Belanda, yaitu Gerakan Nyi Aciah (1870-1871). Ia dianggap sebagai perempuan suci dari Sumedang. Masyarakat percaya Nyi Aciah punya kesaktian, termasuk dapat menyembuhkan macam-macam penyakit. Bahkan berkembang ramalan akan datang zaman yang aman sejahtera. Disebut pula soal kemunculan keraton di Keling dan Banjar.

“Nyi Aciah akan menjadi ratu di Keraton Tegalluwar. Dia dipercaya sebagai jelmaan Dewi Siti Johar Manikam, putri Syeh Jumadilkubro,” jelas Agus. “Ini tokoh yang dikeramatkan.”

Pendukung Nyi Aciah makin banyak. Pada Mei 1871 gerakan ini makin meluas ke Malangbong, Garut. Mereka mengadakan arak-arakan dan ziarah ke tempat-tempat keramat. Pemerintah kolonial Belanda menangkap tokoh-tokohnya. Gerakan ini padam.

“Sama dengan Keraton Agung Segajat, kan arak-arakan juga, ditangkap polisi, runtuh sudah,” kata Agus.  

Baca juga: Ratu Adil dari Istanbul

Di Jawa Tengah hampir sama. Ada gerakan Jumadilkubro di selatan Pekalongan dan di kawasan utara Banyumas. Pemimpinnya Ahmad Ngisa. Gerakan ini mulai bergerak dari 1870-1871.

Konon, ada wangsit dari Syeh Jumadilkubro dari Wanabadra. Bunyinya, ketika orang-orang asing (Belanda) diusir keluar, akan muncul tiga penguasa dari Majapahit, Pajajaran, dan Kalisalak (Pekalongan). Gerakan ini sempat meluas di Pekalongan dan Batang. Pemerintah Belanda menangkapi pengikutnya. Gerakan ini juga bubar.

“Di sini ramalan-ramalan selalu mengiringi dan cerita-cerita kehebatan selalu ada,” kata Agus.

Di Jawa Timur, tercatat gerakan Jasmani dari Desa Sengkrong di Blitar. Jasmani berguru kepada Amat Mukiar orang yang dianggap sakti dan keramat. Pada 1887, Amat Mukiar meramalkan, bahwa akan muncul Kerajaan Sultan Adil di wilayah Birowo, Lodoyo, dan Blitar. Muridnya, Jasmani akan dinobatkan sebagai Ratu Adil Igama.

“Amat Mukiar meminta agar rakyat memerangi orang Eropa dan Cina, seluruh pejabat pribumi dianjurkan membantu gerakan ini,” kata Agus.

Jasmani menyebarluaskan gagasan itu di Blitar. Ia juga menyiapkan pemberontakan terhadap Belanda. “Namun belum juga melaksanakan pemberontakan, Belanda sudah tahu. Mereka ditangkap dan bubar. Sama kasusnya,” lanjut Agus.

Saluran Ketidakpuasan

Kasus-kasus pada abad ke-19 itu memperlihatkan akar dari gerakan milenaristis, yaitu tekanan, kesewenangan, di tengah era kolonialisme Belanda. Masyarakat banyak yang mengharapkan kelahiran kembali kerajaan-kerajaan besar di masa lalu untuk mengusir Belanda.  

Lalu, apakah keraton dan raja baru masa kini, seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, King of the King, dan belakangan Kerajaan Mulawarman, adalah wujud gerakan milenarisme juga? Menurut Agus, bukan. Apa yang terjadi lebih kepada upaya revitalisasi tendensius.

“Mereka mendaku punya keterkaitan dengan kemegahan masa silam. Mencari dan menghidupkan kegiatan seni budaya yang telah lama tak ditampilkan. Ini adalah upaya revitalistik,” kata Agus.  

Baca juga: Mengaku Sosok Istimewa untuk Memikat Para Petani

Tendensinya apa? Menurut Agus untuk menghadirkan kebanggaan karena menjadi terpandang di kalangan masyarakat. Bisa juga untuk mengumpulkan dana masyarakat yang kecenderungannya penipuan.

“Positifnya untuk meneruskan tradisi keraton yang telah lama hilang dan menjadi acara dalam kalender kegiatan pariwisata,” lanjutnya.

Sayangnya, kata Agus, dalam rangka menghidupkan tradisi keraton yang hilang, pencetus raja dan keraton baru ini membuat cerita karangan. Ini adalah upaya legitimasi untuk mencari simpati dan dukungan masyarakat.

“Mencari simpati dan dukungan masyarakat dengan bilang masih punya darah biru dan layak untuk melanjutkan tradisi raja-raja. Mengaku mempunyai dana simpanan di luar negeri yang tak terhingga,” katanya.

Baca juga: Villa Isola, dari Vila Mewah hingga Sunda Empire

Agus pun menyimpulkan munculnya keraton dan raja baru adalah gejala masa kini. Kemunculan mereka bukan gerakan milenarisme karena masyarakat tidak dalam tekanan.

“Kalau dulu kan ditekan imperialisme,” kata Agus. “Munculnya raja-raja dan keraton baru ini adalah gejala zaman sekarang, zaman gabut dan galau. Dengan pakai simbol masa lalu berbau milenarime.”

Dari sudut pandang Ong Hok Ham, gerakan milenarisme muncul tak spesifik karena di bawah tekanan imperialisme. Menurutnya jelas sekali dalam Serat Jayabaya itu adalah persoalan hilangnya kekayaan dari masyarakat. Zaman edan dilukiskan sebagai zaman di mana emas hilang dari desa-desa, bahkan dari negara, untuk dikirim ke luar negeri.

Bagaimanapun, kata Ong Hok Ham, gerakan Ratu Adil dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat atau pribadi tertentu. Munculnya gerakan ini adalah saluran baru bagi masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasan mereka kepada pemerintah.

TAG

kerajaan

ARTIKEL TERKAIT

Perlawanan Kerajaan Siau terhadap Belanda Kala Sumedang Larang di Bawah Kuasa Mataram Gelar Khalifatullah untuk Raja Yogya Mengaku Sosok Istimewa untuk Memikat Para Petani Menilik Sejarah Purworejo yang Diklaim sebagai Pusat Keraton Agung Sejagat Empat Kerajaan Buatan tanpa Pengakuan Ibukota Sriwijaya Menurut I-Tsing. Pemimpin Ideal ala Sunda Hak dan Kewajiban Raja sebagai Titisan Dewa Raja Sebagai Penjelmaan Dewa