NAMA Nicolaas Jouwe, mantan tokoh OPM disebut-sebut oleh beberapa media nasional. Kutipan berita Antaranews.com (8/5) misalnya, mewartakan bahwa pendiri OPM itu menyebut Veronica Koman tak berhak berbicara mengenai masalah Papua. Padahal, Nicolaas Jouwe telah wafat pada 16 September 2017 silam.
Setelah ditelusuri lagi, ternyata berita Antara mengandung kekeliruan. Pihak Antara telah mengakui kesalahan dalam penyebutan nama dan pemuatan foto. Sosok yang dimaksud bukanlah Nicolaas Jouwe melainkan Nicholas Messet. Kesalahan tersebut berasal dari sumber penulisan berita yakni siaran pers Satgas Nemangkawi. Tidak hanya Antara, kekeliruan serupa juga dikutip media lain seperti, JPNN.com, Okezone.com, dan Beritasatu.
Nicolaas Jouwe sendiri merupakan tokoh Papua yang kontroversial. Dia lahir di Jayapura, 24 November 1923. Pada 1945, Nicolaas Jouwe tercatat sebagai salah satu siswa sekolah Bestuur (Pamong Praja) yang mengikuti pendidikan di Kota Nica (Jayapura). Para pemuda Papua yang disekolahkan di sana, menurut sejarawan Bernarda Meteray, adalah elite Papua terdidik generasi pertama.
Baca juga: Soegoro Atmoprasodjo Memperkenalkan Nasionalisme Indonesia di Papua
“Nicolaas Jouwe menyatakan bahwa masa depan Papua tidak bergantung pada keputusan pemerintah tetapi pada pilihan penduduk Papua sendiri,” kata Bernarda dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua.
Pada 1949, Nicolass Jouwe hadir dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Tapi, dia bukan mewakili Belanda atau Indonesia, melainkan Nieuw Guinea yang bagi orang Indonesia masih bernama Irian Barat (kini Papua). Jouwe duduk sebagai delegasi Badan Permusyawaratan Federal (BFO), dimana Papua tergabung didalamnya.
Ketika Indonesia memperjuangkan pembebasan Irian Barat, Jouwe melancarkan gerakan politik kontra Indonesia. Pada 1951, Jouwe mendirikan partai politik Gerakan Persatuan Nieuw Guinea (GPNG). Melalui GPNG, Jouwe berupaya membangun kesadaran politik orang Papua. Partai itu memiliki misi mempromosikan persaturan orang Papua dan memperjuangkan kemerdekaan untuk Papua.
Sejak 1961, Jouwe telah menetap di negeri Belanda. Jouwe kemudian terpilih sebagai wakil presiden Nieuw Guinea Raad (Dewan Nugini) yang mengatur koloni Belanda. Sementara yang terpilih sebagai presidennya ialah Frits Sollewijn Gelpke, seorang pegawai negeri Belanda. Dengan demikian, Jouwe menjadi politisi Papua yang mendapat jabatan tertinggi di koloni tersebut. Jouwe juga mengklaim dirinya sebagai perancang bendera Bintang Kejora yang dijadikan panji negara Papua.
Baca juga: Suap di Balik Upaya Pembebasan Irian Barat
Tujuan politik Jouwe akhirnya pupus karena Indonesia berhasil memenangkan Irian Barat. Pada 1962, Irian Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia lewat Perjanjian New York. Keadaan itu membuat Jouwe terpaksa meninggalkan tanah Papua. Jouwe bersumpah tidak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya selagi masih dikuasai Indonesia.
Jurnalis terkemuka Rosihan Anwar mencatat pengalaman Nicolaas Jouwe setelah keluar dari Papua dan bermukim di negeri Belanda. Di sana, Jouwe bergiat dalam gerakan separtis Organisasi Papua Merdeka (OPM). “Setelah 40 tahun lamanya Jouwe hidup sebagai eksil di Nederland, tinggal di kota Delft, akhirnya dia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” kata Rosihan dalam Napak Tilas ke Belanda.
Pada 2009, Jouwe diboyong ke Indonesia. Usia Jouwe memasuki 85 tahun saat itu. Adalah Fanny Habibie, duta besar Indonesia untuk Belanda yang berhasil melobi Jouwe. Rosihan menyebut pendekatan pribadi diantara keduanya dapat terjalin lewat “diplomasi pantun”. Pada 19 Maret, Nicolaas Jouwe tiba di Jakarta bersama kedua anaknya, Nicolaas Jr dan Nancy didampingi Tim Papua utusan RI.
Baca juga: Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat
Tersebut pula peran Menko Kesra saat itu Aburizal Bakrie yang kemudian memfasilitasi kepulangan Jouwe ke Papua. Setelah seminggu berada di Papua, Jouwe kembali ke Jakarta dan diterima oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kediamannya di Cikeas. Ketika kembali ke Belanda, Jouwe sudah membuka diri untuk hadir pada acara-acara yang diselenggarakan KBRI. Setahun berselang, Jouwe menetap di Jayapura dengan status sebagai Warga Negara Indonesia (WNI)
Dalam memoarnya Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran, dan Keinginan, Jouwe mengakui dirinya berubah pikiran karena kerinduannya menyejahterahkan rakyat Papua. Dalam rangka itulah dia bersedia kembali ke Indonesia; untuk membangun masyarakat Papua bersama pemerintah Republik Indonesia. Dia juga menentang upaya pemisahan Papua dari NKRI yang dilakukan kelompok pro Papua merdeka.
“Saya akan kembali selama-lamanya di Papua, Indonesia. Sekali Indonesia merdeka, tetap merdeka,” kata Jouwe dalam memoarnya.
Baca juga: Frans Kaisiepo, Jejak Langkah Putra Irian