SEKELOMPOK orang yang tergabung dalam Yayasan Turangga Seta mengklaim menemukan ratusan piramida yang tersembunyi di bawah bukit dan tersebar di Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dua di antaranya di Gunung Lalakon, Bandung; dan di Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat.
Menurut mereka, hasil uji geolistrik –pengujian untuk mengukur resistivitas suatu batuan– menangkap keberadaan sebuah struktur batuan tak alami yang mirip dengan bangunan piramida. Dalam struktur bangunan itu ada bentuk mirip lorong atau pintu. Penemuan tersebut dianggap sebagai bukti arkeologis bahwa Atlantis terletak di Indonesia.
Menurut Guru Besar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Abdul Hadi WM, keberadaan Atlantis sudah dikembangkan dari pandangan apokaliptik menjadi pandangan sejarah, di antaranya oleh Ibn Khaldun, Hegel, Oswald Spengler, dan Toynbee. “Suatu peradaban berkembang subur dan marak pada mula pertama. Ibarat tetumbuhan di musim semi. Lalu datang musim panas, peradaban mulai kerontang. Kemudian disusul musim gugur, krisis dan kerontokan mulai mengancam peradaban antara lain disebabkan dekandensi moral dan dehumanisasi. Akhirnya tiba masa kematiannya di musim dingin,” kata Abdul Hadi.
Atlantis sebagai sebuah peradaban agung, sumber peradaban manusia saat ini, kali pertama dicetuskan oleh filsuf Yunani, Plato (427-347 SM), dalam dua bukunya, Critias dan Timaeus. Selama lebih dari 2.000 tahun, Atlantis yang raib secara perlahan karena serangkaian bencana, telah menjadi dongeng. Namun, sejak abad pertengahan, kisah Atlantis menjadi popular di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat diam-diam meyakini kemungkinan keberadaan Atlantis. Mereka mengasumsikan lokasi Atlantis ada di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah. Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Tapi kebanyakan peneliti tak memberikan bukti memadai dan hanya mengira-ngira.
Pada akhir dasawarsa 1990, kontroversi letak Atlantis muncul kembali karena pendapat dua peneliti, Stephen Oppenheimer dan Arysio Nunes des Santos. Oppenheimmer, dokter ahli genetik yang mempelajari sejarah peradaban, menerbitkan buku Eden in The East (1999) berdasarkan penelitian selama 12 tahun. Buku itu mengajukan hipotesis utama bahwa Atlantis terletak di Paparan Sunda (Sundaland), yaitu Asia Tenggara. “Saya percaya bahwa sayalah orang pertama yang membela Asia Tenggara sebagai sumber dari unsur-unsur peradaban Barat,” tulis Oppenheimer dalam prakata bukunya.
Arysio des Santos, geolog dan fisikawan nuklir Brasil, dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Los Civilization (2005), hasil penelitian selama 30 tahun, dengan tegas menyatakan bahwa situs Atlantis adalah Indonesia.
Buku Oppenheimer dan Santos sontak membuat “demam Atlantis” di Indonesia. Ada yang tak setuju dengan hipotesis itu, tak sedikit pula yang mendukung.
Menurut geolog dari Badan Geologi Bandung, Oki Oktariadi, sampai saat ini belum ada kepastian di mana lokasi Atlantis yang sebenarnya, masih hipotesis. “Setiap teori memiliki pendukung masing-masing yang biasanya sangat fanatik. Bisa saja Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato,” kata Oki dalam bedah buku Peradaban Atlantis Nusantara di Universitas Paramadina, 28 Juli 2011.
Hal senada disampaikan budayawan Radhar Panca Dahana: “Ini semua masih hipotesis, sumir, dan ngambang. Yang terpenting adalah menemukan bukti-bukti ilmiah yang otentik dan signifikansinya untuk sekarang. Jangan tenggelam dalam mitologi Atlantis. Sayangnya, mitologi turut membangun negeri ini, untuk mengidentifikasi diri,” kata Radhar, yang turut membedah buku tersebut.
Faktanya, keberadaan Atlantis kerap dijadikan peluang bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menarik devisa. Seperti dilakukan Sarmast, arsitek Amerika Serikat keturunan Persia, yang mengklaim menemukan Atlantis di Laut Mediterania, tepatnya di sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1.500 meter di dalam air. “Penemuan ini membuat kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak tajam. Para penyandang dana penelitian Sarmast, seperti editor, produser film, agen media, dan sebagainya mendapat keuntungan besar. Mereka seolah berkeyakinan bahwa jika Sarmast benar, mereka akan terkenal; dan jika tidak, mereka telah mengantongi uang yang sangat besar dari para sponsor,” kata Oki.
Menurut Oki, hipotesis keberadaan Atlantis di Indonesia seharusnya menantang para peneliti domestik untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Yayasan Turangga Seta menjawab tantangan itu. Dan temuannya adalah sebuah piramida yang menuai kontroversi, seperti halnya Atlantis.
Secara semantik, menurut Oki, piramida adalah bahasa Inggris (pyramid), bahasa Mesir Kuno-nya mere (πυραμίς), diambil dari bahasa sanskerta meru artinya gunung. “Bandung itu dikenal dengan Bandung diriung gunung (Bandung dikelilingi gunung). Sudah banyak gunung, masa ingin bikin gunung (piramida) lagi,” kata Oki.
Bangsa Mesir Kuno yang 5000 tahun lalu bermukim dan bercocok tanam di tanah subur sepanjang sungai Nil, kata Oki, mungkin berdiaspora (menyebar ke berbagai penjuru dunia) dan menemukan gunung, sementara tanah bermukimnya di timur Afrika, tandus. “Karena itu, mereka membuat piramida sebagai kerinduan pada gunung,” kata Oki.
Namun, menurut Roberta Edwards dalam Siapakah King Tut? piramida adalah makam raja Mesir, Firaun. Makam-makam Firaun terbesar adalah tiga piramida di Gizeh, yang dijaga Patung Sphinx. Sebuah makam bukan sekadar sebuah tempat peristirahatan untuk jasad. Tempat ini seperti layaknya rumah, diisi segala sesuatu yang dibutuhkan dan diinginkan seseorang di alam baka.
“Para petani tentu saja tak memiliki banyak barang. Mereka juga tak mampu untuk membeli makam besar. Seringkali orang miskin hanya dikubur di tanah. Sebaliknya, makam raja memiliki banyak ruangan, semuanya diisi barang berharga,” tulis Roberta. “Orang-orang tahu bahwa harta karun dikubur bersama dengan jasad Firaun. Sayangnya, piramida-piramida itu dirampok. Para perampok mencuri barang-barang berharga firaun di alam baka.”
Terlepas masih hipotesis, Radhar mencoba memaknai Atlantis, bahwa negeri kepulauan ini punya kejayaan sejak dulu sebenarnya semakin terang tahun-tahun belakangan ini. “Bukan hanya melulu karena imajinasi dan ilusi sebagian dari kita, tapi juga karena fakta ilmiah yang beruntun membuktikannya. Sehingga kini tiadalah alasan bagi siapa pun untuk tidak mempercayai kemampuan, keberdayaan, dan potensi luar biasa yang terpendam dalam diri kita, sebagai manusia juga sebagai bangsa. Terlalu banyak alasan untuk meyakini: kita memiliki semua modal untuk menjadi yang besar.”