EUFORIA kemenangan pasangan Joe Biden-Kamala Harris dari Partai Demokrat atas pasangan Donald Trump-Mike Pence dari Partai Republik di Pilpres Amerika Serikat pekan lalu terasa sampai ke Desa Thulasendrapuram, Negara Bagian Tamil Nadu di India selatan. Desa tersebut merupakan tempat kelahiran kakek Kamala dari garis ibu, Painganadu Venkataraman Gopalan.
“Kami tak melepas pandangan dari televisi dan segenap keluarga sangat bahagia ketika beritanya tiba. Kami sangat senang dia telah menuliskan sejarah baru,” tutur Dr. Sarala Gopalan, tante Kamala, kepada The Hindu, Senin, 9 November 2020.
Selain menjadi perempuan pertama yang terpilih jadi wakil presiden (wapres), Kamala juga tercatat jadi wapres pertama berdarah Afro (Jamaika) dari pihak ayahnya, Donald Jasper Harris; dan India dari pihak ibunya, Shyamala Gopalan.
“Ibunya menjadi sumber inspirasi yang besar bagi Kamala. Kakak saya selalu percaya kepadanya, bahwa dia harus mengejar cita-cita besar. Jika kami menjadi perempuan tangguh dalam keluarga, tak lain berkat ayah saya PV Gopalan. Di 1950-an ketika kakak saya, Shyamala, mendapat beasiswa studi di Amerika, ayah mendukungnya. Keluarga lain mungkin ragu mengirim anak gadis 18 tahun pergi sendirian ke luar negeri,” lanjutnya.
Baca juga: Joe Biden dan Pemimpin Gagap
Dalam memoar yang ditulisnya pada 2019, The Truths We Hold: And American Journey, Kamala juga mengagungkan sosok kakeknya itu. Disebutkan Kamala, P.V. Gopalan termasuk salah satu tokoh pejuang kemerdekaan India.
“Kakek saya P.V. Gopalan telah menjadi bagian dari pergerakan untuk memenangkan kemerdekaan India. Pada akhirnya dia menjadi diplomat senior di pemerintahan, di mana dia dan nenek saya lama tinggal di Zambia yang juga baru merdeka untuk membantu para pengungsi,” tulis Kamala.
Kendati begitu, banyak yang meragukan klaim Kamala. Tak terkecuali internal keluarganya sendiri. Siapa sebenarnya P.V. Gopalan?
Di Bawah Panji Kolonial
Tak banyak catatan yang menguraikan kisah hidup Gopalan sejak lahir di Thulasendrapuram tahun 1911. Bahkan Central Bureau of Investigation (CBI) atau semacam FBI di Amerika sejak lama kesulitan melacak jejak-jejak masa kecilnya. Hanya sedikit informasi yang tersedia, mengenai pendidikan layak Gopalan yang dimungkinkan karena ia berasal dari keluarga kasta tertinggi.
“Tak banyak yang bisa diketahui tentang pendidikannya. Seperti kebanyakan orang Brahmana tradisional di masa itu, sepertinya dia pindah ke ibukota Delhi untuk mencari pekerjaan di pemerintahan,” tulis Raghava Krishnaswami Raghavan, Direktur CBI periode 1999-2001, di kolomnya yang dimuat CNN News18, 17 Agustus 2020.
“Karena di masa itu hampir tidak ada sektor swasta yang mau menerima orang-orang muda dari desa untuk dipekerjakan. Sebaliknya di pemerintahan pusat di Delhi, justru selalu menyambut hangat para lulusan muda, terutama dari kawasan selatan karena orang-orang Madras (Tamil, red.) dikenal sebagai orang-orang yang lembut, patuh, dan loyal, ditambah pengetahuan yang solid akan bahasa Inggris,” lanjutnya.
Baca juga: Darah Aktivis Kamala Harris
Gopalan kemudian diterima menjadi birokrat di Imperial Secretariat Service (Badan Kesekretariatan) di pemerintahan kolonial British India. Lantas pada 1930-an, Gopalan dikirim bertugas ke Semenajung Malaya (kini Malaysia) untuk menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah berbahasa Inggris di Malaka, Lorong Panjang English School.
Menyongsong pengangkatan George VI sebagai raja Inggris pada 1937, Gopalan turut menyiapkan buklet “Coronation Souvenir” yang disebarkan di Malaka. “Buklet pemahkotaan untuk kawasan Malaka dibuat seorang guru dan kepala sekolah asal Tamil P.V. Gopalan, di mana dalam bukletnya menyatakan: ‘Tidak satupun warna kulit, suku, maupun gelombang besar akan memecah-belah persemakmuran (Inggris),’” ungkap Lynn Hollen Lees dalam Planting Empire, Cultivating Subjects: British Malaya, 1786-1941.
Dalam buklet itu Gopalan bersama birokrat asal Tamil lain, Sangara Pillai Rajaratnam, mengajak semua masyarakat di Melaka sebagai salah satu unsur dari wilayah kolonial British Malaya yang kosmopolitan untuk tidak terprovokasi menjelang pengangkatan George VI. Pasalnya, sejak 1935 muncul bibit-bibit perpecahan akibat isu penentangan terhadap para elit lokal yang jadi kepanjangan tangan para bangsawan Inggris.
“Tentu saja Gopalan dan Rajaratnam paham bahwa hal-hal yang berbau Inggris selalu didefinisikan secara sempit oleh masyarakat lokal. (Sejarawan) Anthony Stockwell menggambarkan perilaku sosial orang-orang Eropa di Malaya sebagai ‘tribalisme putih’ berdasarkan keyakinan akan inferioritas kultur dan biologis orang Asia,” sambung Lees.
Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad
Oleh karena Gopalan berada di Malaya pada 1930-an, maka klaim Kamala Harris bahwa kakeknya bagian dari pergerakan nasional untuk memerdekakan India pun beraroma dusta. Aroma dusta bahkan diperkuat oleh pernyataan, Balachandran Gopalan, adik kandung Shyamala Gopalan, yang mengatakan bahwa ayahnya, PV Gopalan, bukan bagian dari para tokoh perjuangan kemerdekaan India.
“Tidak ada catatan bahwa dia (Gopalan) terlibat dalam hal lain selain seorang pegawai negeri semata. Jika dia melakukan advokasi terbuka untuk mengakhiri kekuasaan Inggris, dia akan dipecat,” terang Balachandran kepada LA Times, 25 Oktober 2019.
Keistimewaan Kasta Brahmana
Ketika para tokoh lain bergelut melawan kolonialisme Inggris, Gopalan justru selangkah demi selangkah melejitkan kariernya sebagai abdi kolonial. Pasca-India merdeka, karena statusnya sebagai mantan birokrat kolonial berkasta Brahmana, Gopalan kembali masuk ke pemerintahan, yakni di Direktorat Perhubungan Darat, Kementerian Transportasi Gopalan. Dia terakhir menjadi diplomat di Zambia.
Menukil arsip “Gazette of India, 1956, No. 34”, Gopalan dengan status birokrat Golongan I bertugas di Direktorat Perhubungan Darat hingga 30 Desember 1955 dan mulai 31 Desember secara efektif dimutasi ke Kementerian Rehabilitasi. Dalam tugas barunya inilah kemudian Gopalan jadi Direktur Urusan Pengungsi di Zambia.
“Waktu itu hampir semua tokoh muda direkrut sebagai asisten di sejumlah kementerian. Seperti paman saya yang juga berasal dari golongan elit. Setiap asisten, kecuali dia terlalu medioker atau indisipliner, pasti akan mendaki tangga jabatan dan pensiun sebagai joint-secretary (menteri bersama),” sambung Raghavan.
Baca juga: Siapa Ayah dan Ibu Kamala Harris?
“Beberapa orang yang dipromosikan, seperti dari suku Gopalan, mendapat keistimewaan penempatan di luar negeri di pengujung kariernya. Ini yang jadi faktor Gopalan bisa ke Zambia menjadi Direktur Urusan Pengungsi. Seperti tipikal semua birokrat asal selatan India, ia tak pernah teralihkan selain berkonsentrasi pada pekerjannya, mendapatkan uang dari gaji dan reputasi,” tambahnya.
Pernyataan itu turut diamini Tanvi Kohli dalam kolomnya, “Kamala Harris’s American Journey: Caste, Global Mobility, and State Power” yang dimuat Jamhoor, 1 November 2020. Menurutnya, reputasi dan melejitnya karier Gopalan tak semata-mata diraih secara mandiri, melainkan juga memanfaatkan status kastanya.
“Keluarga (Kamala) Harris mengilustrasikan bagaimana kasta, kelas, dan mobilitas global erat berkaitan dengan pekerjaan di pemerintahan, pendidikan kelas tinggi, jaringan sosial dan kesempatan untuk bermigrasi. Kakek Harris, P.V. Gopalan adalah pegawai pemerintahan sejak era kolonial –sebuah posisi yang memungkinkan untuk putrinya pindah ke Amerika,” tulis Kohli.
Banyaknya pengalaman Gopalan sebagai birokrat didapatnya dari Kesekretariatan Negara di era British India, lalu Kesekretariatan Pusat pasca-kemerdekaan. Di Zambia, Gopalan bertugas pada masa krisis pengungsi yang diakibatkan imperialisme Inggris yang di mana sebelumnya membawa banyak orang dari Rhodesia (kini Zimbabwe) ke Zambia untuk dijadikan pekerja pertambangan di Matabeleland.
Krisis yang mengakibatkan pengungsian itu berakar dari kemerdekaan Zambia, 24 Oktober 1964. Kemerdekaan itu diperoleh dari gerakan yang banyak dibantu para pendatang Rhodesia sebelum dan sesudah Perang Dunia II.
Baca juga: Mahatma Gandhi, Pejuang tanpa Kekerasan
“Inggris melakukan langkah perhitungan dengan mendorong petisi dan sanksi embargo terhadap Zambia di PBB, seraya membiayai perang gerilya yang mengakibatkan kehancuran masif dan krisis pengungsi. Ironisnya kemudian seorang birokrat dari bekas koloni Inggris lainnya dikirim untuk mengurusi pengungsi. Itu tak terlepas dari kasta dan status kelas Gopalan yang memfasilitasi kariernya mendaki tangga jabatan ke posisi yang tinggi di pemerintahan India,” urai Kohli.
Pada era 1980-an setelah pensiun, Gopalan menghabiskan sisa umurnya bersama istrinya, Rajam Ayyar, dengan beristirahat di apartemen mewah di kawasan eksklusif Besant Nagar, Chennai. Pada Februari 1998, di usia antara 86-87 tahun, Gopalan tutup usia.