SABTU, 3 Maret 1973. Sejarah mencatat Presiden Soeharto meresmikan tambang tembaga milik Freeport Sulphur, (sebuah perusahaan tambang terkemuka asal Amerika Serikat) sekaligus meresmikan berdirinya kota Tembagapura. Saat memberikan pidato sambutan, Soeharto begitu sumringah.
“Perusahaan ini adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia; dan lebih istimewa lagi dalam modal yang sangat besar. Tuan-tuan datang ke Indonesia dalam keadaan kami yang masih sulit pada tahun 1966,” ujarnya.
Bagi Soeharto, gelontoran uang yang diinvestasikan Freeport ke bumi Papua merupakan bentuk kepercayaan kepada Indonesia untuk membangun masa depan. Kepercayaan itu juga telah mendorong penanam-penanam modal asing lain untuk datang ke Indonesia. Selain itu, Soeharto juga menyatakan kepercayaannya bahwa kegiatan pertambangan akan membantu memajukan masyarakat lokal disitu.
Baca juga: Freeport, perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan Orde Baru
“Karena itu, saya sangat gembira dapat meresmikan pembukaan tambang ini. Saya ucapkan selamat kepada Freeport Indonesia, kepada pimpinannya dan kepada seluruh karyawannya,” kata Soeharto yang lantas menutup pidatonya dengan ucapan terimakasih.
Petaka Rakyat Papua
Pegunungan Erstberg tak hanya menyimpan tembaga. Salah satu gunung bernama Grasberg juga mengandung cadangan emas yang melimpah. Grasberg disebut-sebut sebagai tambang emas terbesar di dunia. Lewat kontrak karya berdasarkan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang diizinkan pemerintah Soeharto, Freeport memiliki hak istimewa untuk merambahnya.
Kehadiran Freeport langsung mengancam penduduk asli dari suku Amungme yang berdiam di dataran tinggi sekitar proyek tambang. Suku Amungme sangat terikat dengan tanah leluhur. Bagi mereka, Gunung Grasberg dianggap suci. Puncak Grasberg dikiaskan sebagai kepala ibu. Orang Amungme sangat menghormati kawasan keramat itu.
Baca juga: Melacak jejak silam Freeport mengeksploitasi perut bumi Papua
Ketika beroperasi, aktivitas penambangan Freeport telah mengubah bentang alam Gunung Grasberg menjadi lubang raksasa sedalam 700 meter. Danau Wanagon sebagai danau suci orang Amungme ikut hancur karena dijadikan pembuangan batuan limbah yang sangat asam dan beracun. Freeport juga mencemari tiga badan sungai utama di wilayah Mimika: Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa. Ketiga sungai dijadikan tempat pembuangan limbah sisa produksi yang disebut tailing.
“Lebih dari 200.000 ton tailing dibuang setiap harinya ke Sungai Aghwagon, yang kemudian mengalir ke Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa,” ungkap Harsutejo dalam Kamus Kejahatan Orba. Sungai-sungai di sekitar Tembagapura, sebagaimana disaksikan Harsutedjo tampak berwarna coklat tua pekat bagaikan adonan jenang gosong.
Tak hanya invasi modal asing. Suku Amungme dan suku-suku lainnya juga terjepit oleh migrasi pendatang dari luar Papua. Sekira sejuta hektare lahan mukim suku Amungme berpindah tangan ke tangan para pendatang. Inilah imbas dari program transmigrasi yang digalakkan pemerintah Orde Baru.
Baca juga: CIA menggulingkan Sukarno demi emas di Papua yang jatuh ke tangan Freeport
Menurut antropolog Austria Christian Warta, ideologi Soeharto tentang “pemindahan penduduk” tersebut didasarkan pada asumsi tentang keunggulan pendatang baru. Soeharto melihat para pendatang membawa modernitas ke daerah-daerah terpencil Papua. Di sisi lain, rakyat Papua dipandang sebagai masyarakat tertinggal yang harus dijadikan berbudaya dan beradab.
“Akibatnya, banyak masyarakat Papua merasa terpinggirkan oleh meningkatnya jumlah pendatang tersebut,” tulis Warta dalam “Perkembangan Masalah Agama di Papua: Sengketa Antaragama dan Pencegahan Konflik” termuat di kumpulan tulisan Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru suntingan Martin Ramsted. “Ketakutan menjadi minoritas di tanah sendiri ini lah yang secara wajar memicu nasionalisme Papua.”
Harga yang Dibayar
Keberadaan Freeport memantik konflik dengan masyarakat setempat. Bagi orang Amungme, Freeport seperti pencuri yang menjarah kediaman orang lain tanpa izin. Freeport sendiri sempat menjanjikan kompensasi fasilitas sosial kepada suku Amungme berupa sekolah, pasar, hingga perumahan. Namun kesepakatan tak pernah terjadi karena salah urus dari pemerintah daerah.
Pada 1977, protes suku Amungme dan enam suku lainnya memuncak jadi perlawanan terbuka. Mereka memotong pipa penyalur bijih tembaga, membakar gudang, dan melepaskan kran tangki persediaan bahan bakar milik Freeport. Insiden ini terdengar sampai Jakarta. Soeharto kemudian menerapkan kebijakan keras lewat pendekatan keamanan. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) pun diturunkan.
“Kebun dan rumah-rumah dihancurkan, sejumlah orang dibantai. Pemerintah mengumumkan jumlah orang yang meninggal di Tembagapura sebanyak 900 orang. Para saksi lapangan memperkirakan dua kali lipatnya,” tulis Harsutejo. Sebagian besar warga Amungme ditangkap dan dinterogasi tentara. Yang melarikan diri memilih tinggal di hutan sekitar Lembah Tsinga selama tiga tahun. Mereka dipandang sebagai pengacau macam Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Baca juga: Buka kantor di Oxford Inggris, OPM merasa dianeksasi sejak menjelang Pepera
Represi lanjutan dilakukan dengan menetapkan Irian Jaya sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama dua puluh tahun (1978-1998). Pemerintah juga memindahkan warga Amungme ke dataran rendah untuk dijadikan petani. Karena lingkungan yang tak cocok, sebanyak 20 persen anak-anak Amungme meninggal karena malaria. Bisnis Freeport jalan terus.
Menurut penelitian Amiruddin Al Rahab dan Aderito Jesus de Soares dalam Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan dan Militer, selama 14 tahun pertama beroperasi Freeport meraup keuntungan sebesar 14,9 milyar dolar AS. Sedangkan penerimaan negara dari pajak dan royalti berjumlah 5,4 milyar dolar AS.
Bagaimana dengan aliran dana di jalur yang lain? Sejak 1980, Presiden Soeharto menerima upeti setiap tahunnya sebesar 5 sampai 7 juta dolar AS tiap tahun. Selain itu, menurut Prospek 13 Juli 1998 sebagaimana dikutip Amiruddin dan Aderito, Freeport telah menyerahkan uang kepada Yayasan Dana Sejahtera yang didirikan oleh Soeharto sebesar 20,3 juta dolar AS berdasarkan Kepres No. 92/1996.
Baca juga: Perbedaan Sukarno dan Soeharto dalam memperlakukan Papua
Pada 1996, sekira 2000 personel dari kesatuan Kopassus dan Kostrad dikerahkan langsung di bawah perintah Presiden Soeharto demi menjaga Freeport. Untuk itu, Freeport memberikan lagi dana kepada Soeharto sebesar 40 juta dolar AS. Freeport mau melakukan itu agar situasi di Papua stabil dan mereka dapat mengeduk emas lebih banyak lagi demi target mendapatkan superprofit. Sebaliknya, bagi pemerintah, Freeport adalah pendulang uang yang harus diamankan dari apapun.
“Jika orang Papua mengganggu atau menuntut Freeport, aparat akan melakukan tindakan,” tulis Amiruddin dan Aderito.
Pundi-pundi devisa negara bertambah lewat tangan pengeruk Freeport. Ini menjadi penghasilan terbesar dari Papua untuk Indonesia. Akan tetapi, yang diuntungkan dari kerja sama ini hanyalah penguasa Orde Baru, segelintir elite Papua, dan sang pemilik modal. Soeharto -yang berjuluk Bapak Pembangunan Nasional- telah mengingkari harapannya untuk membangun masyarakat lokal di Papua.