Masuk Daftar
My Getplus

Larangan Hitam untuk Armada Hitam

Dari pelabuhan ke meja perundingan, Australia berperan penting bagi kemerdekaan Indonesia.

Oleh: Andri Setiawan | 16 Nov 2019
Pengunjung menikmati pameran hubungan diplomatik Indonesia-Australia bertajuk 'Two Nations, a Friendship is Born'. (Fernando Randy/Historia).

“Tentara dan perwira Belanda jangan diberi transportasi. Amunisi Belanda jangan disentuh. Reparasi kapal-kapal Belanda, dll., jangan dikerjakan. Kapal-kapal Belanda jangan diberi batubara. Pandu jangan diberikan kepada kapal-kapal Belanda. Makanan, perbekalan, dll., jangan diberikan kepada kapal, kantor atau personel Belanda. Para perwira dan pelaut Belanda jangan dibawa ke dan dari kapal. Sejatinya segala sesuatu tentang Belanda adalah hitam.”

Begitulah bunyi selebaran yang diedarkan oleh Departemen Perdagangan dan Buruh Australia pada Oktober 1945. Selebaran ini dikeluarkan menyusul boikot besar-besaran terhadap kapal-kapal Belanda yang hendak menuju Indonesia, sejak September 1945. Boikot ini dikenal dengan nama “larangan hitam”. Sementara itu, kapal-kapal Belanda di Australia mendapat julukan "Armada Hitam".

Narasi tentang hubungan diplomatik Australia-Indonesia dalam rentang waktu 1945-1949 ini dipamerkan di Museum Nasional bertajuk Two Nations, A Friendship is Born. Pameran yang dibuka sejak 11 November 2019 ini menyajikan foto-foto, potongan surat kabar, sketsa-sketsa serta lukisan yang berkaitan dengan dukungan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia.

Advertising
Advertising
Sejarah hubungan Indonesia-Australia disajikan dalam bentuk foto, potongan surat kabar hingga film. (Fernando Randy/Historia).

Boikot Belanda

Pasca Jepang menyerah pada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, kapal-kapal Belanda tengah bersiap di pelabuhan-pelabuhan Australia. Kala itu, Belanda hendak mencoba peruntungan untuk kembali menguasai wilayah Indonesia.

Pada 24 September 1945, kapal-kapal Belanda di Brisbane dan Sydney diboikot. Kota Melbourne dan Fremantle kemudian menyusul. Dalam waktu singkat, boikot terhadap kapal-kapal belanda meluas ke serikat buruh industri maritim Australia.

Baca juga: Dari Buruh Australia Untuk Indonesia Merdeka

Tukang ketel, teknisi, pekerja besi, tukang cat kapal dan petugas dok, tukang kayu, petugas gudang, juru tulis hingga awak kapal pandu, turut dalam gerakan tersebut. Hal ini membuat kapal-kapal Belanda tidak dapat meninggalkan pelabuhan.

Kapal Van Heutz yang mengangkut pejabat pemerintah, tentara dan senjata Hindia Belanda tertatih-tatih berlayar dari Brisbane ke Jawa dengan sedikit pasokan batubara dan perbekalan. Sementara itu, kapal Karsik yang mengangkut uang Belanda dan kapal Merak tertahan di Melbourne karena tidak mendapat batubara.

Pada 28 September 1945, kantor-kantor perusahaan pelayaran dan diplomatik Belanda didemo para pekerja. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Lepaskan Indonesia.” Aksi ini semakin meningkat pada Oktober 1945.

Baca juga: Kisah Berlawan dari Benua Seberang Australia

Pada 1946, kamp tawanan perang Belanda di Australia diprotes. Kamp ini berisi tentara Indonesia di angkatan bersenjata Belanda yang menuntut repatriasi ke Indonesia untuk bergabung dengan pasukan Republik.

Warga Australia bersimpati. Mereka memberikan hadiah Natal kepada para tahanan namun ditolak penjaga Belanda. Beberapa penduduk Casino di utara New South Wales kemudian mendirikan Komite Pembela Warga Indonesia. Mereka menuntut kamp ditutup. Pada April 1946, penjaga kamp melepaskan tembakan ketika 480 narapidana melakukan demonstrasi. Satu orang tewas dan satu terluka.

Baca juga: Politisi Australia Sahabat Indonesia

Atas peristiwa itu, Arthur Caldwell, Menteri Imigrasi Australia, mengancam akan mengusir para penjaga Belanda. Belanda akhirnya setuju merepatriasi para narapidana. Atas bantuan serta biaya pemerintah Australia mereka bisa kembali ke tanah air.

Arthur Caldwell juga merupakan orang yang berjasa memulangkan 1.416 warga Indonesia di mana sebagian merupakan mantan tahanan politik dari kamp Boven Digul, Papua.

Pengunjung bisa melihat sketsa dan lukisan Tony Rafty, seniman dan kartunis Australia. (Fernando Randy/Historia).

Sahabat-Sahabat dari Australia

Pada saat yang bersamaan, banyak tentara Australia yang tinggal di Indonesia bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia. Mereka kemudian turut membagikan pamflet serta ikut menyebarkan propaganda Republik.

“Kami Angkatan Bersenjata bangga dengan aksi yang dilakukan oleh serikat buruh anda dan … yang memiliki pengetahuan langsung tentang mereka dan kondisi mereka … yakin bahwa klaim [Indonesia] masuk akal,” tulis Angkatan Bersejata Australia kepada James Healy, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Pelabuhan Air.

Selain para tentara, ada pula Noel Constantine, pilot Angkatan Udara Inggris (RAF) yang pada 1946 keluar dari RAFF dan kembali ke Australia. Dia kemudian terlibat dalam misi mengirim perlengkapan medis dari Singapura ke Indonesia.

Baca juga: Tragedi Dakota dalam Hari Bakti Angkatan Udara

Pada 29 Juli 1947, pesawat yang dipiloti oleh Constantine ditembak jatuh oleh pesawat Kittyhawk Belanda beberapa saat sebelum mendarat di Yogyakarta. Dalam peristiwa itu, hanya satu orang penumpang yang selamat. Constantine, istrinya dan kopilot Roy Hazlehurst gugur. Pesawat itu juga ditumpangi tiga perwira AURI yakni Adisutjipto, Abdul Rachman Saleh, dan Adisumarmo, yang juga gugur dalam peristiwa itu.

Orang Australia lain yang memiliki peran penting ialah diplomat Australia William MacMahon Ball dan Joe Isac, dosen muda dari Universitas Melbourne. Mereka mengemban misi mencari fakta ke Jakarta pada 1945.

Sementara itu, Molly Warner, seorang organisator, jurnalis dan penerjemah, merintis advokasi Australia untuk Kemerdekaan Indonesia. Molly berkiprah di Asosiasi Australia-Indonesia dan kemudian menikah dengan eks Digulis, Mohamad Bondan.

Baca juga: Mohamad Bondan Juru Tulis Nasionalis

Atas permintaan Indonesia, para pengamat militer Australia juga dikirim ke Indonesia untuk menjaga perdamaian. Setelah Belanda melancarkan agresi militer, Australia membawa permasalahan ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Australia kemudian ditunjuk oleh Indonesia sebagai perwakilan di Komite Jasa Baik yang dibentuk untuk mensponsori perundingan antara Indonesia dengan Belanda.

Hakim Agung Australia Richard Kirby dan kemudian Tom Critchley membuat perjanjian gencatan senjata pada Januari 1948. Meski Belanda mengkhianati Perjanjian Renville tersebut dan melancarkan agresi militer kedua, Australia telah berperan penting dalam Komite Jasa Baik itu.

Melalui narasi sejarah, pameran ini hendak mempererat hubungan dua negara. (Fernando Randy/Historia).

Periode 1947-1949 menjadi puncak hubungan baik antara Indonesia dan Australia di bawah pemerintahan Ben Chifley. Namun, pada Desember 1949, Chifley digantikan oleh Menzies yang konservatif. Hubungan Indonesia-Australia pun mulai melemah. Peran terakhir Australia era itu adalah sebagai sponsor bersama keanggotaan Indonesia di PBB. Indonesia menjadi anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950.

Baca juga: Tewasnya Perwira Australia di Bogor

Dalam pameran ini, pengunjung bisa melihat sketsa dan lukisan Tony Rafty. Seniman dan kartunis Australia itu bertugas sebagai jurnalis perang untuk Angkatan Darat Australia di Nugini, Kalimantan, dan Singapura. Selama Perang Dunia II, Rafty banyak merekam peristiwa-peristiwa melalui sketsa dan lukisan. Ia juga pernah melukis Sukarno.

Dua film tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia serta peran Australia di dalamnya juga dapat disaksikan dalam pameran ini. Indonesia Calling karya Joris Ivens menampilkan aksi solidaritas pekerja pelabuhan di Sydney kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan film Batavia 1945 karya Graeme Isaac menarasikan kisah William MacMahon Ball dan Joe Isaac dalam misi pencari fakta di Jakarta.

TAG

australia

ARTIKEL TERKAIT

Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Simpati Serdadu Australia terhadap Kemerdekaan Indonesia Misi Diplomat Australia Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Goresan Tinta Seniman Australia Merekam Revolusi Kemerdekaan Pelarian Berdarah di Kamp Cowra Petualangan Tim Kanguru Tiga Negara Berbagi Sejarah lewat Dokumenter Kunjungan Nehru Orang Jawa Hilang dalam Perang Dunia II John Cohen, Yahudi Australia Pendukung Indonesia Ketika Merdeka Datang ke Australia