Selamat berabad-abad, bangsa Yahudi mencari “Tanah yang Dijanjikan”, sebuah wilayah yang akan mereka jadikan tanah air mereka.
Mordecai Manuel Noah memulai langkah ini dengan membeli sebidang tanah di Grand Island di Sungai Niagara dekat Buffalo, New York, Amerika Serikat, pada 1825. Menurut Seymour “Sy” Brody dalam biografi singkat Mordecai Manuel Noah (1785-1851), di tanah itu Noah membayangkan sebuah koloni Yahudi yang dia disebut Ararat –bukan pegunungan Ararat di Turki tempat peristirahatan Noah’s Ark (Bahtera Nabi Nuh).
Di tempat itu pula dia mendirikan monumen dengan tulisan: “Ararat, sebuah Kota Perlindungan untuk orang Yahudi, didirikan oleh Mordecai M. Noah pada Bulan Tishri, 5586 (September 1825) dan pada Limapuluh Tahun Kemerdekaan Amerika”.
Belakangan dia menyadari bahwa Palestina adalah satu-satunya jawaban. Dalam bukunya, Discourse on the Restoration of the Jews, Noah menulis bahwa keyakinan orang Yahudi adalah membangun kembali tanah air kunonya. Noah meminta Amerika Serikat memimpin usaha ini.
Baca juga: Simbol Yahudi Tertua Ditemukan
Meski gagal, proyek Noah menarik minat dan diskusi. Pada 1895, Theodor Herzl, wartawan Neue Freie Presse, Wina, mendirikan gerakan Zionisme, istilah untuk gerakan Yahudi internasional yang kali pertama dipakai oleh perintis kebudayaan Yahudi, Malthias Acher. Herzl memandang perlunya dukungan dari negara-negara lain untuk menyediakan tanah bagi orang-orang Yahudi. Pada 1898, dia pergi ke Istanbul, Turki, untuk bertemu dengan Kaisar Wilhelm II dari Jerman dan Sultan Kekaisaran Ottoman. Upaya itu tak membuahkan hasil. Dia kemudian berpaling ke Britania Raya (Inggris).
Herzl menggelar Kongres Yahudi Sedunia pertama di Basel, Swiss, pada 29-31 Agustus 1897. Hadir 196 orang Yahudi dari berbagai belahan dunia. Kongres ini menyepakati agar seluruh Yahudi-Diaspora –istilah bagi orang-orang Yahudi yang masih terserak di seluruh dunia– secepatnya pindah ke Promise Land atau yang menurut mereka Kota Suci Jerusalem. Seruan Kongres tak mendapat tanggapan antusias. Banyak keluarga Yahudi yang sudah mapan di Eropa dan Amerika enggan pindah.
Baca juga: Nestapa Yahudi Afrika demi Tanah yang Dijanjikan
Menurut Joseph Telushkin dalam Jewish Literacy, pada 1903, Herzl mendapat tawaran dari Menteri Jajahan Inggris Joseph Chamberlain untuk menempati Uganda, 5.000 mil persegi (13.000 km2) dari Kenya. Tawaran ini diberikan karena progroms (tindakan kekerasan dan pembantaian) terhadap Yahudi di Rusia oleh Kishinev. Uganda diharapkan dapat menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang Yahudi.
Tawaran ini dibawa ke Kongres Internasional Organisasi Zionis Dunia ke-6 di Basel, Swiss, 26 Agustus 1903. Terjadi perdebatan sengit. Tanah Afrika itu digambarkan sebagai “pintu masuk ke Tanah Suci” dan “Nachtasyl” (penampungan sementara untuk bermalam). Namun kelompok lain merasa bahwa menerima tawaran tersebut akan mempersulit pendirian negara Yahudi di Palestina. Bangsa Yahudi juga tak akan bisa mengklaim dirinya sebagai penduduk asli tanah itu, karena tak ada hubungan sejarah atau kebudayaan antara Ibrani dan Afrika Timur.
Kongres memutuskan untuk mengirim ekspedisi (komisi penyelidikan) untuk memeriksa wilayah Uganda. Hasilnya: iklim Uganda hangat, cocok untuk permukiman. Namun para pemeriksa menemukan areal berbahaya yang dihuni binatang buas, seperti Raja Hutan, yang bisa mengancam keselamatan orang-orang Yahudi. Kongres Internasional Organisasi Zionis Dunia ke-7 tahun 1905 memutuskan menolak tawaran Inggris itu.
Baca juga: DNA Yahudi pada Orang Indonesia
Dalam “The Uganda Proposal”, seperti dimuat jewishvirtuallibrary.org, Herzl menjelaskan bahwa program ini tak akan mempengaruhi tujuan akhir Zionisme: sebuah entitas Yahudi di Tanah Israel (Palestina). Tapi proposal ini menuai badai di Kongres dan hampir menyebabkan perpecahan di dalam gerakan Zionis.
Organisasi Zionis Internasional tetap pada pendiriannya untuk menjadikan Palestina sebagai negara. Kalangan Yahudi konsevatif ini mendasarkan pada argumen teologis bahwa di Kota Tua Jerusalem terdapat tempat suci agama Yahudi: Temple Mount dan Tembok Barat.
Trias Kuncahyono dalam Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan menulis, Temple Mount, kompleks seluas 15 hektar, merupakan simbol yang sangat berarti bagi agama Yahudi. Agama mereka meyakini bahwa penebusan dan penyelamatan akan terjadi di tempat itu ketika Mesias datang. Kompleks itu juga sangat penting bagi bangsa Palestian dan umat Muslim seluruh dunia, menyebutnya sebagai Haram al-Sharif (Tempat Mahakudus). Sedangkan Tembok Barat adalah tempat utama berdoa orang-orang Yahudi sekaligus tempat tersuci dalam Yudaisme. Tembok Barat dulu juga disebut Tembok Ratapan.
Bagi Yahudi, Palestina harga mati.
Kelompok yang mendukung Herzl membentuk Jewish Territorial Organization (ITO), yang didirikan oleh Israel Zangwill, untuk melanjutkan Proposal Uganda. Zangwill seorang wartawan dan penulis humor. Menurut Meri-Jane Rochelson dalam Israel Zangwill, Zangwill adalah aktivis Zionis Pacifis (dari bahasa latin, pacificus, orang yang menentang perang dan segala bentuk kekerasan dalam penyelesaian konflik) dan feminis laki-laki.
Baca juga: Israel Akui Kedaulatan Indonesia
ITO bertujuan mencari dan mendirikan tanah air bagi Yahudi, di mana pun tempatnya, tak harus di Palestina. Zangwill percaya bahwa kebutuhan untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi sangat mendesak. Dia mencoba mendirikan negara Yahudi di beberapa tempat seperti Kanada, Australia, Mesopotamia (Irak), Cyrenaica (Libya), dan Angola. Pada Desember 1901, Zangwill menulis dalam New Liberal Review bahwa “Palestina adalah negara tanpa bangsa, sedangkan Yahudi adalah bangsa tanpa negara.”
“Lebih baik punya Uganda daripada tak punya apa-apa. Merebut Palestina dari orang Arab bukan soal kecil,” kata Zangwill sebagaimana dikutip mingguan Merdeka, 24 Mei 1946.
Setelah melalui sejarah yang panjang, Israel berhasil mendirikan sebuah negara di tanah Palestina pada 14 Mei 1948 setelah mandat Inggris berakhir, yang memicu perang dengan negara-negara Arab sehari sesudahnya. Israel menang perang. Tapi konflik Israel-Palestina hingga kini masih bergejolak.