Masuk Daftar
My Getplus

Loyalis Sukarno Bernama Idham Chalid

Ketika banyak pihak menentang Sukarno, dia hadir sebagai pendukung. Sempat meredam kecurigaan kaum nahdliyin terhadap Si Bung Besar.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 06 Mar 2021
Ilustrasi Idham Chalid. (Betaria Sarulina/Historia).

Menjelang dekade 1960-an, Indonesia dihadapkan dengan situasi politik yang tidak stabil. Berbagai perubahan tidak terduga terjadi di tubuh pemerintahan Sukarno. Presiden, melalui dekrit tahun 1959, mulai mengubah gaya kepemimpinannya. Dari semula mengadopsi sistem parlementer, menjadi suatu pola yang disebut Bung Karno sebagai Demokrasi Terpimpin.

Perubahan itu tidak selamanya mendapat dukungan rakyat. Sejumlah tokoh bahkan menyuarakan secara gamblang ketidaksetujuannya akan penerapan Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Seperti terjadi di tubuh Nadhlatul Ulama, yang sebagian besar tokohnya tidak suka dengan sistem baru pilihan Sukarno tersebut. Namun meski mayoritas tidak suka, di NU masih ada yang mendukung keputusan sang presiden. Idham Chalid salah satunya.

“Kalau kedekatan dengan Bung Karno itu bisa dilihat dari berapa kali beliau dipercaya jadi Wakil Perdana Menteri. Bahkan dari cerita-cerita beliau, beliau adalah salah satu orang yang menggagas ide pengangkatan Bung Karno jadi presiden seumur hidup. Beliau yang memberikan usulan,” kata Grandy Ramadhan, cucu Idham Chalid, kepada Historia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Jalan Hidup Idham Chalid

Meski Grandy menyebut dukungan Idham kepada Sukarno merupakan bentuk kedekatan namun menurut sejarawan Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nadhlatul Ulama 1952-1967, situasi politiklah yang memaksa Idham melakukan itu. Jika dia tidak mendukung Demokrasi Terpimpin justru akan membahayakan NU dan karir politiknya. Dia bisa saja tidak meniru retorika Sukarno, tetapi andai itu dilakukan posisi NU terancam dan disudutkan. Jika NU disudutkan maka tidak ada ormas Islam besar lagi yang masuk sistem politik. Hanya dengan NU umat Islam Indonesia bisa terwakili.

Pada Agustus 1959, sebulan setelah Sukarno mengumumkan dekrit, Idham diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Tugas badan ini adalah memberikan pertimbangan kepada presiden dan pemerintah, yang kala itu keberadaannya lebih berpengaruh dibandingkan parlemen. Menurut Ahmad Muhajir dalam Idham Chalid: Guru Politik Orang NU, pengangkatan Idham menjadi anggota DPAS merupakan bukti kedekatannya dengan Sukarno. Dia bahkan menjadi pembela blak-blakan dari manifesto ideologis nasionalistik populis Sukarno.

“Komunisme, seperti halnya anjing, adalah najis. Tapi Sukarnoisme tidaklah najis, karena dia bukan komunisme. Paling banter Sukarnoisme itu adalah seperti anjing laut dan sebagaimana Anda tahu anjing laut menurut Islam tidaklah najis,” kata Idham seperti dikutip H. Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66.

Baca juga: Idham Chalid, Politisi Air yang Tak Lagi Mengalir

Menurut Muhajir, dalam segi kepemimpinan Idham memiliki sejumlah kesamaan dengan Sukarno. Keduanya, imbuh Muhajir, sama-sama memiliki kharisma yang mampu menggerakan massa. Jika Sukarno bisa membuat orang tergerak dengan kata-kata yang cerdas dan tajam, Idham mampu membuat siapa saja yang berhubungan dengannya merasa nyaman. Dia bahkan mendapat julukan ahli yahannu, istilah sehari-hari di kalangan pesantren yang berarti “mengatakan hal-hal yang menyenangkan orang, menyampaikan apa yang ingin mereka dengar”.

Selain itu keduanya dikenal sebagai orator ulung. Sukarno dengan gaya berbicara yang tegas, berapi-api, mampu memainkan emosi para pendengarnya. Sementara Idham lebih kalem. Gaya pidatonya mendatangkan simpati. Dia tahu cara menghadapi emosi massa. Fealy mencatat bahwa kepribadian dan gaya kepemimpinan Idham begitu dekat. Dia ahli dalam berkomunikasi, punya banyak lelucon, dan sangat pandai membaca suasana hati para pendengarnya. Pidato-pidato Idham merupakan perpaduan dari khotbah keagamaan, dongeng, dan propaganda politik yang selalu disampaikan dengan penuh kerendahan hati.

“Kalau mau dianalogikan dengan jurus pesilat: Sukarno menyerang dengan jurus yang keras dan gesit, Idham menyambut serangan dengan jurus lembut, namun mematikan,” ungkap Muhajir.

Baca juga: Loyalis Sukarno Bernama Ibrahim Adjie

Idham menjadi salah satu tokoh yang paling loyal terhadap Sukarno. Kesetiannya itu, kata Muhajir, ditunjukan saat peristiwa Gerakan 30 September. Ketika banyak pihak di NU mempertanyakan posisi Sukarno, Idham masih menaruh kepercayaan kepadanya. Dia mencoba meredam kecurigaan tokoh-tokoh NU. Namun ketika perubahan sudah tidak bisa lagi dibendung, Idham terpaksa meninggalkan Sukarno dan memilih mempertahankan kedudukan NU di dalam trasisi kekuasaan yang baru.

Semasa pemerintahan Sukarno, Idham menempati beberapa jabatan penting, di antaranya: Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo (1956), Wakil Menteri Kabinet Djuanda (1957), anggota DPAS (1959), Wakil Ketua MPRS (1963-1966), Wakil Perdana Menteri Kedua Kabinet Dwikora (1966). Pada masa itu juga Idham memperoleh beberapa penghargaan dari presiden terkait dengan perjuangannya, yaitu Bintang Gerilya (1956) atas perjuangannya sewaktu bergerilya di Kalimantan, Bintang Maha Putra (1960), dan sejumlah penghargaan lainnya.

TAG

idham chalid nahdlatul ulama

ARTIKEL TERKAIT

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Melawan Sumber Bermasalah Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kibuli Raden Paku