Masuk Daftar
My Getplus

Nasionalisasi Terusan Suez

Gamal Abdul Nasser menasionalisasi Terusan Suez pada 1956. Inggris, Prancis, dan Israel bersekutu menggempur Mesir.

Oleh: Andri Setiawan | 31 Mar 2021
Gamal Abdul Nasser menasionalisasi Terusan Suez pada 1956. (english.ahram.org.eg).

Jatuhnya Raja Farouk pada 23 Juli 1952 memunculkan Gamal Abdul Nasser sebagai pemimpin baru Mesir. Nasser bukan perpanjangan dari Dinasti Pasha yang berkuasa sejak 1805. Nasser muncul sebagai pemimpin dengan membawa semangat baru: nasionalisme dan sosialisme yang anti kolonialisme Barat.

Terusan Suez yang menjadi salah satu medan peperangan jadi perhatian besar Nasser. Suez juga dijadikan pengingat 74 tahun kolonialisme Inggris yang mengerikan. Maka dari itu, Nasser yang cukup pupuler di dunia Arab dan Asia-Afrika menyerukan nasionalisasi terusan yang dibangun dari keringat rakyat Mesir ini.

Pada 1950-an, setiap tahun sebanyak 122 juta ton kargo melewati Terusan Suez. Sekira 75 juta ton di antaranya adalah minyak dari Timur Tengah. Zona kanal itu makin vital bagi banyak negara. Fakta itu menyadarkan Nasser bahwa nasionalisasi terusan tentu akan mendapat banyak penentangan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Menggali Suez, Menghubungkan Dua Peradaban

Ditolaknya permintaan pinjaman dana pembangunan Bendungan Aswan Mesir oleh Bank Dunia yang bekerjasama dengan Amerika Serikat (AS) pada 14 Juli 1956 memberi momen oleh Nasser untuk membalas Barat. Terusan Suez dijadikan kartu truf oleh Mesir.

“Tidak ada jalan keluar lain –terusan itu adalah satu-satunya aset dan penghasil pendapatan Mesir yang berharga,” tulis Said K. Aburish dalam Nasser, The Last Arab: A Biography.

Pada perayaan empat tahun revolusi Mesir yang digelar pada 26 Juli 1956, Nasser memberikan pidato yang kelak selalu diingat rakyat Mesir. Tanpa naskah dan hanya berbekal catatan di sebuah amplop, ia mengingatkan kembali rakyat Mesir pada daftar kejahatan Barat. Pada pidato itu yang paling mengejutkan adalah Nasser menyatakan nasionalisasi Terusan Suez.

“Tindakan ini mengakhiri konsesi Perusahaan Terusan Suez yang berbasis di Paris untuk kendali Terusan. Pemegang saham yang marah termasuk Inggris dan Prancis, memutuskan untuk menggulingkan Nasser. Krisis Suez pun dimulai,” tulis Derek Varble dalam The Suez Crisis 1956.

Inggris tentu terkejut. Terusan Suez telah menjadi tumpuan utama perdagangan minyak ke Timur Tengah. Apalagi, sejak Perang Dunia II, krisis fiskal dan kelesuan ekonomi membayangi. Sementara, Prancis agak dilematis. Nasionalisasi Terusan Suez memberi ancaman sekaligus peluang baginya. Bertempur dengan Mesir berarti mengalihkan kekuatan Prancis dari Aljazair. Tapi, melawan Mesir juga berarti melawan kekuatan yang mendukung Aljazair merdeka.

Baca juga: Berebut Kendali Terusan Suez

Inggris dan Prancis mendapat sekutu yang cukup menjanjikan: Israel. Militer Israel kala itu merupakan salah satu yang terbaik di jazirah Arab. Negeri para rabbi itu juga salah satu musuh utama Mesir. Israelpun kemudian bergabung dengan Inggris dan Prancis. Pertemuan digelar di Sevres, Prancis untuk merencanakan serangan militer ke Mesir yang kemudian disebut sebagai Sevres Protocol.

Serangan terhadap Mesir dimulai oleh Israel pada 29 Oktober dengan menyerang Mitla Pass di wilayah Sinai dan merebut Ras an-Naqb. Sehari kemudian, Israel berhasil menduduki Al Qusaymah serta merebut Jabal Heita dan Ruafa pada hari berikutnya.

Pada 31 Oktober, pesawat tempur Inggris dan Prancis membombardir lapangan udara Mesir. Pasukan marinir Inggris dari Malta turut menyerbu. Angkatan udara Mesirpun luluh lantak dalam sehari.

Rakyat Mesir yang marah lalu meledakkan patung Ferdinand de Lesseps setinggi 10 meter di pintu masuk kanal. Namun, Port Said sebagai gerbang Terusan dari arah Laut Tengah telah hancur. Inggris juga telah merebut kembali zona Terusan.

AS yang tak diberi tahu mengenai rencana tiga negara tersebut mengecam serangan itu. AS mengancam akan memberi sangsi ekonomi dan PBB menyerukan gencatan senjata. Inggris dan Prancis menyetujui gencatan senjata pada 7 November 1956 dan Israel mundur dari Sinai pada Maret 1957. Terusan Suez pun kembali ke pangkuan Mesir.

“Selama sepuluh tahun berikutnya, Mesir mengoperasikan Terusan dan menegosiasikan perjanjian kompensasi dengan Perusahaan Terusan Suez yang tak mempunyai hak kepemilikan terusan. Meskipun jumlah internasionalnya menyusut, Terusan itu terus menyediakan mata uang asing yang sangat dibutuhkan Mesir,” tulis Zachary Karabell dalam Parting The Desert, The Creation of  The Suez Canal.

Baca juga: Mesir dan Kemerdekaan Indonesia

Krisis Suez 1956 menandai dimulainya penggunaan pasukan penjaga perdamaian PBB, The United Nations Emergency Force (UNEF). Pasukan bersenjata ini dikirim ke daerah itu untuk mengawasi situasi pasca-krisis.

Meski demikian, Terusan Suez kembali menjadi medan pertempuran pada 1967 ketika Mesir berperang melawan Israel. Tiga kota di zona Terusan dihancurkaan oleh angkatan udara dan artileri Israel. Nasser kemudian memerintahkan lusinan kapal ditenggelamkan agar tak ada yang dapat melewati Terusan. Terusan dibuka bertahap sejak 1975.

Sejak itu, Terusan terus diperdalam dan diperlebar agar bisa dilewati kapal tanker minyak berukuran raksasa. Namun, sejak 1980-an Terusan harus berbagi niaga minyak dengan jaringan pipa yang semakin berkembang. Untuk terus membuat Terusan Suez hidup, Mesir terpaksa menurunkan tarif.

TAG

terusan suez mesir

ARTIKEL TERKAIT

Alamudi Mata-mata Belanda Raja Mesir dari Firaun sampai Farouk Kala Napoléon Dianggap Putra Nabi Rivalitas Sadat-Qadafi Akibatkan Mesir-Libya Perang Empat Hari Para Firaun Perempuan Mesir Kuno Merias Wajah Seperti Orang Mesir Kuno Mumi Ibu Hamil dan Janinnya Melihat Sajian Kuliner Firaun Penemuan Kota Emas yang Hilang Riwayat Para Firaun di Lembah Sungai Nil