Masuk Daftar
My Getplus

Palapa, Pionir Indonesia di Angkasa

Terinspirasi sumpah Gajah Mada, pemerintahan Soeharto membuat proyek ambisius: Satelit Palapa.

Oleh: M.F. Mukthi | 09 Jul 2018
Satelit Palapa A-1 didokumentasikan dalam sebuah kartu. Foto, colostate.edu.

HARI ini, 42 tahun silam. Satelit Palapa A-1 mengangkasa ke orbitnya, 83o BT, dari tempat peluncurannya di Kennedy Space Center, Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS). Satelit komunikasi pertama Indonesia ini menjadikan Indonesia negara ketiga di dunia dan negara berkembang pertama yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD).

“Sistem satelit ini sangat dibutuhkan untuk mempersatukan Indonesia serta untuk memberikan pendidikan pada daerah-daerah terpencil. Satelit Palapa mampu meng-cover sepertiga belahan bumi,” kata direktur utama Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) Willy Munandir Mangoendiprodjo kala memberi sambutan dalam peluncuran Palapa A-1 di Florida, dilansir Kompas 10 Juli 1976.

Jalan Berliku Satukan Nusantara

Advertising
Advertising

Memiliki SKSD bukan merupakan mimpi Indonesia yang ada sejak lama. Selain masih minim infrastruktur dan tenaga ahli, biaya untuk membangunnya amat besar. Indonesia awalnya hanya berambisi bergabung dengan International Telecomunication Satellite Corporation (Intelsat), konsorsium jasa telekomunikasi internasional yang dibangun AS untuk menandingi Uni Soviet di bidang antariksa, setelah Soeharto mendapat masukan penasehat ekonominya, Emil Salim.

Indonesia resmi bergabung dengan Intelsat dan pada Juni 1967 meneken kontrak dengan International Telephone and Telegraph untuk pembangunan terminal telekomunikasi di bumi atau stasiun bumi. Pada 29 September 1969, Soeharto meresmikan stasiun bumi pertama Indonesia.

Di peresmian itu, Soeharto mendapat masukan pentingnya SKSD dari Dirjen Pos dan Telekomunikasi (Postel) Mayjen Sohardjono. Soeharto langsung kepincut dan keinginan untuk itu terus menguat. “Presiden memberi pengarahan agar pembangunan telekomunikasi satelit domestik dilaksanakan dalam Pelita II,” tulis Merdeka, 31 Agustus 1976.

Menteri Perhubungan Frans Seda menindaklanjuti arahan presiden dengan membentuk komite untuk mempelajari sistem telekomunikasi nasional yang dipimpin Willy Munandir. Keseriusan pemerintah makin meningkat ketika pada 1970 Ditjen Postel dan Perumtel membentuk tim gabungan untuk melakukan studi mendalam tentang SKSD. Selain mengumpulkan data lalulintas telekomunikasi, tim juga mencaritahu jumlah permintaan jasa telekomunikasi seperti sambungan telepon.

Di dalam tim itu ada Iskandar Alisjahbana. Dosen ITB ini sejak lama getol melontarkan gagasan penggunaan satelit untuk menyatukan Indonesia serta mendukung pendidikan, penyebaran informasi, dan pembangunan nasional.

Keinginan untuk memiliki SKSD makin mantap ketika pada 1971 Munandir dan Soehardjono menghadiri International Telecomunication Union di Jenewa. Mereka mendapat penjelasan mendalam dari Hughes Aircraft Company (kini bagian dari Boeing) tentang penggunaan satelit untuk keperluan domestik dan potensi besar bisnis yang ada padanya mampu menutup besarnya biaya pembangunan –Indonesia lalu memanfaatkan potensi bisnis ini dengan menyewakan transponder ke Filipina, Malaysia, dan Thailand.

Begitu kembali ke Jakarta, Munandir dan Soehardjono langsung melaporkannya kepada presiden. Soeharto mengarahkan keduanya agar SKSD bisa diperasikan dalam dua atau dua setengah tahun sejak itu. Ditjen Postel pada 4 September 1973 langsung membentuk panitia penelaahan yang bertugas meneliti aspek teknis, operasional, dan ekonominya. Kesimpulannya: SKSD sesuai untuk Indonesia.

Soeharto sendiri menyinggung penggunaan satelit dalam pengembangan telekomunikasi kala menyampaikan nota keuangan dan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara 1975/76 di depan parlemen, 6 Januari 1975. “Dalam rangka pengembangan telekomunikasi maka dalam tahun 1975 akan dimulai dibangun sistem komunikasi satelit domestik yang akan digunakan untuk fasilitas hubungan telepon, telegrap, telex, dan siaran televisi,” ujar presiden.  

Munandir langsung berkeliling ke sejumlah negara untuk mencari pinjaman dana pembangunan SKSD yang menelan biaya total 1,4 milyar dolar. Indonesia akhirnya memperoleh dana itu dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Export-Import Bank, dan Consortium Bank of the United States. Berbekal dana itu, pemerintah meneken kontrak pembangunan satelit komunikasi, stasiun kontrol utama, stasiun bumi besar dan kecil dengan Hughes Aircraft Company, Philco Ford Overseas Services, dan Federal Electric International.

Pemerintah menunjuk Bunawan Saleh sebagai pengawas di fasilitas manufaktur Hughes di El Segundo, California. Di sinilah pihak Hughes mengerjakan satelit pesanan Indonesia yang memiliki dimensi tinggi 11 kaki, diameter 6 kaki, dan bobot 574 kilogram. Hughes akhirnya bisa memenuhi target penyelesaian meski waktu pengerjaan amat singkat. Palapa jadi salah satu jadwal produksi tercepat yang pernah dikerjakan manajemen dan insinyur Hughes.

Berbarengan dengan waktu pembuatan satelit, Perumtel mengasuransikan satelitnya dengan menggandeng PT Asuransi Jasa Indonesia. Pemerintah juga menandatangani perjanjian peluncuran satelit dengan NASA. Lewat negosiasi dengan Intelsat, Indonesia mendapat izin titik 83o BT sebagai orbit satelitnya. Izin orbit itu lalu didaftarkan ke International Frequencies Registration Board di Jenewa.

Begitu rampung, satelit Palapa langsung dibawa ke Kennedy Space Center. Tepat pukul 07.31 pada 9 Juli 1976 waktu setempat (8 Juli waktu Indonesia), Roket Delta 2914 mengudara membawa Palapa A-1 ke orbitnya di ketinggian 30.500 kilometer.

Soeharto, yang menyaksikan peluncuran itu dari siaran televisi, langsung menyatakan kepada pers bahwa pemilihan nama Palapa untuk satelit terinspirasi dari sumpah mahapatih Gajah Mada. Soeharto yakin Palapa akan mampu menjadi wahana ampuh menyatukan Nusantara laiknya sumpah Gajah Mada. “Saya sampaikan penghargaan yang besar kepada semua pihak yang telah dapat menyelesaikan proyek Palapa ini tepat pada waktunya,” ujar Soeharto usai mencabut gagang keris dan menekan tombol elektronis ketika meresmikan Palapa di Gedung MPR/DPR pada 16 Agustus 1976.  

“Palapa menjadi faktor penting yang mengubah pertelevisian nasional dan budaya beragam etnis di Nusantara. Palapa sangat berguna dalam mengintegrasikan negara ini,” tulis Philip Kitley dalam Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca.

TAG

Satelit Palapa Soeharto Gajah-Mada Telekomunikasi

ARTIKEL TERKAIT

Insiden Hoegeng dan Robby Tjahjadi di Cendana 8 Hitung-hitungan ala Soeharto Letkol Soeharto Makan Soto KSAD Pilihan Ibu Tien Soeharto Try Sutrisno, Benny Moerdani, dan Soeharto Akhirnya Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Kunjungan Ratu Elizabeth II ke Indonesia Jenderal Keuangan Soeharto Berpulang Kritik Sarwo Edhie Wibowo kepada Soeharto Suasana Mudik dan Lebaran di Awal Orde Baru