BRIGJEN TNI Soegih Arto, utusan Presiden Sukarno untuk berunding dengan Kementerian Luar Negeri Inggris transit di Prancis. Soegih Arto diterima oleh Kolonel Sumpono Banyuaji, Atase Militer (Atmil) Indonesia untuk Prancis. Sesampainya di kediaman Atmil, Soegih Arto kaget karena melihat atasannya Mayjen TNI S. Parman juga berada di tempat yang sama.
“Baru lama kemudian, saya mengetahui bahwa Beliau mengemban tugas yang sama, hanya salurannya ke Markas Besar Angkatan Perang Inggris,” tutur Soegih Arto dalam otobiografinya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto.
Keberadaan Parman di Paris sepertinya sudah berlangsung beberapa hari sejak Soegih Arto tiba disana. Menurut Soegih Arto, Parman punya misi yang sama dengan dirinya, yakni menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia melalui perantaraan Inggris. Bila Soegih Arto diutus ke Kementerian Luar Negeri Inggris, maka Parman punya jaringan ke pejabat tinggi kemiliteran Inggris. Keesokan harinya, Soegih Arto menyaksikan Parman dijemput oleh Atmil Indonesia untuk Inggris Kolonel Sasraprawira menuju ke London.
Baca juga: S. Parman, Adik Petinggi PKI yang Jadi Penentang Kuat PKI
Sebagai Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) yang memegang bidang intelijen, Parman memiliki jaringan di mana-mana. Selain itu, Parman memang telah lama menjalin koneksi dengan pihak militer Inggris. Sebelum menjabat Asisten I/Intelijen Menpangad, Parman bertugas di Inggris sebagai Atmil selama tiga tahun (1959—1962).
“Tugas yang dipikul S. Parman selama menjadi atase militer ini cukup berat,” tulis Sutrisno dalam Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman. “S. Parman sering mengadakan pertemuan, jamuan, atau mengunjungi pejabat-pejabat tertentu di Inggris.”
Menurut sejarawan Universitas Indonesia Linda Sumarti, Parman merupakan utusan Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani sebagai peace feelers atau penjajak perdamaian dengan kemungkinan berunding dengan militer Inggris. Yani memilih jalur Departemen Pertahanan Inggris dengan pertimbangan, pihak Malaysia akan lebih mudah untuk diajak ke meja perundingan jika pemerintah Inggris sudah ikut dilibatkan. Jalur ini dipakai Ahmad Yani dengan mengirimkan asisten intelijennya, S. Parman.
Baca juga: Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Berdasarkan dokumen arsip Kementerian Luar Negeri Inggris (Foreign Office), Parman tercatat mengadakan pembicaraan rahasia dengan Kolonel Berger, Atmil Inggris untuk Prancis di Paris pada 9 Oktober 1964. Pembicaraan lanjutan terjadi pada 10 dan 13 Oktober di Paris, kemudian pada 21 Oktober di Kementerian Pertahanan Inggris di London. Kepada Berger, Parman menjelaskan latar belakang penentangan Sukarno terhadap pembentukan negara Federasi Malaysia.
Pertama, tindakan Tunku Abdul Rahman membentuk negara federasi dilakukan sebelum laporan komisi penyelidikan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedua, keyakinan bahwa Inggris memaksa wilayah Kalimantan Utara (Borneo) masuk ke dalam negara federasi Malaysia. Ketiga, kehadiran tentara Inggris di Malaysia mengancam keamanan dan keselamatan Indonesia.
Baca juga: Kegamangan Sukarno Mengganyang Malaysia
Parman menerangkan masalah besar yang dihadapi Indonesia untuk menyelesaikan konfrontasi adalah soal menyelamatkan wajah pemerintah Indonesia di kancah internasional. Di samping syarat mengadakan pemungutan suara di Sabah dan Sarawak, Parman juga mengajukan permintaan supaya Inggris membuat penyataan bersedia menutup pangkalan militernya di Singapura dalam waktu tertentu. Langkah ini, menurut Parman sebagai cara terbaik untuk mengakhiri konfrontasi.
Menanggapi tawaran Parman, Berger menyiratkan bahwa sangat tidak mungkin bagi Inggris untuk menerima tuntutan tersebut. “Tidak ada keharusan bagi pihak Inggris tentang penarikan diri dari Singapura. Orang-orang Indonesia sedang berseluncur di atas es tipis. Aktivitas mereka telah menghasilkan perasaan yang sangat keras di Inggris. Singkatnya, orang-orang Indonesia harus menghentikan agresi mereka sebelum tawaran mereka dapat dipercaya di sini,”demikian jawaban Berger sebagaimana dikutip Linda dari dokumen Foreign Office.
“Pertemuan antara Mayjen S. Parman dan Kolonel Berger hanya berhenti sampai sebatas itu saja, tidak ada pembicaraan lebih lanjut,” kata Linda dalam disertasi yang dipertahankan di Universitas Indonesia berjudul “Penyelesaian Damai Konflik Indonesia Malaysia 1963-1966”.
Baca juga: Akhiri Ganyang Malaysia Lewat Belakang
Misi Parman melobi London mentok dan tidak bersambut. Padahal, Sukarno terus saja menyerukan kampanye Ganyang Malaysia di dalam negeri. Meski demikian, upaya penyelesaian konfrontasi lewat operasi di balik layar tetap dijalankan. Ini bertujuan untuk menghindari Indonesia dari perang terbuka yang kemungkinan akan berhadapan dengan Inggris dan sekutunya.
Di saat yang sama, Ahmad Yani juga memerintahkan Mayjen Soeharto dari Kostrad untuk menjajaki normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia tanpa melalui mediasi pihak ketiga. Soeharto dan rekan-rekannya kemudian membentuk operasi khusus menembus pihak-pihak penting di Malaysia. *