Kairo, 10 April 1947. Seorang petugas imigrasi bertubuh tinggi tegap dengan kumis melintang menghadang empat pria berpakaian kumal, bersandal-sepatu lusuh yang memasuki pintu bandara. Petugas itu mengerenyitkan dahinya saat memeriksa paspor yang disodorkan empat pria tadi. Heran. Paspor yang diserahkan tak berbentuk buku kecil sebagaimana umumnya melainkan secarik kertas lecek dengan sejumlah keterangan kalau empat pria itu datang dari sebuah Republik bernama Indonesia.
Belum habis rasa heran petugas itu, salah seorang yang bertubuh kecil, berkumis dan mengenakan kopiah meluncurkan keterangan, “Mision diplomatique, dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia,” katanya. Lelaki tua itu adalah Haji Agus Salim, the grand old man Republik Indonesia, Menteri Muda Luar Negeri sekaligus pemimpin delegasi.
Tapi keterangan Agus Salim hanya ditanggapi kerutan kening, kepala miring dan bahu yang diangkat, tanda kebingungan yang belum tuntas. Matanya masih menatap keempat orang tadi. Sejurus kemudian dia bertanya, “Are you Moslem?” “Yes” jawab mereka berempat serentak, kemudian mereka saling bertatapan dan sontak menertawai tingkah mereka sendiri. “Well, then, Ahlan wa Sahlan, Welcome!” saut petugas yang sedari tadi bertampang dingin.
Baca juga: AR Baswedan Merajut Keindonesiaan
Tanpa panjang urusan lagi, keempat pria delegasi Indonesia yang terdiri dari Haji Agus Salim, A.R. Baswedan, Mr. Nazir Pamoentjak dan Rasjidi (kemudian menjadi Prof. Dr) melenggang menuju ruang tunggu di mana sejumlah mahasiswa Indonesia dan Sekjen Liga Arab Azzam Pasha telah menunggu kedatangan mereka.
Perjalanan ke Mesir tersebut merupakan kunjungan balasan dari pihak Indonesia setelah sebelumnya Muhammad Abdul Mun’im, Konsul Jenderal Mesir di Bombay (sekarang Mumbay, India) datang ke Yogyakarta pada 13–16 Maret 1947. Menurut AR Baswedan dalam artikelnya di buku Seratus Tahun Agus Salim mengisahkan kunjungan Mun’im itu untuk mewakili negerinya dan membawa pesan dari Liga Arab yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Mun’im datang ditemani Ketut Tantri (Muriel Pearson), perempuan Amerika yang banyak membantu perjuangan rakyat Indonesia di masa revolusi.
Pada 15 Maret 1947, bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Mesir yang ke-23, demikian AR Baswedan mencatat, “Mun’im menghadap Presiden Sukarno (untuk) menyampaikan pesan-pesan dari Liga Arab,” kata dia pada tulisan yang sama. Pesan itu merupakan hasil keputusan sidang Dewan Liga Arab yang diselenggarakan pada 18 November 1946 yang menganjurkan seluruh anggota Liga Arab mengakui kedaulatan Republik Indonesia berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.
Baca juga: Utusan Mesir Terdampar di Singapura
Sebuah versi menyebutkan solidaritas negara anggota Liga Arab tersebut dimotori oleh gerakan Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Gerakan persaudaraan muslim tersebut didirikan oleh Hassan Al-Banna, pemikir sekaligus tokoh pembebasan yang getol menentang kolonialisme Inggris di Mesir dan aktif menggalang persaudaraan di kalangan umat muslim.
Mengetahui kedatangan delegasi Indonesia yang disiarkan luas oleh suratkabar Mesir, Duta Besar Belanda di Mesir berupaya keras menggagalkan upaya Haji Agus Salim cum suis untuk menjalin perjanjian persahabatan antara Indonesia dengan Mesir. Dubes Belanda bersikukuh kalau Indonesia itu bukanlah sebuah Republik yang merdeka berdaulat melainkan masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Sehingga tindakan politik apapun yang mengatasnamakan Indonesia sebagai sebuah negara tidak Belanda akui, kecuali atas sepengetahuan dan membawa nama pemerintah Belanda.
Padahal delegasi Indonesia memiliki misi menggalang dukungan internasional untuk mengakui kemerdekaannya. Belanda menutup mata atas fakta kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, 17 Agutus 1945. Belanda bahkan menyebarkan opini bahwa Republik Indonesia yang baru berdiri itu merupakan hasil kolaborasi ekstrimis Republik dengan fasis Jepang. Pada pengujung 1945 pun beredar kabar Bung Karno dan Bung Hatta akan diadili sekutu sebagai penjahat perang.
Baca juga: Genderang Perang Indonesia-Belanda di Mesir
Dengan kampanye pencitraan negatif oleh Belanda, maka pihak Republik berusaha mengimbanginya dengan mengirimkan misi diplomatik ke berbagai forum internasional dan negara. Sebelum mendarat di Kairo, Mesir, Haji Agus Salim serta delegasi Indonesia terlebih dulu menghadiri Inter-Asian Relation Conference di New Delhi, India, menggalang solidaritas dari negara-negara Asia yang peduli pada perjuangan bangsa Indonesia.
Menurut catatan AR Baswedan, perjanjian persahabatan antara Mesir dengan Indonesia ditandatangani pada 10 Juni 1947. Abdul Mun’im, konsul Mesir di Bombay yang beberapa bulan sebelumnya berkunjung ke Yogyakarta mengantarkan delegasi Indonesia untuk bertemu dengan Perdana Menteri Mesir Nokrashi Pasha yang juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Mesir.
Tepat pukul sembilan pagi seluruh delegasi Indonesia sudah tiba di kantor Kementrian Luar Negeri Mesir. Namun delegasi diminta untuk menunggu di ruang tamu padahal agenda pada jam itu sudah ditetapkan untuk penandatangan persahabatan Indonesia dengan pihak Mesir. Pihak delegasi tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam ruangan Perdana Menteri sampai 30 menit kemudian. “Sesudah setengah jam menunggu, kami melihat Duta Besar Belanda keluar dari kamar PM Nokrashi dengan wajah yang kecut, dan tergesa-gesa,” kenang AR. Baswedan.
Baca juga: Mesir di Tangan Mubarak
Delegasi kemudian dipersilahkan masuk ke ruangan dan mendengar sendiri dari Nokrashi tentang apa yang terjadi antara dia dan Duta Besar Belanda di Mesir. Menurut Nokrashi, pihak Belanda yang diwakili oleh Duta Besarnya protes dan merasa keberatan dengan cara pemerintah Mesir memperlakukan delegasi Indonesia. Duta Besar Belanda mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dengan Belanda. Belanda juga mengancam akan menarik dukungannya terhadap Mesir terkait persoalan Palestina yang dibawa Mesir ke forum PBB.
Perdana Menteri Nokrashi atas nama bangsa Mesir tak gentar sedikit pun. Dia malah memberikan jawaban di luar dugaan Duta Besar Belanda. “Menyesal sekali kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir dan tidak dapat diabaikan,” kata Nokrashi seperti dikutip oleh AR Baswedan.
Duta Besar Belanda itu pun meninggalkan Perdana Menteri Nokrashi dengan rasa kecewa. Perjanjian persahabatan antara Mesir dengan Indonesia pun berhasil ditandatangani hari itu antara Menteri Muda Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim dengan Nokrashi Pasha dalam kapasitas sebagai Menteri Luar Negeri Mesir. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh AR Baswedan selaku Menteri Muda Penerangan Indonesia, Rasjidi dan Dr. Nazir Dt. Pamoentjak dari pihak Indonesia. Abdul Mun’im dan Sekjen Kemlu Mesir Dr. Kamil dari pihak pemerintah Mesir.
Baca juga: Baswedan Dikerdilkan, Muso dan Sjahrir Dilupakan
Dengan penandatangan perjanjian persahabatan yang sekaligus menandai pengakuan Mesir secara legal terhadap kedaulatan Republik Indonesia itu maka lengkaplah persyaratan formal berdirinya sebuah negara. Secara de facto dan de jure persyaratan pengakuan dari negara lain atas eksistensi Republik Indonesia tercapai dengan kesepakatan tersebut. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Hubungan Mesir dengan Indonesia semakin erat ketika Bung Karno menginisiasi gerakan Non-blok, yang menggalang kekuatan dunia ketiga di Asia-Afrika untuk bersama-sama menghalau potensi perang dunia ketiga antara blok barat (Amerika) dengan blok timur (Uni Soviet). Adalah Gammal Abdul Naser, Presiden Mesir yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno. Penampilan Bung Karno yang selalu berkopiah memberikan kesan tersendiri bagi rakyat Mesir pada zamannya sehingga setiap kali ada warga Indonesia yang berkunjung ke sana dan mengenakan kopiah maka sontak warga Mesir akan menyebut nama “Sukarno!”.
Kini Mesir dilanda huru-hara. Rakyat ingin membebaskan diri dari kekuasan Hosni Mubarak yang telah duduk di tampuk kekuasaan selama 30 tahun lebih. Apa yang terjadi di sana mengingatkan kita pada apa yang terjadi di Jakarta Mei 1998. Dan Soeharto, yang ditumbangkan pada tahun itu, melakukan kunjungan kenegaraannya terakhir ke Kairo, Mesir. Dari Mesir, Republik Indonesia mengawali jejaknya dan dari Mesir pula rezim kediktatoran Soeharto mengakhiri langkahnya. Kini Mesir menanti akan ke mana garis nasib sejarah membawanya.