Masuk Daftar
My Getplus

Korpri Bantu Orde Baru Menangi Pemilu

Pegawai negeri merupakan tulang punggung penyelenggara negara. Dengan menggarap lembaga yang mewadahinya, rezim Orde Baru berkali-kali memenangkan pemilihan umum.

Oleh: Martin Sitompul | 11 Des 2023
Presiden Soeharto membuka Munas KORPRI bertempat di Balai Sidang Senayan, 29 November 1978. (Perpustakaaan Nasional RI.)

Pemilihan Umum 2024 kian dekat. Kurang lebih dua bulan lagi rakyat Indonesia akan melangsungkan pesta demokrasi. Namun, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) telah diwanti-wanti sejak jauh-jauh hari. Entah itu pegawai negeri ataupun polisi. Aparat negara memang rawan dipolitisasi untuk mendulang suara. Salah posisi tangan dalam berfoto saja bisa jadi perkara. Ia akan dianggap memihak nomor urut salah satu kandidat capres. Repot urusannya.  

Selain jumlah sumber dayanya yang signifikan, ASN merupakan tulang punggung penyelenggara negara. Dalam pemilu, mereka dituntut netral. Keberpihakannya dalam skala masif, terstruktur, dan sistematis tentu menguntungkan salah satu pihak tapi merugikan yang lain. Penyalahgunaan aparat negara dalam pemilu seperti ini lazim terjadi di masa Orde Baru (Orba) berkuasa. Praktik itu bahkan sudah dilakukan pada pemilu perdana Orba tahun 1971.

Menurut Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta Tahun 1955—1999 yang diterbitkan Biro Humas Komisi Pemilihan Umum (2000), Pemilu 1971 sarat dengan keganjilan. Di luar partai peserta pemilu, terdapat kekuatan ekstra politik yaitu birokrasi sipil dan militer. Secara langsung maupun tidak, kekuatan ini berperan besar memenangkan Golkar.   

Advertising
Advertising

“PNS (Pegawai Negeri Sipil) harus memilih Golkar sebagai wujud monoloyalitas, sehingga Menteri Dalam Negeri Amir Machmud yang menjadi komandan Korpri dijuluki buldozer,” ungkap Biro Humas Komisi Pemilihan Umum.

Baca juga: Aksi Sepihak Sang Menteri Amir Machmud

Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) menjadi lembaga induk yang menaungi semua PNS, termasuk pegawai perusahaan negara. Pembentukan Korpri didahului Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 (Permen 12) Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1970. Ia mengatur kehidupan politik segenap pejabat dan aparat negara. Namun, penekanannya lebih kepada larangan menjalankan aktivitas politik, termasuk larangan berpartai.

David Reeves, sejarawan Australia yang meneliti Golkar, menyebut peraturan tersebut digunakan untuk membenarkan pelarangan keanggotaan dan kegiatan partai dalam cakupan PNS yang lebih luas. Dan untuk memasukkan sebagian besar birokrasi ke dalam Sekber (Sekretariat Bersama) Golkar. Inilah yang kemudian menjadi dasar monoloyalitas atau loyalitas tunggal kepada Golkar.

Monoloyalitas, sambung Reeves, diperluas keluar dari Departemen Dalam Negeri. Sementara itu, Korps Karyawan (Kokar) didirikan di hampir semua departemen pemerintah selama kampanye.

“Setelah kemenangan pemilu, semua Kokar dimasukkan ke dalam Korpri yang begitu besar. Ini adalah pukulan bagi para pengikut partai yang tersisa dalam departemen-departemen pemerintah dan di perusahaan-perusahaan negara,” catat Reeves dalam Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika.   

Baca juga: Pegawai Negeri Bukan Priyayi

Korpri sendiri secara resmi berdiri pada 29 November 1971. Sementara itu, pemilu berlangsung pada bulan Juli. Kendati demikian, hak politik pegawai negeri dan birokrasi pemerintah yang telah dibatasi melalui Permen 12 dirancang sedemikian rupa untuk menjadi penyedia lumbung suara bagi Golkar. Pembentukan Korps Karyawan Kementerian Dalam Negeri (Kokar Mendagri) sebagai cikal bakal Korpri, kata Guru Besar Fisip UGM Agus Dwiyanto dalam Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, “Sebenarnya didesain untuk kepentingan politik pemenangan Golkar pada pemilu 1971."

Keberadaan Korpri jadi momok bagi lawan politik rezim Orba. Partai-partai Islam yang paling nelangsa nasibnya. Dari 10 partai kontestan Pemilu 1971, empat di antaranya adalah partai Islam, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kecuali Nahdlatul Ulama (18,68%), perolehan suara partai-parai Islam mengalami hasil jeblok. Total persentase semua partai politik Islam hanya 27,1%. Sementara itu, Golkar berjaya dengan meraup suara sebesar 68,2%. Sisanya menjadi milik partai-partai nasionalis yang gurem.

Menurut cendekiawan Muslim Yudi Latif, karena dijalankannya taktik-taktik “buldozer” oleh pihak pemerintah, hasil keseluruhan dari partai-partai politik Islam dalam Pemilihan Umum 1971 sangatlah mengecewakan. Praktik itu terus berlangsung ketika fusi partai diberlakukan, partai-partai Islam pada pemilu selanjutnya diwakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Secara sengaja, pemerintah melumpuhkan dukungan intelektual dan elektoral terhadap PPP. Sebaliknya, dukungan terhadap Golkar makin diperkuat.

“Lewat pendirian Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) pada 1971, pemerintah memberlakukan peraturan-peraturan serta melakukan intimidasi-intimidasi yang melarang pegawai negeri sipil untuk menjadi anggota dari partai politik Islam,” terang Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX.

Baca juga: Aming yang Dilupakan

Dalam memoarnya, Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 1978—1988 Ben Mboi mengatakan, pembentukan Korpri merupakan karya strategis Orde Baru yang sangat mendasar dalam restrukturisasi sosial. Sebagai arsiteknya, Menteri Amir Machmud membubarkan serikat-serikat pekerja kepegawaian departemental yang menjadi underbow partai-partai besar. Korpri lantas dibentuk agar semua pegawai negeri hanya menganut satu kesetiaan saja, yakni terhadap negara dan pemerintah Indonesia. Istilah monoloyalitas terkenal sepanjang masa Orde Baru berkuasa.  

“Awal pilar pendukung Golkar ada dalam struktur tiga jalur: ABRI, KORPRI, dan Golkar. Malahan boleh dikatakan Korpri adalah modal SDM Golkar,” ujar Ben Mboi dalam Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja.

Hingga Pemilu 1997, Korpri tetap menjadi penyokong Golkar. Kongkalikong itu baru berhenti setelah Orde Baru tumbang. Setelah era reformasi bergulir, Korpri menjadi organisasi netral yang tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Meski demikian, netralitas aparat negara tetap menjadi sesuatu yang dituntut, diingatkan, dan didengungkan sampai pemilu saat ini menjelang.

Baca juga: Aparat Keamanan dalam Pemilihan Umum

TAG

pemilu orde baru korpri

ARTIKEL TERKAIT

Mimpi Pilkada Langsung Jejak Ali Moertopo dalam Kerusuhan Lapangan Banteng Perkara Tombol Panggil di Kantor DPP Golkar Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 PPP Partai Islam Impian Orde Baru Sudharmono Bukan PKI Ketika Komedian Mencalonkan Diri Jadi Presiden